Senin, 18 Juni 2012

Puja Ijazah, Sengat Sejarah


Puja Ijazah, Sengat Sejarah
Bandung Mawardi ; Pengelola Jagat Abjad Solo
Sumber :  JAWA POS, 18 Juni 2012


BERITA heboh ini membuat gerah dan termangu. Seorang mantan dosen di Surabaya, sejak 2007 membuat dan menjual 1.600 ijazah palsu: S-1, S-2, S-3, dan akta IV. Pemesan terbesar adalah guru. Ironis! Ulah curang ini telah menguak aib dan dusta di jagat pendidikan. Ijazah pun merepresentasikan ambisi status sosial dan uang sebagai kompensasi kerja. Puja ijazah membuat buta nalar dan alpa etika.

Skandal itu memecundangi keluhuran misi pendidikan. Ijazah-ijazah palsu itu menjadi modal mencari-mengukuhkan pekerjaan atau pamer status sosial. Ijazah memicu hasrat uang dan jabatan. Dusta tak terbatas, merugikan banyak pihak. Dunia pendidikan dirundung pendustaan misi dan etos belajar. Ijazah telah "menampar" janji-pengharapan atas orientasi pendidikan: hominisasi (proses menjadi manusia) dan humanisasi (proses menjadi manusiawi).

Kisah di Balik Ijazah

Kita bisa belajar pada sosok Ajip Rosidi. Pengarang kondang ini produktif menulis puisi, cerpen, dan novel. Ajip Rosidi berani hidup tanpa ijazah. Hak mendapat ijazah SMA dibatalkan karena tidak mau mengikuti ujian. Alasan di balik pembatalan itu sungguh prinsipil. Ajip Rosidi menjalani ujian sekolah di Jawa Barat (1956). Publik menengarai terdapat kecurangan: kebocoran soal-soal ujian. Sekian orang tua menyuap pihak-pihak panitia ujian demi mendapatkan soal-soal sebelum hari ujian tiba.

Kecurangan itu membuat Ajip Rosidi tersadar tentang makna sekolah, ujian, ijazah. Mengapa selembar kertas harus diraih dengan kecurangan? Ajip Rosidi justru menuruti kata hati nurani: memihak kejujuran, menolak mengikuti ujian ulang. Nasib tak ditentukan oleh ujian dan selembar ijazah. Panggilan ke dunia sastra malah ditempuhi tanpa beban akademik. Ajip Rosidi pun intens dan produktif menulis sastra, hingga mengantarnya menjadi pengajar di Jepang. Ajip Rosidi mendapat penghormatan meski secara formal tidak berijazah pendidikan tinggi. Ijazah tak menentukan nasib!

Kisah itu membawa perenungan makna ujian dan ijazah. Kompetensi pengetahuan diujikan dan ijazah mengesahkan kelulusan. Ujian di sekolah mencerminkan hidup kita: rimbun pertanyaan tanpa jawaban paripurna. Ijazah juga mengisahkan detik-detik belajar saat di sekolah atau kampus demi penobatan diri sebagai intelektual atau sarjana. Ujian dan ijazah seolah penentu makna hidup.

Kita bisa menganggap ujian sekolah adalah teater kolosal mengandung ketakutan, kecemasan, kebingungan, kepasrahan. Ada warna doa bersama, karantina murid, perdukunan. Semua demi kelulusan. Ujian mengalirkan air mata, kesedihan, frustrasi; menjauh dari agenda intelektualitas. Ijazah mirip janji keselamatan yang bisa mengurangi etos belajar yang menjadi hakikat manusia. Hidup tak sekadar urusan ujian, ijazah, gelar.

Ujian kerap berarti takut dan trauma. Kita bisa menampik itu melalui sikap Afrizal Malna. Penyair moncer ini pernah kuliah di STF Drijarkara (Jakarta). Afrizal Malna ingin belajar filsafat, tapi enggan dan menolak ujian. Belajar tidak harus diukur lewat ujian jika ingin mengetahui derajat pemahaman orang. Afrizal Malna menganggap ujian bisa merusak dan membatalkan niat belajar. Ujian tentu berkaitan dengan ijazah. Ujian itu formalitas. Ijazah itu bisa menjelma ironi tak terperi.

Afrizal Malna meninggalkan perkuliahan, tapi terus bergairah untuk belajar. Afrizal Malna memilih panggilan sastra. Sekian kumpulan puisi telah diterbitkan dan mendapat penghargaan. Afrizal Malna pun diakui sebagai pembaharu dalam kesusastraan di Indonesia. Hidup tanpa ijazah dan gelar sarjana tak bisa menghentikan etos belajar: mengucap dan memaknai hidup. Afrizal Malna membuktikan diri.

Hampir Lupakan Sejarah

Kita juga bisa menilik masa silam: sejarah para pelajar dan mahasiswa Indonesia di masa kolonial. Mereka mesti melalui ujian seleksi bahasa Belanda. Bahasa penjajah ini merupakan bahasa pengantar di sekolah-sekolah modern ala Barat. Pelaksanaan ujian kerap diskriminatif: diikuti anak-anak dari kalangan pejabat, priyayi, keraton, saudagar.

Gairah untuk mendalami ilmu lebih tinggi bisa diteruskan ke Belanda. Mereka menjadi pelajar-mahasiswa dengan mekanisme ujian dan ijazah. Tapi, mereka berpamrih pendidikan dan nasioalisme, bergabung dalam Perhimpunan Indonesia. Mereka rutin bertemu di rumah Ahmad Subardjo di Noordeinde, No 32, Leiden. Mereka berdiskusi tentang pelbagai masalah: politik, ekonomi, identitas, nasionalisme, pendidikan. Selembar bendera merah dan putih terpajang di dinding kamar. Bendera itu diimajinasikan bakal menjadi bendera Indonesia saat nanti mencapai kemerdekaan.

Bendera itu sakral secara politik dan intelektual. Mereka membuat konsensus ritus. Para mahasiswa dianjurkan agar sebelum mengikuti ujian di kampus untuk singgah dulu di rumah Ahmad Subardjo. Ritus kecil dilangsungkan: berdiri sejenak di muka bendera dan berdoa. Pamrih ritus: mempertebal tekad bahwa ujian demi kepentingan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ijazah bakal diartikan dalil mengonstruksi imajinasi Indonesia.

Kita pun mengenang sosok Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Hatta memerlukan waktu lama untuk merampungkan studi di Belanda dan pulang membawa ijazah. Hatta tak sekadar berdiam di ruang kelas dan mengubur diri di buku. Intelektual bersahaja itu terus mengumandangkan nasionalisme dan bergerak di jalan politik demi Indonesia. Ijazah tak membuat diri bernafsu gaji atau pamer gelar.

Sjahrir gagal mendapatkan ijazah. Perkuliahan ditinggalkan saat misi politik mesti mengantarkan Sjahrir pulang ke Hindia Belanda. Kepulangan demi nasib PNI dan gerakan nasionalisme. Sjahrir hidup tanpa ijazah dan gelar sarjana, tapi moncer di ranah intelektual dan sejarah politik Indonesia.

Mereka tak sekadar ingin meraih gelar dan selembar ijazah. Belajar di negeri penjajah mesti mengentalkan nasionalisme. Ilmu untuk perjuangan. Ijazah tak harus demi pekerjaan atau kehormatan semu. Cerita masa silam itu hampir terlupakan.

Ujian-ujian di sekolah dan perguruan tinggi saat ini tampak sebagai rutinitas yang kehilangan makna nasionalisme dan etos belajar. Ujian dinistakan dari niat suci dan makna pendidikan. Memprihatinkan. Ujian dan ijazah menjerat pengharapan atas hakikat manusia sebagai manusia pembelajar. Begitu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar