Minggu, 24 Juni 2012

Permainan Parpol di Proyek


Permainan Parpol di Proyek
Tasroh ;  Pegiat Banyumas Policy Watch Purwokerto,
Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University Jepang
Sumber :  SUARA MERDEKA, 23 Juni 2012


"Selama ini penyusunan proyek pemerintah seperti menjadi proyek masing-masing sehingga tak ada integrasi-interkoneksi"

PERNYATAAN Wa Ode Nurhayati seperti memperjelas kedok politikus Senayan di hadapan publik bahwa isu bagi-bagi proyek pemerintah oleh, dari, dan untuk elite parpol bukan isapan jempol. Anggota parlemen lebih berperan sebagai makelar dan pengeruk anggaran negara ketimbang wakil rakyat. Melalui kemasan dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID), akal-akalan anggota DPR terbongkar. Proyek Rp 7,7 triliun itu hanyalah ajang bancakan.

’’Tajuk Rencana’’ harian ini (SM, 21/06/12) menulis bahwa Wa Ode, politikus PAN didakwa menerima suap Rp 6 miliar lebih berkaitan dengan proyek itu. Tapi ada petunjuk kuat politikus lain menerima setoran dari daerah yang ketiban proyek. Mereka seakan-akan berbagi proyek. Wa Ode misalnya, disebut kebagian proyek di Aceh senilai puluhan miliar rupiah.

Perilaku seperti itu mengkhianati fungsi penganggaran yang seharusnya mereka emban. Anggaran kita yang hanya Rp 168 triliun, sekitar 10% dari total APBN, menjadi bancakan. DPR justru tak peduli ketika subsidi energi yang mencapai Rp 225 triliun —terutama dinikmati oleh masyarakat mampu— membebani anggaran. Belanja pegawai, termasuk gaji anggota DPR dan DPRD, juga lebih dari Rp 200 triliun.

Ketimpangan anggaran negara mengakibatkan pembangunan infrastruktur tidak maksimal. Temuan KPK mengindikasikan adanya persekongkolan bagi-bagi proyek melalui Badan Anggaran DPR. Partai-partai mendapat jatah proyek dengan nilai yang sebanding dengan jumlah kursi mereka di parlemen.

Modus itu makin memperkuat tuduhan publik bahwa partai politik mengerahkan kadernya di DPR mengumpulkan duit lewat korupsi pada proyek-proyek pemerintah. Mengapa hampir semua proyek harus berafiliasi dengan partai politik?

Kue Empuk Baru

Pakar hukum tata negara Saldi Isra (2012) menyebutkan bahwa ada alibi baru mengembangbiakkan perilaku korup antara elite negara (birokrat) dan elite parpol dalam wadah tunggal: proyek pemerintah. Pintu itu menjadi kue empuk baru bagi elite pemerintah dan partai karena lewat pintu itu para koruptor generasi reformasi merampok uang negara.

Lewat pintu tersebut, pengerat anggaran publik menemukan makanan enak yang legal. Disebut legal karena UU APBN mengamanatkan yang berwenang menyelenggarakan proyek pemerintah adalah eksekutif. Hampir semua proyek di kementerian dan lembaga negara, bahkan kadang pemda, berafiliasi dengan organisasi partai politik.

Fitra (2012) menyebutkan beberapa perusahaan besar, termasuk BUMN/ BUMD, menjadi hotbed elite pemerintah dan parpol untuk mengeruk anggaran lewat jalur proyek pemerintah (Kompas, 20/06/12).

Jika ingin serius mencegah korupsi pada proyek pemerintah, negara bisa melakukan berbagai upaya. Pertama; mengeluarkan regulasi larangan bagi pelaksana proyek yang berafiliasi dengan parpol. Pengalaman membuktikan berbagai proyek, seperti kasus di Kemenpora, 90% mutu proyek tak sesuai spek karena sebagian dana proyek ditilap atau disetorkan ke partai.

Kedua; mengintensifkan kerja lintas lembaga negara. Selama ini penyusunan proyek seperti menjadi proyek masing-masing lembaga sehingga tak terjadi integrasi-interkoneksi. Akibatnya, mutu proyek jelek dan kepentingan rakyat dalam desain proyek hanya sekadar atas nama karena sebagian dana proyek dirampok elite pemerintah dan partai.

Ketiga; pengawasan bersama. Tak hanya yang berfungsi mengawasi lembaga pemerintah seperti BPK/ BPKP tetapi juga akses media dan publik harus diberi ruang untuk bersama-sama mengawasi proyek pemerintah lewat berbagai media. Dengan demikian, proyek pemerintah benar-benar bernilai publik bukan sebaliknya menjadi bancakan elite pemerintah dan parpol. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar