Minggu, 24 Juni 2012

Rokok-Alkohol, Pintu Narkoba


Rokok-Alkohol, Pintu Narkoba
Djoko Santoso ;   Dosen FK Unair dan Dokter di RS dr Soetomo
Sumber :  JAWA POS, 23 Juni 2012
 

BELAKANGAN ini terjadi perang urat saraf antara dua kelompok dalam menyikapi rancangan aturan pengendalian tembakau. Kelompok yang prorancangan dengan konsisten berargumen, rokok adalah ancaman nyata terhadap kesehatan dan sekarang makin mengancam usia remaja. Kelompok ini berhasil membongkar upaya penghilangan "ayat tembakau" (yang menyatakan tembakau sebagai zat adiktif) di DPR. Kelompok ini juga gencar menyuarakan pembatasan iklan rokok, seperti penambahan foto tubuh korban akibat merokok secara mencolok pada bungkus rokok sampai pada upaya untuk melarang iklan rokok di televisi.

Sebaliknya, kelompok yang kontra tak kalah cerdik. Dengan dukungan pabrikan rokok, kelompok ini dengan gencar menyuarakan kepentingan ekonomi para petani tembakau dan para buruh pada pabrik-pabrik rokok kecil yang terancam nasibnya jika rokok dimusuhi. Hebatnya lagi, kelompok ini bahkan merilis "temuan" bahwa dalam tembakau, terdapat kandungan zat yang mendukung kesehatan tubuh manusia. Gongnya, menerbitkan buku Membunuh Indonesia: Konspirasi Global Penghancuran Kretek. Intinya, pembelaan terhadap eksistensi industri rokok kretek.

Kelompok antitembakau makin mendapat hantaman ketika Presiden SBY memberikan grasi kepada Schaphelle Leigh Corby. Si "Ratu Ganja" dari Australia ini mendapat kortingan 5 tahun dari total hukuman 20 tahun penjara yang diterimanya. Inilah yang membuat mantan Menkum HAM Yusril Ihza Mahendra bersama Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) langsung mengajukan gugatan ke PTUN.

Penyalahgunaan zat psikotropika atau narkotika dan obat terlarang (narkoba) disejajarkan dengan korupsi, digolongkan sebagai extraordinary crime alias  kejahatan luar biasa. Cakupannya meliputi ganja, kokain, crack-cocaine, marijuana, hasis, segala macam pil koplo, dan sabu.

Menurut the American Psychiatric Association's, penyalahgunaan zat psikotropika ini meliputi: penyalahgunaan, ketergantungan, dan illicit drugs. Istilah "penyalahgunaan" merujuk pada pola penggunaan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi. "Ketergantungan" merujuk pada riwayat penyalahgunaan dan penggunaan yang berlanjut. "Illicit drugs" lebih merujuk pada marijuana, hasis, kokain, inhalan, halusinogen, heroin, ATS (amphetamine-type stimulants, seperti amphetamine, methamphetamine, dan ecstasy) dan obat jenis resep yang digunakan secara nonmedis.

Semua bertautan. Pemakai awal rokok dan alkohol punya kemungkinan lebih besar terperosok menjadi pengguna zat haram di atas. Perilaku buruk sering diawali dengan perilaku yang hanya "agak buruk", tapi dilakukan secara terus-menerus. Contohnya, perilaku "agak buruk" seperti merokok dan minum alkohol yang dilakukan sejak remaja dan terus-menerus dengan mudah akan meningkat menjadi perilaku yang lebih fatal, seperti pemakai dan akhirnya pecandu narkoba.

Di AS dilaporkan, awal konsumsi rokok dan alkohol terjadi pada usia 12 tahun dan penggunaan narkoba pada usia 21 tahun. Sebesar 18 persen remaja lulusan sekolah menengah umum adalah perokok. Ada 17 juta orang usia 12 tahun ke atas yang mengalami ketergantungan alkohol dan zat nikotin tembakau. Untuk usia lebih dari 12 tahun, angka prevalensi perokoknya 14-44,9 persen. Pada peminum alkohol , untuk usia 12 tahun ke atas, sebanyak 6,3 persen adalah pecandu alkohol berat.

Alkohol dan tembakau mengancam kesehatan, berisiko meningkatkan penyakit kanker, jantung koroner, stroke, dan TBC. Sebagian konsumen rokok dan alkohol itu akan mudah terjerumus menjadi pengguna zat haram lain seperti kokain, heroin, pil koplo, dan sabu. Bahkan, pada remaja perempuan yang biasa merokok, itu merupakan petunjuk prediktif untuk penggunaan zat haram berikutnya.

Makin dini seorang remaja mulai merokok dan minum alkohol makin besar kemungkinan untuk menjadi pengguna zat haram lain. Perempuan alkoholik lebih gampang terjerumus menjadi pencandu amfetamin (pil koplo) ketimbang lelaki alkoholik.

Mengapa Menjadi Pecandu?

Dulu banyak yang berpendapat, mayoritas remaja mengonsumsi narkoba atau miras karena latar belakang sosial yang buruk, seperti keretakan keluarga dan kemiskinan. Tapi, sekarang argumen ini sangat lemah. Banyak sekali remaja dari keluarga yang mapan dan harmonis yang menjadi pecandu narkoba. Mengapa usia remaja rawan terjerumus? Remaja memiliki karakter alamiah, yaitu kecepatan pertumbuhan-perkembangan biologis dan psikologis. Inilah yang membuatnya rentan pada berbagai pengaruh negatif. Apalagi pengaruh buruk ini mengepung dari berbagai sudut.

Penyalahgunaan zat psikotropika ini bisa menghancurkan generasi. Kekuatan SDM bangsa kita makin lemah karena makin meningkatnya generasi koplo. Tubuh mereka rentan terserang penyakit. Sekitar separo kasus AIDS berasal dari pengguna obat injeksi. Separonya lagi disebabkan oleh infeksi karena penularan heteroseksual, tapi berkaitan dengan penggunaan narkoba.

Anggaran negara yang dialokasikan untuk merawat dan menyembuhkan para korban koplo ini jauh lebih besar ketimbang seluruh uang yang sudah dipakai untuk membeli barang haram ini. Singkatnya, para pencandu ini mengeluarkan X rupiah untuk berkoplo ria, tapi negara terpaksa mengeluarkan XXX rupiah untuk menangani dan merawat mereka. Lebih banyak lagi anggaran negara yang dikeluarkan untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan.

Pencandu sebagai Korban?

Bisakah kita memakai pendekatan lain? Misalnya, bisakah penyalahgunaan obat ini diposisikan sebagai masalah penyakit medis, bukan sebagai kejahatan? Langkah ini bermaksud menghargai yang bersangkutan sebagai individu, bukan mengecam mereka atas perilakunya. Masyarakat harus mendorong mereka untuk memutuskan berhenti menggunakan narkoba, memberikan dukungan yang diperlukan untuk kembali ke kehidupan yang sehat.

Dengan layanan medis, kejiwaan, dan dukungan sosial, diharapkan dapat tercipta sistem perawatan dan layanan yang selanjutnya bisa menurunkan angka kecanduan. Dokter dan tokoh masyarakat harus menjawab tantangan ini secara proaktif dan  mengadvokasi di komunitasnya. Ingat bahwa masyarakat tidak mampu menanggung konsekuensi dari kegagalan merangkul seluruh anggotanya yang berperilaku negatif. Jangan sampai masyarakat lantas diam pasif dan hanya menunggu tindakan pemerintah. Janganlah kita berdiam diri dan pasrah saja menunggu makin besarnya jumlah generasi koplo. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar