Kamis, 07 Juni 2012

Relasi Negara, Agama, dan Masyarakat Sipil


Relasi Negara, Agama, dan Masyarakat Sipil
Irman Gusman ; Ketua Senat (Dewan Perwakilan Daerah) Republik Indonesia
SUMBER :  SINDO, 7 Juni 2012


Persoalan hubungan negara, agama,d an masyarakat sipil selalu menjadi topik menarik yang tak henti-hentinya diperdebatkan.

Perubahan politik dunia ikut memberikan andil dalam perdebatan klasik soal bagaimana merumuskan peran dan hubungan yang semestinya antara negara, lembaga-lembaga keagamaan, dan masyarakat sipil. Sampai di mana agama bisa memengaruhi kebijakan negara serta jalannya pemerintahan dan sampai di mana negara bisa mencampuri urusan keagamaan. Perdebatan soal hal itu semakin berkembang luas pascaperistiwa runtuhnya menara kembar WTC di Amerika Serikat pada 11 September 2001 yang dituduh dilakukan oleh kelompok Islam radikal. Pascakejadian tersebut, hubungan dunia Barat, khususnya Amerika Serikat, kerap tidak harmonis.

Islam dan Barat kerap dipertentangkan. Sebagai salah satu upaya untuk memperbaiki hubungan Barat dan Islam, khususnya Amerika Serikat dengan negara-negara muslim, Brookings Institute bersama Saban Center for Middle East Policy dan pemerintah Qatar menyelenggarakan US–Islamic World Forum di Doha (29-31 Mei 2012). Forum tersebut sudah diadakan sembilan kali dan dihadiri oleh beberapa pemimpin negara Islam, para ilmuwan, serta para pengambil kebijakan. Salah satu topik yang menjadi perdebatan menarik adalah bagaimana membangun relasi yang ideal antara negara, agama, dan masyarakat.

Arab Spring dan Dilema Relasi

Pada US–Islamic World Forum tersebut, saya mendapat undangan kehormatan berbicara dalam sesi long conversation tentang relasi negara, agama, dan masyarakat sipil. Menariknya dalam sesi diskusi panjang itu, berbagai perspektif dikemukakan dalam rangka mencari formula yang tepat, terutama bagi negara-negara Timur Tengah yang saat ini sedang dalam proses transformasi, atau yang dikenal dengan Arab Spring, seperti di Mesir, Tunisia, Yaman, Irak, Libya, dan Maroko.

Di negara-negara Arab, salah satu persoalan yang mereka hadapi sekarang ini adalah sulitnya memisahkan hubungan negara dengan agama. Keduanya menjadi bagian dari sistem penyelenggaraan negara. Ketika angin demokratisasi berhembus, muncul tuntutan agar institusi-institusi pemerintah direformasi dan dipisahkan dari agama sehingga tidak terjadi intervensi antara satu dan yang lain. Negara menjadi institusi yang independen, di mana tidak ada monopoli kekuasaan atas nama kelompok keagamaan (Islam).

Hal demikian tentu tidak mudah karena penyatuan negara dan agama di negara-negara Arab yang telah lama terjadi membutuhkan suatu transformasi sistem yang memerlukan waktu dan dukungan rakyat. Tak jarang, transformasi sistem otoritarian ke demokrasi kerap berakhir dengan kericuhan, kerusuhan, bahkan konflik di antara sesama kelompok-kelompok kepentingan dalam suatu negara.

Hal ini bisa kita lihat bagaimana proses demokratisasi di Mesir pascatumbangnya rezim Husni Mubarak, rezim Zein Abidin di Tunisia, Qadafi di Libya, dan Ali Abdullah Saleh di Yaman yang sampai sejauh ini masih menyisakan persoalan-persoalan mendasar. Tak jarang proses demokratisasi tersebut bahkan masih saja diwarnai konflik dalam negeri yang terjadi antara kelompok pendukung rezim sebelumnya dan kelompok pendukung demokratisasi.

Artinya, persoalan besar yang mereka hadapi saat ini adalah bagaimana membuat format yang tepat untuk relasi negara, agama, dan masyarakat sipil. Rezim-rezim otoriter dan korup yang sebelumnya menjadi bagian dari institusi keagamaan harus digantikan oleh rezim-rezim demokratis yang harus dipisahkan dari intervensi kelompok keagamaan dan berpihak pada kepentingan semua kelompok masyarakat. Nyatanya, hal demikian tidak mudah dilakukan.

Pengalaman Indonesia

Dalam diskusi soal bagaimana sebaiknya format relasi negara, agama, dan masyarakat sipil di negaranegara Islam, Indonesia memiliki sebuah format yang menarik. Saya menyampaikannya dalam perspektif bagaimana Indonesia sebagai sebuah negara muslim berpenduduk terbesar di dunia mengelola relasi tersebut sehingga kebersatuan di antara seluruh kelompok keagamaan tetap terjaga meskipun umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas (90% dari 248 juta penduduk). Pertama, agama tidak menjadi bagian dari sistem bernegara.

Di sini yang berlaku adalah hukum-hukum universal demokrasi yang mengakomodasi kepentingan seluruh masyarakat sipil tanpa perbedaan suku, ras, dan agama.Kelompok keagamaan menjadi terpisah dari hal-ihwal pengelolaan negara. Tapi, Indonesia juga bukan negara sekuler yang tidak mengakui kelompok-kelompok keagamaan. Kelompok keagamaan Islam terbesar di Indonesia seperti NU dan Muhammadiyah, Kristen, Hindu, dan Buddha tetap dilindungi negara, tetapi mereka tidak mengintervensi negara ataupun negara mengintervensi mereka. Pada saat Indonesia merdeka, perdebatan soal hubungan agama dan negara memang mewarnai forum-forum penyusunan dasar negara.

Sebagai jalan tengah bagi keragaman yang ada,Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara, bukan agama menjadi dasar negara.Pancasila menjadi konsensus nasional karena mengakomodasi berbagai kepentingan kelompok keagamaan. Tetapi, lantas Pancasila tidak menjadikan Indonesia sebagai negara sekuler karena ada suatu kewajiban bagi seluruh umat beragama untuk menjalankan agamanya masing- masing. Kedua,meskipun Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler, masih ada relasi yang terbangun antara negara dan kelompok-kelompok keagamaan (masyarakat sipil).

Relasi tersebut bukan relasi saling mengintervensi, melainkan suatu bentuk kemitraan. Kelompok keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, MUI, PGI, KWI, PHDI, Walubi, dan sebagainya, didirikan selain sebagai wujud perhimpunan kelompok keagamaan, tetapi juga memainkan fungsi checks and balances dengan pemerintahan. Artinya, ada ruang yang terpisah antara negara dan agama. Agama tidak menjadi bagian dari sistem bernegara. Namun, negara tetap memberikan kebebasan bagi kelompok keagamaan untuk mengekspresikan kebebasan beragamanya.

Hal inilah yang menjadi salah satu alasan kenapa sampai sejauh ini Indonesia sebagai sebuah negara yang besar dengan keragaman suku, ras, dan agama tetap utuh. Kekuatan tersebut tentu terletak pada kemampuan menerima perbedaan-perbedaan yang ada.Pancasila menjadi sumber utama perekat bangsa. Karena itu, saat bangsabangsa lain sedang mencari format hubungan agama, negara, dan masyarakat sipil, kita harus bangga bahwa hanya Pancasila yang mampu mengikat keragaman bangsa Indonesia.

Dengan demikian, ke depan perayaan Hari Lahir Pancasila 1 Juni jangan sekadar seremonial, tetapi juga harus diimplementasikan dengan serius dalam kehidupan bangsa Indonesia. Itulah simbol sekaligus substansi dari relasi yang ideal antara negara, agama, dan masyarakat sipil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar