Selasa, 05 Juni 2012

Polisi Takut Sama Yakuza?


Polisi Takut Sama Yakuza?
Richard Susilo ; Koordinator Forum Ekonomi Jepang-Indonesia (JIEF)
SUMBER :  KOMPAS, 5 Juni 2012


Kelompok massa di bidang kejahatan di Jepang, Yakuza, memang sangat ditakuti semua orang, termasuk polisi. Mungkin sama seperti mafia di Italia. Namun, dengan segala upaya, termasuk jeratan hukum, Yakuza kini tunduk penuh kepada polisi. Ibarat harimau: giginya sudah tidak ada lagi. Masyarakat pun benar-benar menjauh dari Yakuza karena takut terkena jeratan hukum Jepang yang baru keluar tahun lalu.

Menurut peraturan baru Jepang itu, apabila terlibat atau punya kenalan Yakuza, anggota masyarakat tak bisa buka rekening bank. Kalau sudah punya, rekening itu akan ditutup pihak bank. Orang itu juga tak bisa me- nyewa rumah, tak bisa transfer uang ke mana pun, tak bisa berbisnis dengan legal karena izin usaha dan segalanya akan diba- talkan atau tidak akan dikeluarkan.

Banyak sekali hambatan pada masyarakat apabila terbukti punya teman Yakuza. Itu sebabnya saat ini setiap orang Jepang akan membatasi diri tak akan bicara soal Yakuza. Salah ngomong, jangan-jangan informasi menyebar dan dia akan dipanggil polisi: usaha dan kehidupannya semakin sulit. Padahal, dia sendiri mungkin bukan Yakuza.

Dalam beberapa kasus di Indonesia, juga ada kesan polisi kadang ”mengalah” dari ormas atau lembaga lain. Namun, dalam kasus Jepang, jelas ini membuktikan polisi sudah berada di bawah kaki Yakuza. Seharusnya polisi mengayomi masyarakat, menjadi naungan masyarakat, tempat mencari keamanan, tempat berlindung. Kenyataan kini malah bertentangan: polisi membiarkan sebuah kelompok massa yang ditakuti berunjuk kekuatan.

Pengetatan Hukum

Bagaimana sebenarnya polisi Jepang memperlakukan kelompok yang sangat ditakuti di Jepang sehingga kini menjadi jinak? Kita perlu tahu dulu data mengenai kedua kekuatan, baik Yakuza maupun polisi.

Jumlah anggota Yakuza—disebut juga sebagai kelompok antisosial atau Boryokudan—di Jepang per 30 Juni 2011 secara resmi tercatat di Kepolisian Jepang sekitar 34.640 orang. Jumlahnya jauh makin sedikit ketimbang tahun 1963 yang 184.100 anggota. Jumlah polisi Jepang per akhir 2010 adalah 291.475 orang. Berarti, sekitar satu orang Yakuza dapat diawasi sekitar delapan polisi Jepang. Dari data tersebut, Kepolisian Jepang mengetatkan hukum.

Selain pengetatan di bidang hukum, kunci dari keamanan Jepang dan terjaganya citra polisi di Jepang sebenarnya karena adanya sistem Koban, semacam pos polisi lingkungan di Indonesia.

Saat ini, sedikitnya 7.000 pos polisi (Koban) tersebar di Jepang dan ditambah lagi sekitar 8.500 pos polisi perumahan yang juga ditempati polisi Jepang. Jadi, sekitar 20 persen kekuatan polisi Jepang ada di Koban. Mereka bekerja tiga regu-berganti, masing-masing delapan jam.

Polisi di Koban fokus bekerja hanya pada lingkungan sekitar Koban. Melakukan patroli baik jalan kaki, naik sepeda, maupun naik motor atau mobil. Telepon di Koban langsung menyambung ke kantor polisi sektornya (polsek di Indonesia). Polisi juga dapat memberi nasihat atau petunjuk kepada masyarakat sekitar, terutama yang bertengkar dan menimbulkan keributan sehingga mengganggu keamanan dan ketenangan sekitar.

Selama tugas di lapangan, polisi juga berhak menghentikan orang yang dicurigai, mengantisipasi operasi mendadak: ada informasi sepeda hilang, di sekitar tempat kehilangan langsung polisi mengusut dan menghentikan sepeda yang berseliweran untuk diselidiki kebenaran kepemilikan setiap sepeda. Mereka biasanya tanpa pistol, hanya pentungan, kecuali pada saat tertentu dan menghadapi kejahatan kriminal. Sehari-hari dalam operasi, umumya mereka dilengkapi alat komunikasi canggih dan alat elektronik canggih, seperti alat navigasi dengan pangkalan data lengkap, sehingga bisa tahu data seseorang segera.

Tanggapan terhadap sebuah kasus: paling lama satu menit dan sampai di tempat kejadian paling lambat 10 menit sesudah kejadian.

Polisi Koban selama setahun sedikitnya dua kali berkeliling mengunjungi semua rumah di sekitarnya, melakukan pendataan penghuni: nama, usia, pekerjaan, berkeluarga atau tidak, jumlah anak, dan sebagainya. Dengan data itu, polisi setempat dapat dengan mudah memprofilkan setiap keluarga setempat. Umumnya anggota masyarakat kooperatif karena pada akhirnya demi keamanan dan ketenangan mereka juga.

Pengenalan lingkungan itulah yang dilakukan polisi Koban sebagai kunci keamanan di Jepang. Apabila polisi mengetahui ada keluarga Yakuza di sana, keluarga itulah biasanya pusat perhatian polisi setempat. Pengusutan dapat lebih cepat. Alibi mereka yang lemah biasanya akan berujung dengan interogasi di kantor polisi terdekat dan penahanan paling lama 2 kali 24 jam sampai bukti kuat ditemukan.

Malam umumnya polisi Koban juga berkeliling melihat keamanan daerah setempatnya. Itulah yang dilakukan Jepang, negara maju besar yang menjaga sistem keamanan lingkungannya sehingga kasus kejahatan di Jepang kini turun lagi dari 2,85 juta kasus pada 2002 (tertinggi) dan kini pada 2012 sekitar 1,5 juta kasus, seperti level tahun 1990-an.

Sistem keamanan Koban yang mendekatkan polisi ke lingkungan jelas menyulitkan Yakuza melakukan aksinya. Apalagi, kalau mendengar laporan masyarakat ada kegiatan mencurigakan di sana, polisi langsung bertindak maksimum dalam 10 menit.

Apakah kecepatan kerja dan kepekaan terhadap lingkungan ini bisa dilakukan di Indonesia saat ini? Bukan dengan sebaliknya, malah organisasi massa disuruh bergerak dan disahkan polisi unjuk kekuatan. Mudah-mudahan kita bisa belajar dari sistem keamanan Jepang dan citra polisi dapat pulih di masa depan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar