Rabu, 06 Juni 2012

Revitalisasi Spirit “Nahdlatul Wathan”


Revitalisasi Spirit “Nahdlatul Wathan”
Jamal Ma’mur ; Dosen Staimafa Pati,
Mahasiswa S-3 Islamic Studies IAIN Walisongo Semarang
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 6 Juni 2012


DALAM usia ke-89 tahun pada hari ini, Nahdaltul Ulama (NU) harus bisa menunjukkan kematangan dalam berpikir, bersikap, dan mengabdi bagi umat dan bangsa. Momentum harlah menjadi media efektif bagi warga nahdliyin untuk merevitalisasi spirit nahdlatul wathan (kebangkitan nasionalisme) mengingat eskalasi pemikiran dan gerakan radikalisme dan fundamentalisme makin mengkhawatirkan.

Fakta terkini banyak masjid, madrasah, dan majelis taklim yang didirikan warga NU, menjadi sarang penyebaran paham radikalisme dan fundamentalisme yang meresahkan bangsa dan negara. Jihad pemikiran, ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan yang dikobarkan Yusuf Qordlawi harus digalakkan dalam tubuh NU sehingga tidak termarginalkan, emosional, dan reaksional, tapi berjalan dengan visi dan misi masa depan yang kokoh.

Dalam konteks ini, merevitalisasi semangat kebangkitan nasionalisme menjadi relevan. Hal itu mengingat  berdirinya NU tak bisa dilepaskan dari tiga gerakan, yaitu tashwirul afkar (dinamisasi pemikiran), nahdlatut tujjar (kebangkitan pedagang), dan nahdlatul wathan (kebangkitan nasionalisme). Tiga gerakan itu menjadi sumber inspirasi dan motivasi kebangkitan warga nahdliyin sepanjang masa untuk memainkan peran vitalnya.

Ulama NU mewujudkan nahdlatul wathan melalui peran aktifnya dalam pembebasan bangsa dari hegemoni kolonial, mencerdaskan kader muda, menegakkan moral, memberdayakan ekonomi kerakyatan, dan mengedepankan politik kebangsaan yang berorientasi kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat. Nasionalisme dan patriotisme NU ada di segala bidang; militer, politik, ekonomi kerakyatan, pendidikan, kebudayaan, sosial, dan pembangunan moral.

Bangun Persaudaraan

Fatwa resolusi jihad membakar semangat membela Tanah Air untuk aktif mengusir penjajah, konsep darus salam (rumah kedamaian) kompromi dari darul harbi (negara perang) dan darul Islam (negara Islam), pemberian gelar waliyyul amri al-dharuri bil syaukah (penguasa dalam keadaan darurat yang didukung kekuatan rakyat), dan menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi adalah salah satu manifestasi nasionalisme dan patriotisme besar nahdliyin terhadap bangsa dan negara.

Mengingat kompleksitas tantangan, revitalisasi spirit kebangkitan nasionalisme bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, meneguhkan paradigma moderat-progresif. Moderat adalah selalu berada di tengah, antara teosentrisme (huququllah) dan antroposentrisme (huququnnash), tekstual-kontekstual, konservatif-liberal, normatif-historis, dan tidak ekstrem kanan-ekstrem kiri. Adapun progresif adalah bergerak ke depan dengan program visioner, futuristik, dan kompetitif.

Peningkatan kualitas lembaga pendidikan, pemberdayaan ekonomi kerakyatan, kaderisasi yang sistematis, dan penguatan media informasi dan komunikasi, supaya ke depan NU bisa berperan dalam semua bidang kehidupan secara kompetitif adalah salah satu contohnya.

Kedua; membangun persaudaraan kemanusiaan hakiki, lepas dari fanatisme dan truth claim, antarumat Islam, dan dengan agama lain. Karakteristik aswaja NU adalah mengembangkan persaudaraan hakiki. KH Ahmad Shiddiq, eksponen utama NU, telah melahirkan trilogi persaudaraan, yaitu ukhuwwah islamiyah (persaudaraan antarumat islam, walau berbeda aliran), ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan sebangsa dan setanah air, walau berbeda agama), dan ukhuwwah basyariyah (persaudaraan antarmanusia lintas negara dan benua).

Menurut Badrun Alaena (2000), aswaja senantiasa mencirikan watak fleksibel dan akomodatif, mengutamakan stabilitas dan harmoni dalam masyarakat. Dengan dua langkah itu diharapkan kader NU mampu menjadi penggerak kebangkitan bangsa, berperan sebagai katalisator dan fasilitator persatuan dan kesatuan umat Islam dan umat secara universal.

Selain itu, lebih mengedepankan dialog intens, menjauhkan diri dari sifat radikal, memaksakan kehendak dengan jalan kekerasan, menganggap keyakinan orang lain sesama muslim sebagai sesat.  Kita harus memaksimalkan peran masjid, madrasah, pondok pesantren, dan majelis taklim untuk mengembangkan paradigma aswaja nahdliyah yang moderat, progresif, toleran, pluralis, dan akomodatif ini dengan intensifikasi kajian-kajian keislaman, keindonesiaan, dan ke-NU-an, sekaligus membumikan program pemberdayaan sosial yang bermanfaat bagi kemandirian ekonomi rakyat dan peningkatan kualitas pendidikan.

Jangan biarkan tempat-tempat mulia itu kosong dan akhirnya pihak lain yang memanfaatkannya  untuk mengampanyekan paham mereka. Dakwah riil lebih utama ketimbang sekadar retorika yang memesona, namun menipu karena miskin keteladanan. Semoga harlah NU ini menjadi pemicu kebangkitan spirit nasionalisme yang telah diajarkan dan dicontohkan para pendiri NU dan bangsa ini pada masa lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar