Minggu, 24 Juni 2012

PR Yudhoyono dari Rio


PR Yudhoyono dari Rio
Deden Dinar Iskandar ;  Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip,
Mahasiswa Program Doktor University of Bonn Jerman
Sumber :  SUARA MERDEKA, 23 Juni 2012


KONFERENSI Rio+20 telah berakhir 22 Juni kemarin. Dalam Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan di Rio de Janeiro Brasil itu, SBY cukup berperan sebagai salah satu pimpinan sidang perumusan konsensus pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs) yang akan menjadi acuan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.

Namun konsensus itu tidak bisa dicapai hanya dengan retorika. Konsensus pembangunan berkelanjutan mensyaratkan bahwa tiap negara harus bisa meningkatkan  pertumbuhan ekonomi sekaligus melestarikan lingkungan. Konsekuensinya, daya dukung lingkungan hidup diharapkan mampu menanggung beban generasi sekarang tanpa mengurangi daya dukungnya untuk generasi mendatang.

Ada tiga pilar utama dalam SDGs, yaitu faktor  lingkungan, sosial, dan ekonomi. Menyeimbangkan semuanya bukan hal mudah bagi Indonesia karena ketiganya kadang saling bertentangan. Misalnya, pelestarian hutan akan berimbas terhadap masyarakat adat di kawasan hutan yang mata pencahariannya tergantung pada akses mereka untuk membuka dan memanfaatkan hasil hutan.  

Pelestarian hutan sedikit banyak juga akan mengorbankan pendapatan pemerintah karena konsekuensi dari pelestarian adalah berkurangnya pemanfaatan potensi ekonomi dari kawasan hutan. Dalam konteks itu terlihat bahwa pelestarian lingkungan memiliki  konsekuensi biaya tersendiri.  

Sebenarnya cukup banyak pihak yang bersedia mendanai program lingkungan hidup di negara-negara berkembang. Tahun 2010 negara-negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mengeluarkan dana sekitar  33 juta dolar AS untuk mendukung adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di negara berkembang (Villarino, 2012). Pada tahun yang sama, pemerintah Norwegia memberikan dana sekitar 1 juta dolar AS kepada Indonesia untuk program penghutanan.

Bank Dunia juga memiliki skema pendanaan investasi untuk perubahan ikim yang mencakup program investasi hutan (forest investment program/FIP).  Indonesia merupakan salah satu negara yang didanai program tersebut.  Selain itu, Bank Dunia terlibat dalam usaha untuk mengoordinasi pasar karbon.  

Jalur Partisipasi

Presiden Bank Dunia Robert Zoellick, pada pertemuan di Washington beberapa hari sebelum Konferensi Rio+20 mengatakan bahwa ketersediaan dana sebenarnya bukan masalah terbesar bagi pertumbuhan ekonomi berbasis kelestarian lingkungan di negara berkembang. Permasalahannya justru pada kegagalan pemerintahan dan konflik kepentingan.  

Mencermati fakta itu, pekerjaan rumah terbesar pemerintahan SBY terkait dengan pelaksanaan SDGs adalah pembangunan aspek kelembagaan. Setidaknya ada tiga agenda utama yang harus dikedepankan dalam membangun aspek kelembagaan yang lebih baik. Pertama; mengidentifikasi dan mengorganisasi kepentingan yang berbeda-beda.  Banyak pihak dengan perbedaan kepentingan yang terkena imbas pelestarian lingkungan hidup.

Kedua; menciptakan mekanisme pengambilan keputusan yang lebih partisipatif dan inklusif. Tiap pihak yang berkepentingan dalam pelestarian lingkungan harus bisa berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Jalur partisipasi yang demokratis tanpa diskriminasi merupakan syarat utama yang harus dikembangkan.

Ketiga; mendorong akses terhadap sumber dana internasional yang lebih terbuka. Dalam hal ini, kita harus memikirkan mekanisme yang mempermudah daerah, sebagai pelaksana utama pelestarian lingkungan, mengakses dana internasional. Pada saat bersamaan, pemerintah pusat harus ikut membantu daerah bernegosiasi dengan penyandang dana, memberikan pendampingan teknis, dan mengawasi pelaksanaan komitmen yang disepakati. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar