Rio-plus-20:
Indonesia Mau ke Mana?
Tejo Wahyu Jatmiko ; Koordinator Perkumpulan Indonesia Berseru,
Koordinator Aliansi untuk
Desa Sejahtera
SUMBER : KOMPAS, 5
Juni 2012
Pada 13-22 Juni 2012, para kepala negara dan
ribuan pemangku kepentingan akan berkumpul untuk meneguhkan kembali niat
merawat Bumi. Tema ”The Future We Want”
akan menjadi perjuangan kita ke depan.
Disebut Rio+20 karena diselenggarakan 20
tahun setelah KTT Bumi, di tempat yang sama, KTT kali ini berlangsung saat
masyarakat dunia bergantian mengalami krisis, baik ekonomi, pangan, perubahan
iklim, maupun lingkungan. Meski demikian, justru inilah saat melihat semua
tindakan yang sudah dilakukan sampai hari ini.
KTT Bumi mengusung konsep pembangunan
berkelanjutan yang menghubungkan banyak hal. Bukan hanya antara pembangunan
ekonomi, sosial, dan lingkungan, tetapi juga antara negara maju dan berkembang,
pemerintah, swasta, dan masyarakat. Tercakup pula pengetahuan ilmiah,
kebijakan, desa dan kota, serta lintas generasi.
Sayang, di lapangan kondisinya jauh berbeda.
Setelah 20 tahun, kesenjangan antara negara kaya dan miskin justru semakin
lebar. Seperlima orang terkaya dunia mendapatkan 70 persen total pendapatan,
sementara seperlima penduduk golongan paling miskin hanya mendapat 2 persen
dari penghasilan dunia.
Dalam bidang sosial, pertumbuhan ekonomi
dunia ternyata tidak serta-merta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Data
MDG menunjukkan dari 84 negara yang melaporkan kondisinya, 45 negara sudah
berjalan baik dan 39 negara tak mencapai target pengurangan kemiskinan.
Lingkungan Memburuk
Kondisi lingkungan juga semakin memburuk yang
ditandai dengan meluasnya penggundulan hutan rata-rata 5,6 juta hektar per
tahun (FAO, 2010) dan penggurunan seluas 4,8 juta hektar tahun 2012.
Punahnya keanekaan hayati juga mencapai lebih
dari 10 kali lipat di atas ambang aman yang disepakati, baik di darat maupun di
laut. Lebih dari 30 persen spesies yang hidup di laut terancam punah akibat
perubahan iklim, pengasaman laut, polusi, dan eksploitasi berlebihan.
Mengubah pola konsumsi yang tidak
berkelanjutan, seperti yang dijanjikan negara-negara maju pada 1992 juga tidak
berjalan. Bahkan, negara miskin mengikuti pola mereka.
Semua itu menunjukkan bahwa terdapat
kesalahan mendasar dalam implementasi pembangunan berkelanjutan. Kesepakatan
prinsip Rio tidak dijalankan. Hampir tidak ada komitmen yang terpenuhi,
termasuk pendanaan, transfer teknologi, dan peningkatan kapasitas.
Bagaimana dengan Indonesia? Seperti juga
negara lain, Indonesia mengalami kegagalan dalam menerapkan pembangunan
berkelanjutan. Meski termasuk negara dengan pertumbuhan ekonomi 5-7 persen,
kemajuan di bidang sosial dan kelestarian lingkungan masih kurang.
Sejauh ini pembangunan Indonesia 2003-2010
sudah berhasil meningkatkan jumlah kelas menengah dari 50 juta orang menjadi
113 juta, tetapi juga masih meninggalkan sekitar 60 juta penduduk miskin.
Penduduk miskin ini umumnya terkonsentrasi di enam provinsi: Papua, Papua
Barat, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, dan Aceh. Sebanyak 214 kabupaten
dari total 346 kabupaten (62 persen) di 32 provinsi memiliki angka kemiskinan
lebih tinggi daripada rata-rata nasional.
Pembangunan Indonesia
Pembangunan di Indonesia juga terus
mengorbankan lingkungan, seperti laju perusakan hutan yang mencapai angka 2
juta hektar per tahun pada kurun 1990-2000 dan terus melaju dengan angka
685.000 hektar per tahun pada 2000-2010 (FAO, 2010). Kerusakan daerah aliran
sungai hampir di seluruh Indonesia juga menjadi penanda kesalahan pembangunan.
Penghancuran pun terjadi di laut akibat
polusi industri di darat dan over eksploitasi di laut. Pencurian, penangkapan
yang tidak dilaporkan dan diatur juga menjadi penyebab hilangnya sumber daya
perikanan dan laut di Indonesia bagian barat.
Belajar dari kesalahan masa lalu merupakan
tindakan yang bijak. Banyak tindakan nyata yang harus dilakukan untuk
mengoreksi kesalahan ini.
Pertama, tidak merendahkan komitmen
pembangunan berkelanjutan dengan globalisasi yang dicirikan dengan liberalisasi
ekonomi, peningkatan konsentrasi penguasaan oleh korporasi raksasa, dan
merendahkan kedaulatan negara.
Kedua, memastikan sarana untuk implementasi,
yakni pendanaan, alih teknologi dan peningkatan kapasitas tersedia dan bisa
diakses oleh para pihak.
Ketiga, integrasi tiga pilar, yakni ekonomi,
sosial, dan lingkungan merupakan hal yang tidak bisa ditawar pada semua
kebijakan.
Keempat, harus ada penguatan ulang pada
prinsip yang paling mendasar, yakni common
but differentiated responsibilities. Artinya, negara maju harus mengubah
pola produksi dan konsumsi serta melakukan dukungan pendanaan dan transfer
teknologi dan negara berkembang menjaga lingkungannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar