Sabtu, 16 Juni 2012

Problem DPT Pilkada Jakarta


Problem DPT Pilkada Jakarta
Launa ; Dosen FISIP Universitas Satya Negara Indonesia;
Peneliti Komunitas Pemberdayaan Masyarakat Jakarta (KPMJ)
Sumber :  SINAR HARAPAN, 15 Juni 2012


Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) pada Sabtu (2/6) lalu.

Sebanyak 6.982.179 penduduk di DKI Jakarta dinyatakan dapat memilih pemimpin mereka untuk lima tahun mendatang. Rinciannya, 3.553.672 orang pemilih laki-laki dan 3.428.507 orang pemilih perempuan, yang tersebar di 15.060 Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Namun, jumlah pemilih yang ada dalam DPT mendapat gugatan. Lima pasang calon gubernur (cagub) DKI Jakarta memprotes jumlah pemilih itu.
Bahkan “koalisi gubernur” (di luar pasangan incumbent Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) itu mengancam akan memidanakan KPUD dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta atas indikasi penggandaan dan dugaan pemalsuan dokumen pemilih.

KPUD Jakarta beralasan jumlah pemilih dalam daftar pemilih sementara (DPS) sesuai dengan jumlah daftar pemilih potensial yang disampaikan Kementerian Dalam Negeri, sementara Dinas Kependudukan Provinsi DKI Jakarta juga beralasan belum semua warga DKI memiliki KTP. Warga Tanah Merah, Jakarta Utara, sampai sekarang tidak diberi KTP karena mereka menempati permukiman yang menjadi milik Pertamina.

KPUD Jakarta seperti tak pernah belajar bahwa DPT yang kacau adalah pintu masuk bagi delegitimasi pilkada dan seluruh produk yang dihasilkannya.

Problem DPT pilkada Jakarta 2012 sepertinya ingin merepetisi kekacauan DPT yang terjadi pada pemilu legislatif 2009 dan pilpres 2009 lalu, di mana pendataan dan penetapan pemilih yang serampangan telah membawa problem berkepanjangan. DPR bahkan sampai membentuk Panitia Angket untuk menyelidiki kasus ini.

Hasil investigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menguak fakta, jutaan suara pemilih (antara 25-40 persen) telah dirampas dalam pemilu 9 April 2009. Begitupun dalam pelaksanaan pilkada yang banyak berlangsung di tahun 2011, tak sedikit yang berujung konflik dan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Berdasarkan laporan Kementerian Dalam Negeri, dari 87 pilkada, 78 di antaranya digugat ke MK dengan 132 perkara yang teregistrasi. Catatan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atas pelaksanaan pilkada 2011 juga menunjukkan, masih terjadi berbagai bentuk pelanggaran “klasik” dalam proses pemutakhiran data pemilih.

Pelanggaran itu misalnya daftar pemilih sementara tidak diumumkan, pemilih yang tidak memenuhi syarat tetapi masuk dalam DPT, pemilih yang memenuhi syarat tetapi tak masuk dalam DPT, kasus penggelembungan DPT, dan seterusnya.

Kejahatan Pemilu

James Burk (2006) adalah ilmuwan politik yang telah memperkenalkan istilah electoral crime atau electoral fraud untuk menjelaskan segala bentuk kejahatan dan penipuan yang terjadi dengan sengaja dalam keseluruhan mata rantai proses pelaksanaan pemilu.
Menggunakan laporan Hursti, Burk menunjukkan bahwa di antara berbagai sebab mengapa kejahatan elektoral sulit terungkap adalah kurangnya bukti dan saksi untuk menguak kasus kejahatan pemilu.

Di Amerika Serikat, berdasarkan laporan pemantau independen pemilu 2004, terjadi praktek pidana dengan modus menghilangkan registrasi pemilih, menyesatkan informasi letak TPS di daerah-daerah pemukiman kulit hitam, menghilangkan kartu pemilih, dan membagi-bagi uang pada pemilih (money politics).

Dalam pemilu anggota the House of Councillors di Jepang pada Juli 2000, juga terjadi 552 kasus kejahatan pemilu. Kasus terbesar adalah kategori penyogokan (390 kasus) dan kasus penyimpangan administrasi pemilu (36 kasus). Tak kurang dari 1.375 orang terlibat dalam pelanggaran pemilu Jepang itu.

Mengacu pada kejahatan pemilu, manipulasi DPT ini ditempuh melalui dua cara. Pertama, menghilangkan hak pilih warga negara di daerah-daerah tertentu. Kedua, menggandakan hak pilih warga tertentu.

Baik dengan menggandakan pemilik nama yang sama dengan nomor induk kependudukan (NIK) yang berbeda, atau sebaliknya, menggandakan NIK yang sama bagi pemilik nama (fiktif) yang berlainan. Padahal, secara nasional, NIK mestinya bersifat khas dan berlaku hanya satu nomor bagi satu orang penduduk.

Manipulasi DPT melalui jalan di atas didukung serangkaian tindakan sistematis, antara lain pemutakhiran data pemilih yang diulur-ulur. Ini berakibat KPU/KPUD gagal memutakhirkan data pemilih secara cermat, bertanggung jawab, dan tepat waktu.

Dampaknya, pengumuman DPT pun dilakukan dalam waktu mepet, berdasar data pemilih sementara (DP4) yang tidak akurat. Sementara masyarakat, partai politik, dan pemantau pemilu independen tak memiliki waktu yang cukup untuk mengecek akurasi DPT.

UUD 1945 pasal 22 E telah mengamanatkan, pemilu (termasuk pilkada) dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Penghilangan hak pilih sebagian rakyat jelas merupakan pelanggaran atas asas pemilu/pemilukada yang jujur dan adil.

Pemilih (voter) adalah setiap warga negara yang terdaftar dan dapat menggunakan hak pilihnya. Artinya, pemberian suara adalah kunci penting dalam demokrasi (Sasha Abramsky, 2006). Dalam adab demokrasi, setiap warga negara dewasa memiliki hak untuk memilih pemimpin eksekutif dan legislatif melalui pemilu yang kompetitif.

Hak sipil dan politik warga dalam pemilu adalah salah satu pilar utama negara demokratis berbasis hak asasi manusia (human-rights based democracy). Dengan demikian, kekacuan DPT adalah bentuk kejahatan politik serius, yang memanipulasi dan menghilangkan suara warga Jakarta. Ini akan berdampak pada legitimasi politik Gubernur Jakarta ke depan.

Di sisi lain, persepsi publik Jakarta seperti tergambar dari hasil survei Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia menunjukkan, pilkada Jakarta 11 Juli mendatang masih dianggap sekadar “ritual” lima tahunan. 44,3 persen dari 594 responden menyatakan tidak yakin pelaksanaan pilkada Jakarta akan memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat.

Gejala penurunan elektabilitas seperti dirilis hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang memprediksi Foke-Nara hanya akan meraih suara sekitar 43,3 persen (dari survei sebelumnya, 49,1 persen) juga menunjukkan, persepsi publik Jakarta terhadap calon incumbent (Foke-Nara) kian berada pada posisi ‘sentimen negatif’, yang potensial membesar mendekati hari “H” pencoblosan.

Lantas apa artinya jika kontestasi pilkada Jakarta kembali menyisakan masalah berupa warga Jakarta yang berhak tetapi tidak bisa menggunakan hak pilihnya? Dan sebaliknya, warga Jakarta yang tidak berhak malah tercantum (ganda) dalam DPT?

Yang pasti, KPUD Jakarta masih punya sisa waktu menuju 11 Juli mendatang. Sebagai warga Jakarta, kita tentu berharap waktu yang tersisa itu bisa dimanfaatkan KPU secara prudent dan profesional agar pesta demokrasi Jakarta yang jujur, adil, transparan, dan tak memihak, layak menjadi contoh bagi penyelenggaraan pilkada daerah lain. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar