Kamis, 14 Juni 2012

Posisi Wamen Rawan Dipolitisasi


Posisi Wamen Rawan Dipolitisasi
Warjati Suharyono ; Peneliti Hukum Tata Negara
di KOMAP Institute of Political Research
SUMBER :  SUARA KARYA, 13 Juni 2012


Posisi wakil menteri (wamen) dalam jajaran Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II sekarang ini sangat tidak jelas. Hal tersebut bisa ditinjau dari dua hal, yakni sistem rekrutmennya dan sistem tugas pokok fungsinya. Pertama, dari sisi rekrutmen, dalam Perpres Nomor 77 Tahun 2011 disebutkan bahwa wakil menteri ialah pejabat karier kementerian bersangkutan yang mempunyai eselon IA. Maka, dengan demikian, seharusnya menteri terkait yang lebih berwenang mengangkat posisi wakilnya di kementerian sebagai pejabat karier, bukannya dilakukan oleh Presiden secara prerogratif.

Hal ini yang kemudian menimbulkan ketidakjelasan dalam memahami posisi wamen apakah sebagai anggota kabinet setara menteri dalam arti menjadi pejabat politik ataukah menjadi pejabat birokrat. Kalau diartikan sebagai pejabat politik, secara jelas posisi wamen rawan dipolitisasi oleh berbagai partai politik yang menginginkan kadernya duduk di kabinet dan dikhawatirkan kinerja kementerian yang bersangkutan akan dikooptasi oleh partai politik tertentu. Kalaupun wamen sendiri dianggap selevel dengan menteri, kenapa harus ada kata 'wakil' dan menerima gaji serta fasilitas 'setara' dengan menteri?

Wamen seharusnya tidak diperkenankan menikmati fasilitas sekelas menteri yang dianggarkan dalam Anggaran Sekretariat Kabinet karena sifatnya yang hanya membantu. Terlebih, jumlah wamen sekarang ini tergolong sangatlah banyak berjumlah 20 orang tersebar di berbagai kementerian yang tentu akan membuat menteri malas bekerja karena sudah ada wamen yang menggantikannya. Maka, bisa dibayangkan menteri sendiri hanya akan berfokus menambah pundi-pundi uang bagi partainya saja dibandingkan mengurusi kepentingan rakyat banyak.

Dalam hal ini, wakil menteri yang sekarang ini justru diambil dari berbagai instansi dan kalangan universitas yang sifatnya lintas sektoral sehingga dari segi konstitusi pengangkatan wakil menteri sendiri kurang tepat. Ditinjau dari sistem eselonisasi pangkat birokrat, umumnya pejabat karier birokrat tertinggi hanya sampai level direktorat jenderal (dirjen) atau sekretaris jenderal (sekjen) yang menjadi pejabat dengan kekuasaan tertinggi kedua setelah menteri. Adanya posisi wamen yang tiba-tiba menjadi orang kedua setelah menteri yang datang dari luar struktur kementerian mempengaruhi harmonisasi relasi kinerja antara menteri dan pejabat bawahannya yang menilai wamen telah merusak tatanan rantai struktur birokrasi.

Hal ini bisa dianalisa dalam kasus Wamenkumham Denny Indrayana yang ditinjau dari segi eselonisasi, Wamen Denny sendiri masih IIIA karena masih berstatus Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, sementara pejabat Dirjen dan Sekjen di Kemenkuham sendiri rata-rata sudah IIA bahkan IB. Adanya ketimpangan antara eselon dan jabatan yang dijabat Wamen Denny dengan pejabat kementerian tentu memberikan dampak kecemburuan sektoral dan jenjang jabatan.

Tentunya bagi pejabat karier yang sudah memiliki golongan tinggi secara senioritas biasanya tidak mau diperintah oleh pejabat yang masih kalah tinggi golongannya meskipun sudah menjabat sebagai orang kedua di kementerian tersebut. Secara psikologis, seorang pejabat lintas sektoral atau lintas fungsional dalam suatu kementerian cenderung untuk melaporkan kinerjanya secara langsung kepada menteri yang bersangkutan dan bukan kepada wakil menteri.

Rancu

Kedua, ditinjau tugas pokok fungsinya, apakah deskripsi kerja yang diemban oleh wakil menteri terkait? Dalam UU No. 39 Tahun 2008 pasal 10 disebutkan, "Dalam rangka mengemban tugas menteri sebagai pembantu presiden yang dirasa beban kerjanya berat, maka ditunjuklah wakil menteri untuk membantu tugas menteri di kementerian tertentu."

Definisi 'membantu' kerja menteri sendiri dirasa masih rancu karena hal ini sama saja Presiden kurang menghargai kinerja sekjen maupun dirjen yang selama ini telah membantu tugas-tugas kementerian.

Definisi 'membantu' sendiri mempunyai pengertian meluas karena bisa menabrak tugas pokok fungsi para dirjen dan sekjen sehingga akan menghambat kinerja kementerian tersebut dan akan menambah panjang mata rantai birokrasi dalam pengambilan keputusan karena wamen secara stuktural perlu dilibatkan. Hal ini sama saja Presiden juga tidak konsisten melakukan reformasi birokrasi dengan mengefisiensi struktur birokrasi yang ada. Adanya 20 wamen, 8 anggota dewan pertimbangan presiden (wantimpres), staf khusus, satgas, maupun Unit kerja Presiden lainnya membuat struktur kabinet presidensialisme sekarang ini sangat gemuk dan hanya menambah beban anggaran semata.

Oleh karena itulah, sebaiknya jabatan wamen sendiri dihilangkan karena sangat tidak jelas secara struktural maupun kinerja. Akan lebih baik bagi presiden maupun menteri terkait untuk memperkuat kinerja kepada dirjen dan sekjen dengan menambah kewenangannya karena di samping dapat mengefisiensi anggaran, juga dapat menghilangkan stigma kecemburuan dan ego struktural dalam internal kinerja kementerian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar