Kamis, 21 Juni 2012

Resolusi Konflik Papua

Resolusi Konflik Papua
Prima Mulyasari Agustini ;  Kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Unpad,
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Unisba
Sumber :  REPUBLIKA, 21 Juni 2012


Bumi Papua memanas. Kerusuhan pecah di Jayapura, Kamis, 14 Juni 2012. Massa dari Komite Nasional untuk Papua Barat (KNPB) mengamuk setelah penangkapan Ketua I KNPB, Mako Tabuni. Papua memang rentan konflik. Konflik antara masyarakat dan pemerintah yang memakan korban dan meninggalkan trauma tak kunjung usai. 

Pemerintah dituding tidak serius menangani konflik. Perlawanan rakyat Papua diduga karena pemerintah dianggap tidak peduli sehingga memunculkan ketidakpuasan rakyat.
Pembangunan Bumi Cenderawasih ini dianggap gagal sehingga berimplikasi pada persoalan integritas. Papua memiliki sumber daya alam yang berlimpah.
 
Emas, uranium, dan gas bumi, hanyalah sebagian kecil kekayaan alam yang dimiliki Papua. Banyak pihak telah mendapatkan keuntungan yang luar biasa dari kekayaan Papua, tetapi tak sebanding dengan kehidupan masyarakatnya.
 
Papua sebagai provinsi terkaya, tapi rakyatnya tidak sejahtera. Papua memiliki Indeks Perkembangan Manusia nyaris terendah dibandingkan seluruh provinsi di Indonesia. Realitas ini menimbulkan konflik yang mengancam integritas bangsa.

Akar Konflik Papua

Konflik merupakan hubungan di antara kedua belah pihak atau lebih yang memiliki atau merasa memiliki sasaran yang tidak sejalan. Konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan. Konflik Papua memerlukan penyelesaian secara komprehensif dan terintegrasi. 

Eskalasi konflik Papua berakar pada penerapan otonomi khusus yang tidak optimal, terutama di bidang pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Adanya dominasi yang kuat dari para penguasa sehingga terjadi diskrimi nasi dan marginalisasi pada rakyat asli Papua. Rakyat Papua yang masih traumatis akibat tindakan represif aparat keamanan pada masa lalu juga merupa kan persoalan besar yang dihadapi Bumi Cenderawasih. Selain itu, akar konflik lain adalah masih adanya perbedaan persepsi tentang integrasi Papua ke da lam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969.

Akar konflik yang rumit, ditambah tindakan represif aparat keamanan, semakin menyuburkan bibit konflik dan memicu perlawan rakyat Papua. Rakyat Papua melakukan perlawanan dengan menampilkan simbol-simbol kebangsaan dan lagu kebangsaan untuk memperkuat kohesivitas di antara mereka. Gugatan pada proses integrasi yang dirasa tak adil kian kuat. Mereka menilai, aparat tak manusiawi dalam memperlakukan rakyat Papua. 

Stigma separatis dan pemberontak yang disematkan terhadap rakyat Papua yang menuntut keadilan pada pemerintah pusat, seolah dijadikan legitimasi untuk melakukan kekerasan. Kemiskinan dan kebodohan dijadikan mainstream perjuangan rakyat Papua.

Sementara itu, pemerintah mengklaim bahwa Papua sudah menjadi daerah istimewa, sama halnya dengan Aceh dan Yogyakarta. Keistimewaan Papua ditunjukkan melalui alokasi anggaran yang besar bagi Papua dan Papua Barat. Pemerintah juga menaruh perhatian besar bagi pembangunan kawasan Papua agar tidak tertinggal dibandingkan wilayah lain di Indonesia. Dibentuknya Badan Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat merupakan bukti keberpihakan pemerintah terhadap pembangunan di kawasan timur Indonesia.

Argumen kedua belah pihak ini seolah-olah selalu mencari penguatan dari waktu ke waktu. Namun, pemerintah sebagai pihak yang memiliki kewenangan mengatur negara ini, perlu memosisikan diri sebagai inisiator, kolaborator, dan katalisator dalam upaya menciptakan perdamaian di bumi Papua.

Resolusi Komunikasi

Resolusi konflik merupakan suatu bentuk usaha untuk menangani sebabsebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama di antara pihak-pihak yang berkonflik. Melihat tingginya tingkat kompleksitas persoalan konflik yang terjadi di Papua, jalan terbaik adalah mengoptimalkan fungsi dan peran komunikasi di dalamnya. Komunikasi yang intensif dinilai menjadi salah satu alternatif mendamaikan dan membuat kondisi di Papua kondusif dan tetap damai.

Littlejhon menawarkan konsepsi tentang direct communication yang memiliki tiga keuntungan ketika diaplikasikan dalam manajemen konflik di Papua, di antaranya: Komunikasi itu sifatnya simbolis dan tidak mendatangkan konsekuensi yang sesungguhnya dari gerakan nyata. Melalui komunikasi, setajam apa pun perbedaan di antara anggota masyarakat hanya dikonseptualisasikan ke ranah komunikasi dan tidak diikuti gerakan nyata yang mengantarkan lahirnya konflik terbuka. Semua bisa dimediasi dalam komunikasi di antara pihak yang terlibat.

Komunikasi mengubah kemungkinan gerakan dan bisa mengurangi tingkat persaingan dari pihak-pihak yang terlibat konflik. Berbagai perbedaan dan harapan telah diformat ke dalam pesan komunikasi sehingga mengurangi persaingan yang mengarah pada konflik. Komunikasi bisa menghasilkan perubahan orientasi dari pihak-pihak yang terlibat dalam masalah. Orientasi berubah terutama setelah terdapat dialog yang membawa implikasi pemahaman terbaik bagi pihak yang bersengketa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar