PEMBANGUNAN
BERKELANJUTAN :
Pertarungan
Tak Kunjung Usai
Laporan Diskusi Panel
Terbatas KOMPAS
SUMBER : KOMPAS, 12
Juni 2012
Sekitar 120 pemerintah negara di seluruh
pelosok dunia akan bertempur demi masa depan bersama. Isu besar dalam pertemuan
di Rio de Janeiro, Brasil, dalam ajang Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB
yang lebih dikenal dengan Rio+20 ini tetap sama: pertarungan antara negara maju
dan negara berkembang. Situasinya tak berubah banyak sejak 1972 ketika dunia
mulai memasukkan aspek lingkungan ke diskusi global, yang ketika itu masih
didikotomikan dengan ekonomi.
Tahun 1982 lahirlah Brundtland Commission yang antara lain memasukkan unsur ekonomi,
lingkungan, dan persoalan kemiskinan. Disusul tahun 1992 pada Konferensi
Pembangunan Berkelanjutan PBB atau Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio yang
memperkenalkan tiga pilar pembangunan, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Pada Konferensi Rio+20, 20 tahun setelah KTT
Bumi pertama, akan dideklarasikan dokumen The
Future We Want yang memuat masa depan yang diinginkan umat manusia di
planet bumi dan bagaimana pengaturan institusinya agar keinginan tersebut
tercapai. Masa depan tersebut dituliskan sebagai upaya menghindarkan kehancuran
planet Bumi jika manusia terus melakukan kegiatannya seperti biasa saja (business as usual). Salah satu solusi
yang bakal ditawarkan adalah ”green
economy” (ekonomi ramah lingkungan) yang pada intinya berisi upaya valuasi
jasa lingkungan.
Jejak sejarah global dalam upaya
menyelamatkan masa depannya terkait dengan menahan laju kerusakan bumi telah
berlangsung sekitar 40 tahun. Tahun 1992 telah ditelurkan Agenda 21 yang
memperkenalkan paradigma pembangunan baru (pada masanya), yaitu pembangunan
yang tak semata bertujuan menumpuk kapital melalui tujuan ekonomi, tetapi juga
harus memasukkan aspek sosial dan lingkungan.
Keanekaragaman hayati lantas menjadi salah
satu hal yang mendapat perhatian besar. Lahirlah Protokol Nagoya yang mengatur soal akses dan pembagian keuntungan
(ABS) dalam penggunaan sumber daya keanekaragaman hayati.
Yang terjadi kemudian adalah pemanfaatan
kekayaan sumber daya hayati oleh korporasi-korporasi raksasa dengan pembagian
keuntungan kepada masyarakat lokal dalam proporsi yang dinilai tak adil. Protokol Nagoya hanya menjadi lorong
baru untuk penumpukan kapital bagi korporasi transnasional di negara-negara
industri.
Korporasi Transnasional
Pada dasarnya, blok-blok yang akan saling
berhadapan tidaklah berubah selama 40 tahun ini. Negara berkembang versus blok
kapitalis, yaitu negara-negara industri. Pertarungan terjadi pada tiga isu
besar, yaitu perdagangan, keuangan, dan teknologi yang diwakili oleh Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) dan Bank Dunia.
Untuk pertama kalinya jabatan presiden Bank
Dunia ditunjuk sosok di luar Amerika Serikat dan negara Eropa, yaitu Jim
Yong-kim dari Korea Selatan. Peristiwa ini tak berdiri sendiri saat kita
menyaksikan krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat dan sejumlah negara
Eropa yang kolaps ekonominya. Konferensi Rio+20 akan menjadi sambungan dari
cerita krisis tersebut. Negara-negara industri yang kini diterpa krisis ekonomi
akan berupaya untuk bisa mewujudkan green economy melalui pendekatan pasar dan
institusi finansial.
Konsep green
economy kemudian menjadi dekat dengan istilah-istilah yang telah ada dalam
meja perundingan perubahan iklim, yaitu persoalan offset karbon dan perdagangan karbon. Emisi karbon telah menjadi
”penjahat” penyebab perubahan iklim. Green
economy oleh kalangan masyarakat sipil dipandang sebagai fase kedua dari
kapitalisme, dengan memberikan harga pada alam. Serupa dengan Protokol Nagoya.
Pada konsep green economy juga harus ditegaskan adanya penghargaan terhadap
lokalitas, pengetahuan lokal, dan harus ada solidaritas sosial. Solidaritas
sosial ini berbeda dengan corporate
social responsibility yang dikaitkan dengan profit perusahaan. Solidaritas
sosial harus lepas dari urusan profit perusahaan, sebaliknya adalah mengutamakan
pembangunan sosial.
Dalam kesepakatan bersama juga tercantum akan
adanya dukungan finansial dan pembangunan kapasitas (capacity building) juga harus dilakukan di negara berkembang dengan
dukungan negara industri. Yang terjadi kemudian adalah modal dialokasikan bukan
untuk hal bersifat berkelanjutan, melainkan untuk mengeruk sumber daya
sebesar-besarnya. Menyengsarakan rakyat dan menyengsarakan planet. Motor
pembangunan ekonomi adalah non-state
factor, yaitu korporasi transnasional yang tidak bisa diatur oleh siapa
pun.
Ironi selalu muncul dalam setiap perundingan
global untuk membangun bumi yang berkelanjutan. Ironi itu adalah pengetahuan
bahwa pendorong pembangunan tak berkelanjutan ini adalah korporasi besar telah
diabaikan. Dilupakan atau berlagak lupa. Pembangunan yang sekarang berlangsung
adalah akumulasi kapital dari negara-negara maju. Pada akhirnya, negosiasi
selalu berjalan lambat dan bertele-tele.
Peran Indonesia
Perlu diingat, dasar negosiasi pada Rio+20
adalah prinsip ”common but differentiated
responsibilities” (sama tetapi berbeda tanggung jawab). Sama dalam hal
membangun dunia dengan menghiraukan keberlanjutan alam dan lingkungan, tetapi
berbeda bebannya.
Yang diharapkan sebenarnya adalah bagaimana
negara berkembang bisa bekerja sama untuk meningkatkan efisiensi energi dan
mengembangkan energi terbarukan. Di sana harus terjadi transfer teknologi.
Sejarah tertulis, Agenda 21 tidak jalan. Transfer teknologi tidak pernah
terjadi.
Pertanyaan peserta diskusi sekaligus gugatan
yang muncul adalah: mengapa Indonesia tidak melakukan langkah ”meniru” dan
”mencuri” teknologi? Mengapa seakan Indonesia terima saja menjadi ”good boy”. Pemerintah Indonesia kemudian
dinilai tidak memiliki desain besar politik luar negeri, sama seperti Indonesia
tidak memiliki Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Ketika Indonesia
bersikap sebagai ”good boy”, yang
terjadi adalah kerusakan masif lingkungan di dalam negeri dan merebaknya
konflik sosial di sejumlah kawasan konsesi hutan.
Padahal, dari peserta diskusi muncul pendapat
kuat, Indonesia sebenarnya amat ditunggu-tunggu kepemimpinannya oleh
negara-negara lain. Indonesia bisa menjadi inisiator menyuarakan kepentingan
negara-negara miskin dan negara-negara berkembang.
Pada era lahirnya Indonesia, presiden pertama
RI Soekarno memilih jalan konfrontasi yang berakhir dengan karut-marut ekonomi.
Utang menumpuk. Soeharto, pemimpin Orde Baru, memilih jalan kooperatif.
Survival didahulukan. Swasembada pangan diincar. Untuk bisa survive perlu kerja sama dengan negara
maju. Namun, jangan sampai jadi pion seperti Filipina yang menjadi pion Amerika. Intinya, memperkuat diri
dari dalam. Sementara untuk bersekutu dengan pihak negara-negara miskin,
negara-negara Selatan, mereka pun belum kuat.
Maka, pilihan yang nalar adalah Indonesia sebagai
bagian dari Asia menjadi jembatan antara negara-negara Brasil, India, China,
dan Afrika Selatan (BRICS). Maka, Indonesia perlu berjalan ”zig-zag” untuk memenangi pertempuran: di
mana rakyat Indonesia bisa terus maju, tetapi Indonesia tidak bubar seperti Uni
Soviet.
Pada Rio+20, Presiden Indonesia terpilih
sebagai satu dari tiga kepala negara—dua lainnya Presiden Liberia Ellen Johnson
Sirleaf dan PM Inggris David Cameron—sebagai Panel of Eminent Person atas pilihan Sekretaris Jenderal PBB Ban
Ki-moon. Ketiganya bertugas membantu Ban Ki-moon dan membicarakan dengan
anggota PBB lain tentang Post 2012.
Maka, posisi Indonesia menjadi strategis
untuk merangkul Utara (negara maju) dan Selatan (negara miskin dan negara
berkembang). Tujuannya adalah agar Indonesia tetap ada pada 100 tahun usianya
nanti. Itulah pertarungan global yang bakal berlangsung di Rio de Janeiro dan
konteksnya untuk keberlanjutan Indonesia. Soal pembangunan berkeberlanjutan?
Kita masih harus sabar menanti, menanti pertarungan itu usai…. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar