Rabu, 13 Juni 2012

Perlu Kebijakan Stok Minyak Stategis


Perlu Kebijakan Stok Minyak Stategis
Makmur Keliat ; Staf Pengajar Ilmu Hubungan Internasional FISIP,
Universitas Indonesia
SUMBER :  SINDO, 12 Juni 2012

Mengapa terdapat antrean panjang dalam pembelian bahan bakar minyak (BBM) di beberapa daerah? Bagaimanakah kita harus mengatasi hal ini? Dari konsep keamanan energi, antrean dan bahkan hilangnya BBM di beberapa daerah itu merefleksikan adanya gangguan pasokan (supply disruption).

Salah satu cara yang dianjurkan untuk mengatasinya (lihat misalnya kajian Giacomo Luciani dan Francois-Luic Henry 2011) adalah dengan merancang kebijakan stok minyak strategis (strategic oil stock).Kebijakan seperti ini mensyaratkan adanya kebutuhan untuk mengidentifikasikan ancaman yang menyebabkan terjadinya kekacauan pasokan itu. Tentu saja gangguan pasokan dapat datang dari sisi permintaan.

Misalnya permintaan terhadap minyak tiba-tiba melonjak sehingga kapasitas pasokan yang ada untuk memenuhi permintaan seperti itu tidak mencukupi. Namun, kebijakan stok minyak strategis tidak melihat ancaman dari sisi permintaan terlalu serius. Permintaan terhadap minyak memang terus meningkat. Namun kecepatan perubahan itu diasumsikan selalu terjadi secara gradual dan dapat diramalkan (predictable).

Sebagai misal, permintaan terhadap konsumsi BBM biasanya meningkat karena pertumbuhan ekonomi yang meningkat. Mengingat angka pertumbuhan ekonomi secara statistik dapat diproyeksikan, lazimnya dengan cara yang sama angka pertumbuhan konsumsi minyak juga dapat diramalkan di masa depan.

Sebagai misal, jika Indonesia menyatakan pertumbuhan ekonomi negeri ini pada tahun depan sekitar 6% dan jika diasumsikan rasio antara pertumbuhan ekonomi dengan pertumbuhan permintaan konsumsi minyak 1:2, maka pertumbuhan konsumsi minyak akan tumbuh sekitar 12%. Dengan rasio seperti ini, kebijakan pasokan minyak berdasarkan permintaan yang meningkat itu akan dapat dibuat dengan mudah.

Ringkasnya, kebijakan stok minyak strategis melihat ancaman dari sisi permintaan yang berasal dari pertumbuhan ekonomi yang meningkat sebagai sesuatu yang manageable dan tidak terlalu rumit untuk mengatasinya. Prasyaratnya adalah adanya masukan data yang baik. Yang jauh lebih problematis dalam merancang kebijakan stok minyak strategis adalah pada pengidentifikasian ancaman dari sisi pasokan.

Ancaman ini diasumsikan berada di luar kendali suatu pemerintahan dan karena itu perlu diambil langkah-langkah untuk mengatasinya (mitigation). Ancaman itu terutama berasal dari dua sebab. Pertama, pengurangan secara mendadak sumber pasokan minyak di tataran internasional, misalnya karena perang di daerah sumber penghasil minyak, bencana alam atau karena penyebab politik lainnya. Kedua, peningkatan harga yang sangat besar dan drastis di pasar energi internasional.

Dua penyebab ini tentu saja berbaku kait. Pengurangan pasokan secara mendadak pasti akan meningkatkan harga secara drastis. Demikian juga sebaliknya, harga yang meningkat secara mendadak akan menciptakan kesulitan untuk melanjutkan pasokan secara berkesinambungan. Kebijakan stok minyak strategis karena itu menjadi sangat penting, terutama bagi negara pengimpor minyak.

Norma internasional—seperti yang terdapat dalam standar IEA (International Energy Association)— menyarankan kebijakan stok minyak strategis ini sebaiknya dirancang memenuhi kebutuhan impor untuk kurun waktu selama 90 hari (3 bulan). Ini berarti besaran minimal stok minyak nasional yang selalu harus ada (tidak terpakai) adalah sama dengan besaran volume impor untuk kurun waktu 90 hari.

Kilang tempat penyimpanan juga sebaiknya dibangun dengan mempertimbangkan aspek pendistribusiannya secara merata di seluruh wilayah nasional. Tujuannya adalah dalam situasi darurat, tidak hanya aspek ketersediaan (availability) yang akan diatasi, tetapi juga dapat dengan mudah diperoleh (accessibility) oleh para penggunanya, baik itu dari kalangan industri maupun konsumen individual.

Tentu saja dukungan penyediaan dana yang besar diperlukan untuk membangun tempat penyimpanan selama 90 hari tersebut. Namun, mengingat inspirasinya berasal dari paradigma keamanan energi, kebijakan stok minyak strategis sebaiknya tidak dipahami semata- mata dalam perhitungan biaya untung rugi seperti lazimnya dalam kehidupan bisnis, tetapi untuk kelangsungan ekonomi nasional secara menyeluruh.

Indonesia tampaknya abai dengan kebijakan stok minyak strategis ini.Data yang ada menunjukkan stok minyak Indonesia berada pada kurun waktu sekitar 23 hari. Ada dua penjelasan yang dapat ditawarkan mengapa kita tidak dapat mematok angka stok minyak 90 hari tersebut.

Pertama, Indonesia eks anggota OPEC. Akibatnya, Indonesia tidak memiliki tradisi kebijakan yang kuat untuk merancang suatu kebijakan stok minyak strategis itu. Tradisi yang dimiliki OPEC terfokus pada kebijakan membatasi produksi melalui sistem kuota di antara anggotanya dengan tujuan harga BBM di pasar internasional tetap tinggi dan bukan pada kebijakan stok minyak strategis.

Namun setelah tidak lagi menjadi anggota OPEC pada 2008, Indonesia tidak serta-merta lalu dapat bergabung menjadi anggota IEA yang merupakan perhimpunan dari negara industri maju itu. Karena itu, secara kelembagaan norma 90 hari IEA tidak mengikat Indonesia. Dengan kata lain,lemahnya paradigma stok minyak strategis negeri ini merefleksikan ketidaksiapan Indonesia untuk menerima konsekuensi alamiah dari perubahan statusnya dari negara pengekspor menjadi pengimpor minyak dan tidak lagi menjadi negara anggota OPEC.

Kedua, produksi minyak nasional sejak lama tidak lagi berada di bawah pengendalian negara. Pertamina sebagai entitas yang mewakili negara hanya mengendalikan sekitar 10% produksi minyak nasional (110.000 barel per hari). Dalam Energy Policy Review of Indonesia yang dipublikasikan IEA (2008) disebutkan bahwa 90% sisanya berada di tangan swasta asing dan nasional.

Dalam situasi seperti ini, tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa pemerintah tidak berada dalam posisi yang kuat untuk memaksa pihak swasta, baik asing maupun nasional,untuk menganut kebijakan stok minyak strategis. Kebijakan stok minyak strategis kemungkinan besar akan dipandang sebagai pemborosan dan bertentangan dengan prinsip penghematan biaya (cost efficiency) yang biasanya dianut pihak swasta.

Dirumuskan dalam kalimat yang berbeda, kapasitas negara untuk menerapkan kebijakan stok minyak strategis hanya dapat diimplementasikan pemerintah melalui institusi Pertamina.Tentu saja dengan 10% produksi minyak nasional yang dimiliki Pertamina itu, kapasitas Indonesia untuk menerapkan kebijakan stok minyak strategis menjadi sangat terbatas dan lemah.

Dengan kata lain, angka stok minyak strategis Indonesia yang 23 hari— yang berarti 22.5% dari standar minimal IEA yang 90 hari itu—sebenarnya jauh melebihi beban Pertamina karena perusahaan minyak milik negara ini hanya menguasai sekitar 10% dari produksi minyak nasional Indonesia.

Idealnya, Pertamina seharusnya hanya diberi beban untuk menyangga stok minyak itu selama 9 hari saja dan beban sisanya yang 81 hari itu harus didistribusikan kepada pihak swasta asing dan nasional yang menguasai produksi minyak nasional Indonesia. Tanpa menerapkan kebijakan distribusi beban yang fair semacam itu, para pemain swasta nasional dan asing tidak akan memiliki pijakan politik yang kuat di Indonesia.

Kerangka hukum pengaturan minyak dan gas di Indonesia yang terdapat dalam UU Migas No 22/2001 itu hanya dipersepsikan oleh publik sebagai instrumen kebijakan eksploitatif yang melemahkan kapasitas negara,dalam hal ini tentu saja Pertamina.

Lemahnya kebijakan stok minyak strategis pada gilirannya juga akan menjadi lahan yang subur untuk terjadinya tindakan penyeludupan BBM dan spekulasi lainnya yang memanfaatkan disparitas antara harga BBM di tingkat internasional dan domestik seperti yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Intinya adalah negara menjadi sangat lemah dan dibiarkan sendirian oleh pihak swasta asing nasional itu untuk menghadapi para spoilers ini.

Dalam kaitan ini tampaknya perlu menggarisbawahi fakta bahwa harga minyak di pasar internasional tidak selalu harus dijadikan rujukan untuk menetapkan harga domestik. Intervensi untuk mengendalikan harga, dengan meluncurkan kebijakan stok minyak strategis, bukanlah suatu anomali. Nonintervensi bahkan akan menjadi suatu anomali ketika negara hanya diam saja dan mengikuti tingkat harga yang berlaku.

Menarik mencatat fakta bahwa IEA—yang anggotanya merupakan negara yang menganjurkan kebijakan liberalisasi di sektor energi—bahkan pada Juni tahun lalu misalnya sepakat untuk melakukan intervensi harga dengan cara meminta anggotanya melepas stok minyak strategis mereka sebesar 60 juta barel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar