Kamis, 28 Juni 2012

Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas


Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas
Joseph Henricus Gunawan ; Alumnus University of Southern Queensland
(USQ), Australia
Sumber :  SUARA KARYA, 28 Juni 2012


Pertumbuhan ekonomi Indonesia mendapat koreksi dari lembaga internasional. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 6,1 persen menjadi 5,8 persen pada 2012 dan dari 6,5 persen menjadi 6 persen pada 2013. Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,3 persen, sedangkan Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan pertumbuhan 6,1-6,2 persen. Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4-6,8 persen pada 2013 dan di kisaran 6,3-6,7 persen pada 2012.

Bagaimana pun Indonesia masih tetap rentan terhadap risiko perubahan global yang bisa memicu arus balik modal asing (sudden reverse capital flow). Di tengah ketidakpastian dan masih belum menentunya kondisi perekonomian global yang berpotensi mengarah pada krisis ekonomi global, target pertumbuhan ekonomi Indonesia 2013, sebagaimana usulan asumsi proyeksi diajukan pemerintah dalam penyusunan rancangan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2013, yakni sebesar 6,8-7,2 persen yang sudah disetujui DPR, diperkirakan bakal sulit terealisasi.

Dalam acara World Economic Forum on East Asia (WEFEA) 2012 di Bangkok, Thailand, baru-baru ini Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Pascal Lamy memastikan Asia tidak akan selamanya kebal dan bisa lolos dari dampak krisis global dan krisis utang di Zonaeuro. Karena, negara-negara Asia sudah makin terhubung dengan seluruh dunia berkenaan dengan terus naiknya jumlah kebijakan proteksionisme di kawasan Asia dalam enam bulan terakhir.

Menurut Lamy, sejak krisis keuangan global pada 2008, praktik proteksionisme telah menggerus nilai perdagangan global sebesar 3 persen dan jumlah total kerugian penurunan volume nilai perdagangan dunia telah mencapai 500 miliar dolar AS atau setara dengan jumlah total perdagangan di benua Afrika, Brasil, dan India.

WEFEA 2012 yang bertajuk Shaping the Region's Future through Connectivity merilis pernyataan bahwa betapa krusial dan signifikan kolaborasi erat antar-negara kawasan Asia Timur dan ASEAN dengan meningkatkan konektivitas di berbagai bidang. Antara lain, sektor transportasi dan perhubungan, kepariwisataan, ketahanan pangan, energi, perdagangan, investasi, serta telekomunikasi dan informasi untuk mempertebal daya tahan kawasan Asia Timur dan ASEAN, sekaligus mengantisipasi, dan meminimalkan risiko terhadap krisis ekonomi global.

Kerja sama dan kolaborasi aktivitas saling membantu keuangan untuk memperkuat daya tahan Asia. Ini untuk mengantisipasi fenomena masuknya aliran dana ke pasar keuangan namun mulai berbalik arah atau terjadi potensi pelarian modal asing secara besar-besaran (sudden massive capital outflow) untuk sementara waktu, yang bisa menggoyahkan tingkat suku bunga, nilai tukar, dan posisi cadangan devisa.

Selain itu, kendala kenaikan harga pangan dunia, dan meningkatnya harga minyak dunia, secara substansi memperbesar beban fiskal atas subsidi energi, yang menjadi sumber utama distorsi ekonomi. Itu pun karena menurunnya aktivitas ekonomi di sejumlah negara, tidak terkecuali AS dan Jepang, yang juga sedang sulit memulihkan pasar tenaga kerja.

Terhambat dan melemahnya proses pemulihan pasar tenaga kerja di AS menyusul kenaikan tingkat pengangguran pada Mei 2012 yang mencapai 8,2 persen dari total angkatan kerja, kemungkinan bank sentral AS (The Federal Reserve) akan melonggarkan kebijakan moneter dan menggelontorkan program pemborongan aset melalui skema kebijakan Quantitative Easing (QE) 3. Kebijakan QE 3 dikhawatirkan akan menyebabkan lonjakan harga komoditas, mendongkrak, mendorong investor mengarahkan investasi sekaligus memicu risiko arus derasnya hot money dana asing ke emerging market, terutama Asia yang saat ini tengah berjibaku mengatasi inflasi.

Pertumbuhan ekonomi harus lebih bertumpu pada investasi tinggi untuk peningkatan bidang teknologi untuk mendongkrak nilai tambah. Karena, nilai tambah itu akan jauh lebih tinggi kalau lebih dulu diolah di dalam negeri dibandingkan mengekspor bahan mentah dan barang setengah jadi produk pertambangan dan perkebunan, apalagi produk yang dihasilkan diproduksi di negara tujuan ekspor.

Bahkan, Lembaga Penelitian, Pengembangan, dan Pengkajian Ekonomi (LP3E) Kadin mempertegas dengan mengungkapkan selama ini produksi dalam negeri tidak mampu bersaing dan belum siap melakukan persaingan global skala besar. Hal itu, karena produk dalam negeri tidak memiliki keunggulan dan teknologi modern yang tercanggih, termutakhir, terkini, dan terbaru belum terserap dengan baik dalam pengolahan bahan baku. Sehingga, produk yang dihasilkan tidak kompetitif.

Sungguh tepat seperti yang diajarkan oleh Michael Eugene Porter, ahli bidang strategi persaingan internasional mempunyai pandangan yang menarik bahwa teknologi sangat krusial bagi persaingan tidak diputuskan oleh kadar keilmiahannya ataupun oleh penampilannya dalam produk fisik. Nantinya, setiap jenis teknologi yang diimplementasikan bisa berdampak signifikan pada persaingan.

Sementara pertumbuhan ekonomi berkualitas berarti pertumbuhan ekonomi yang bisa mendistribusikan pembangunan dan melakukan distribusi pendapatan secara merata untuk rakyat melalui pengembangan dan pemerataan ekonomi dengan kebijakan prorakyat. Hal ini, akan memperkuat ekonomi domestik dan investasi fokus pada sektor riil yang dapat dinikmati dan berkaitan langsung dengan rakyat. Sektor riil-lah yang mampu menyediakan lapangan kerja dan berdampak langsung pada peningkatan konsumsi, kesejahteraan rakyat, dan mempercepat produktivitas agar kemiskinan dan pengangguran dapat diminimalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar