Senin, 18 Juni 2012

Poros Baru Perdagangan Bebas Asia


Poros Baru Perdagangan Bebas Asia
Yoon Young-kwan ; Menteri Luar Negeri Korea Selatan (2003-2004),
Guru Besar Hubungan Internasional di Seoul National University
Sumber :  KORAN TEMPO, 18 Juni 2012


Bulan lalu para pemimpin Cina, Jepang, dan Korea Selatan sepakat memulai negosiasi akhir tahun ini mengenai Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA) trilateral. Jika negosiasi ini berhasil, peta perdagangan global perlu dirancang ulang. FTA yang meliputi, masing-masing, ekonomi kedua, ketiga, dan ke-12 terbesar di dunia (menurut paritas daya beli pada 2011) dengan jumlah penduduk 1,5 miliar, bakal mengalahkan Uni Eropa (UE) dan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) yang meliputi Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko itu.

Sesungguhnya Asia Timur Laut bakal menjadi poros integrasi ekonomi regional utama ketiga setelah UE dan NAFTA. Sampai saat ini, kawasan Asia Timur belum mampu melembagakan kerja sama ekonomi mereka sekuat Eropa dan Amerika Utara. Tapi, jika usulan yang dibahas di Beijing itu terwujud, FTA yang dihasilkannya bakal melampaui NAFTA menurut ukuran integrasi dan pengaruhnya terhadap ekonomi dunia.

Di samping itu, terwujudnya suatu FTA Cina-Jepang-Korea Selatan kemungkinan besar bakal memicu reaksi berantai. Misalnya, momentum ini bisa meluas ke selatan dan mendorong ASEAN, yang punya FTA bilateral dengan ketiga negara itu, bergabung bersama. Titik balik seperti ini bakal setara dengan terbentuknya Kawasan Perdagangan Bebas Asia Timur, seperti ASEAN+3 yang didambakan satu dekade yang lalu. Jika ini terjadi, negara-negara lainnya-– Australia, Selandia Baru, dan, paling penting pula, India-–mungkin akan berusaha ramai-ramai bergabung.

Amerika sudah pasti akan merasa perlu merespons terbentuknya FTA Asia Timur guna mempertahankan perannya sendiri dalam perdagangan global-–dan dalam rantai suplai yang mendominasi ekonomi Asia. Ia mungkin akan berusaha memperluas dan memperdalam Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) yang masih dalam tahap awal, perjanjian perdagangan yang sudah mendapatkan komitmen dari Presiden Barack Obama tahun lalu. Terutama, Amerika Serikat bakal dengan kuat mendorong Jepang bergabung dalam TPP, karena Amerika menginginkan masyarakat ekonomi Asia-Pasifik yang bersatu, bukan terbagi antara Asia dan Pasifik. Karena Jepang tidak ingin terlepas dari Amerika dengan alasan strategis, ia sebenarnya ingin menerima undangan Amerika untuk bergabung itu.

Menurut skenario ini, baik Jepang maupun Korea Selatan harus menemukan cara menjembatani Asia yang Sino-sentris dan Pasifik yang Amerika-sentris. Meski merupakan ekonomi yang kecil, Korea Selatan tampaknya lebih siap daripada Jepang untuk memainkan peran yang kritis ini. Korea Selatan sudah menandatangani FTA dengan Amerika, setelah bertahun-tahun terlibat dalam negosiasi yang sulit, dan berencana merundingkan FTA bilateral dengan Cina tahun ini. Demikianlah, persoalan kuncinya adalah apakah dan seberapa kuat Jepang bersedia memainkan peran serupa. Keikutsertaan Jepang yang kuat bakal mengurangi laju polarisasi Asia-Pasifik dan menyumbang tercetusnya momentum integrasi regional.

Tapi kuatnya tantangan di dalam negeri yang dihadapi Jepang saat ini tampaknya terlalu besar bagi para pemimpin politiknya untuk bisa memainkan peran internasional yang proaktif. Pemerintahan di Jepang selalu rentan dan tidak berumur panjang selama hampir satu dekade ini, dan debat sekarang ini mengenai usul meningkatkan pajak nilai tambah bisa berujung pada perubahan pemerintahan. Lagi pula kelompok kepentingan pertanian Jepang yang kuat, terutama Uni Sentral Koperasi Pertanian (CUAC), mungkin memperkokoh oposisi mereka, baik terhadap FTA bilateral dengan Cina dan Korea Selatan maupun terhadap TPP dengan Amerika.

Para pemimpin Jepang sekarang terjepit dari kedua arah. Jika mereka tidak berbuat apa-apa, sedangkan Korea Selatan terus menandatangani FTA, Jepang akan kehilangan pasar di Amerika dan Cina. Tapi, jika mereka berbuat sesuatu, oposisi politik di dalam negeri bakal begitu kuat sehingga bisa merobohkan mereka dari kekuasaan. Inilah alasan utama mengapa sulit bagi Jepang menandatangani FTA trilateral yang diusulkan itu, walaupun Perdana Menteri Yoshihiko Nodame baru-baru ini menyatakan persetujuannya terhadap usul tersebut. Sesungguhnya hanya FTA yang lebih longgar yang tampaknya bisa meredakan sektor ekonomi yang sensitif di masing-masing negara.

Bagi Cina, pertimbangan politik tampaknya merupakan motivasi paling kuat bagi terbentuknya FTA Asia Timur Laut ini. Tapi, untuk memperluas pengaruh ekonomi dan politiknya, Cina perlu meningkatkan transparansi, membuka sektor jasanya, dan menyingkirkan tembok non-tarif negeri itu. Intinya, ia harus menerima sistem berbasis pengaturan dalam hubungan dengan kedua negara tetangganya itu, sesuatu yang dihadapi pemerintah Cina dengan hati-hati. Namun keuntungan bagi Cina dalam menerapkan strategi terkait dengan FTA ini adalah bahwa ia masih merupakan negara yang otoriter, dan dengan demikian bisa mengatasi oposisi di dalam negeri, jauh lebih mudah daripada yang bisa dilakukan pemerintah di Jepang dan Korea Selatan.

Akhirnya, Korea Selatan, yang sudah menandatangani FTA dengan hampir semua pemain ekonomi yang penting di dunia-–Amerika, UE, ASEAN, India, dan lain-lain-–mungkin lebih siap menandatangani FTA trilateral ini daripada Jepang. Tapi ia juga harus menghadapi oposisi yang kuat dari kelompok kepentingan petani dan dari sektor manufaktur di dalam negeri yang bahkan melakukan mobilisasi yang lebih kuat daripada ketika mereka menentang FTA dengan Amerika.

Jika AFTA Asia Timur Laut trilateral ini bisa ditandatangani, ketiga negara bakal mampu meningkatkan permintaan di dalam negeri yang lebih besar pada saat lemahnya permintaan dari Barat, dan memanfaatkan pengaruh yang lebih besar dalam ekonomi politik global. FTA trilateral juga mungkin menyumbang terjadinya stabilisasi hubungan politik satu sama lain ketiga negara tersebut dan menciptakan lingkungan yang baik nantinya untuk rekonstruksi ekonomi Korea Utara. Berbagai manfaat yang bisa dipetik dari AFTA Asia Timur Laut jelas. Pertanyaannya adalah apakah ia merupakan ambisi yang jauh dari jangkauan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar