Kamis, 14 Juni 2012

Raskin Menjadi Buah Simalakama


Raskin Menjadi Buah Simalakama
Posman Sibuea ; Guru Besar Teknologi Pangan Unika St Thomas SU, Medan
SUMBER :  KOMPAS, 14 Juni 2012


Konsumsi beras di tengah warga kini bak candu yang mengantarkan Indonesia menjadi salah satu negara pengonsumsi beras tertinggi di dunia. Lewat program beras untuk rakyat miskin, warga didorong untuk mengonsumsi nasi tiga kali sehari.

Bagi masyarakat miskin, program raskin adalah kebutuhan yang tak boleh dihapuskan. Namun, kian mahalnya harga beras memosisikan raskin jadi buah simalakama. Usulan Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian untuk mengonversi raskin jadi pangan untuk orang miskin (pangkin; akronim apa lagi ini!) nonberas berbasis sumber daya lokal masih menuai pro dan kontra. Lantas, apa implikasi program ini dalam pembangunan ketahanan pangan nasional?

Program raskin lahir sebagai jawaban atas situasi ”darurat” akibat krisis pangan yang mengancam Indonesia pasca-Orde Baru. Meski mutu raskin acap kurang baik, warga miskin tetap memburunya. Namun, krisis beras akibat fenomena perubahan iklim memberi peluang untuk lahirnya program penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal.

Di tengah kecintaan ”kalangan bawah” pada raskin, pada akhirnya telah mengikis habis peran pangan sumber karbohidrat lain, seperti singkong, sagu, ubi jalar, dan jagung, sebagai pilar ketahanan pangan nasional. Dengan lahirnya program raskin, pola makan berbasis sumber daya lokal—warga yang semula makanan pokoknya adalah jagung, sagu, singkong, dan ubi jalar—secara perlahan ditinggalkan.

Program raskin kini berjalan beriringan dengan program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) yang dikampanyekan Badan Ketahanan Pangan Kementan. Lewat program P2KP, rakyat didorong meragamkan pola konsumsi makannya. Program ”sehari tanpa nasi” jadi salah satu contoh program P2KP yang diharapkan mampu mengurangi ketergantungan pada raskin.

Pada hakikatnya program raskin sarat nilai kemanusiaan, tetapi sifatnya sementara. Penerima manfaat raskin diharapkan berkurang setiap tahun sebagai konsekuensi logis dari program pengentasan rakyat miskin yang sudah lama digulirkan.

Program pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan, yang selama ini dikenal dengan ”pro poor”, jadi kandas jika daya beli masyarakat hanya mampu mendapatkan raskin yang harganya tak sampai Rp 2.000 per kg. Memaksa harga beras jadi murah agar terjangkau bukanlah solusi mengatasi kemiskinan, melainkan menjebak rakyat untuk terus mengonsumsi beras.

Implikasinya

Meski program raskin selalu dinanti warga miskin, mereka patut memahami pangan tak hanya beras. Jadi, tak ada kewajiban untuk melestarikan pola konsumsi warga berbasis beras.

Secara perlahan tetapi pasti, pemerintah dituntut membidani lahirnya program pangan untuk masyarakat miskin, mengganti raskin. Program yang dilandasi filosofi kedaulatan pangan ini diharapkan dapat mengurangi jumlah rumah tangga sasaran penerima raskin dan mendongkrak laju konsumsi pangan nonberas berbasis sumber daya lokal.

Masih tingginya tingkat konsumsi beras—sekitar 139,15 kg per kapita per tahun—di negeri yang kaya sumber daya pangan berbasis karbohidrat ini jadi parameter masif bahwa roda mesin energi percepatan penganekaragaman konsumsi pangan belum berputar optimal. Pemerintah masih gamang mengonversi raskin.

Di sisi lain, kian berkembangnya teknologi pangan, penganekaragaman konsumsi pangan kian bias ke produk pangan olahan terigu, terutama mi dan roti. Perpres No 22/2009 yang mengatur ketentuan untuk mengalihkan konsumsi beras ke pangan lokal masih terganjal program raskin dan mudahnya izin mengimpor terigu.

Untuk Indonesia, yang penduduknya telah 240 juta jiwa, mengandalkan raskin sebagai stabilisasi harga pangan memiliki dampak buruk. Sedikit saja terjadi fluktuasi harga beras di pasar internasional bisa memukul ketahanan pangan nasional.

Konversi raskin menjadi pangan untuk orang miskin, implikasinya tidak hanya memperkuat ketahanan pangan yang tak mempersoalkan impor, tetapi juga bagaimana memproduksi pangan lokal secara mandiri. Kian gencarnya ancaman negara maju, kedaulatan pangan lewat program pangan untuk orang miskin semakin dibutuhkan untuk menegakkan harga diri sebagai bangsa yang merdeka.

Program pangan untuk orang miskin membawa pemahaman baru dalam pembangunan ketahanan pangan. Bahwa, kebijakan pangan nasional harus steril dari berbagai tekanan asing. Sebagai bangsa yang berdaulat, Indonesia tak perlu gentar menghadapi kekuatan neoliberalisme model IMF dan Bank Dunia. Kecuali, pemerintah masih ingin merebut simpati dan dukungan yang maksimal dari warga miskin lewat raskin dalam Pilpres 2014. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar