Kamis, 07 Juni 2012

Semarang Rumah (Film) Soegija


Semarang Rumah (Film) Soegija
Budi Widianarko ; Rektor Unika Soegijapranata Semarang
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 7 Juni 2012


"Ungkapan Mgr Soegija, ”100% Katolik, 100% Indonesia” menunjukkan kualitasnya sebagai salah satu tokoh nasionalis utama"

”...Pada jam 12.35 pesawat Hercules yang membawa rombongan jenazah mendarat di lapangan terbang Kalibanteng Semarang, di mana sudah ditunggu oleh para penjemput, baik dari fihak pemerintah daerah maupun dari fihak umat Katolik serta masyarakat yang bukan Katolik.” (
Sr Henricia Moeryantini CB, 1975)


NUKILAN itu menggambarkan peristiwa bersejarah kedatangan jenazah Mgr Albertus Soegijapranata SJ, yang berpulang di Steyl Tegelen Negeri Belanda pada 22 Juli 1963, ke Semarang. Siang (29/03/1963) itu, iring-iringan mobil yang panjang bergerak dari Kalibanteng ke Katedral Randusari untuk penerimaan jenazah oleh Keuskupan Agung Semarang.

Setelah disemayamkan selama beberapa jam, termasuk pelaksanaan misa besar requiem pada jam 18.00, peti jenazah diserahkan kepada pemerintah diwakili Panglima Kodam VII (kini Kodam IV)/Diponegoro Brigjen Sarbini. Jenazah disemayamkan ke Gedung DPRGR Daswati I Jateng Jalan Taman Menteri Supeno. Tuguran semalam suntuk dilaksanakan di tempat itu. .

Seperti ditulis oleh Sr Henricia, kota Semarang mendadak mengalami kesibukan luar biasa. Ada arus masuk rombongan dari berbagai kota menggunakan bus dan mobil pribadi. Esoknya (30/03/1963), jenazah diberangkatkan ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Giri Tunggal. Di tempat itu berlangsung dua upacara; gerejani dan militer. Perkabungan dua hari itu membawa kesan mendalam bagi pelayat.

Sr Henricia menuliskan, ”Di mana ada negara yang baru 1% penduduk katoliknya memberikan penghormatan sedemikian besar dengan mempersembahkan upacara kenegaraan yang istimewa kepada seorang uskup?” Lebih lanjut ia menuliskan,” Sejauh saya dengar memang baru di Indonesia, hal yang demikian dapat terjadi”.

Kini, hampir setengah abad setelah peristiwa pemakaman yang penuh kesan mendalam itu, serentak di berbagai penjuru Tanah Air pada 7 Juni 2012  film Soegija tayang perdana. Kota Semarang mendapat kehormatan untuk gala premiere film itu dua minggu sebelumnya (21/05/12).

Semarang layak mendapat kehormatan karena kota ini adalah tapak tempat Mgr Soegijapranata berkarya nyata, memainkan peran cantik nan berimbang antara pemuka agama Katolik di satu sisi dan tokoh kebangsaan di sisi yang lain. Tidak berlebihan jika Kota semarang di-daphuk menjadi rumah bagi film Soegija.

Pahlawan  Nasional

Penetapan Mgr Albertus Soegijapranata SJ sebagai pahlawan nasional tidak lama setelah ia mangkat, berdasarkan SK Presiden Nomor 152 Tahun 1963 menyiratkan ketokohannya. Mgr Soegija adalah pastor pribumi pertama yang ditahbiskan sebagai Uskup menjelang kelahiran Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa baru.

Segera setelah ditahbiskan sebagai Uskup untuk Vikaris Apostolik Semarang pada 6 November 1940 Mgr Soegija harus berhadapan dengan masa yang penuh tantangan menuju Perang Dunia II, hingga pendudukan Jepang tahun 1942 dan kecamuk revolusi kemerdekaan. Ketokohannya  tumbuh subur di tengah situasi yang penuh ketidakpastian saat itu.

Ungkapan Mgr Soegija, ”100% Katolik, 100% Indonesia” terus terngiang hingga saat ini. Ungkapan itu sekaligus menunjukkan kualitasnya sebagai salah satu tokoh nasionalis utama. Ia berhasil mengajak segenap umat Katolik untuk menjadi bagian pergerakan kemerdekaan. Dalam konfrontasi Indonesia dan Belanda ia berhasil menempatkan umat Katolik Indonesia dalam posisi tegas. Di satu pihak, gereja Katolik bersifat supranasional , di lain pihak orang-orang Katolik mendukung sepenuhnya perjuangan adil bangsa Indonesia.

Dalam sebuah artikel pada Majalah Commonwealth (edisi Desember 1948) yang terbit di Amerika Serikat, Mgr Soegijapranata menyatakan blokade terhadap pusat kekuasaan Republik Indonesia di Yogyakarta dan sekitarnya yang dilakukan Belanda bukan hanya berdampak ekonomi tetapi juga telah memengaruhi pikiran warga Indonesia.

Akibat blokade itu sejumlah warga mulai termakan pengaruh komunis. Ketiadaan sandang dan papan dimanfaatkan oleh kaum komunis untuk mengumbar janji. Berkenaan dengan keadaan itu, Mgr Soegijapranata mengimbau pembaca warga AS untuk mencari jalan menghentikan blokade Belanda atas Indonesia. Sedikit banyak, tulisannya ikut membukakan mata dunia terhadap situasi di Indonesia, hingga berujung pada Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan pengakuan Belanda terhadap kemerdekaan Indonesia  (A History of Christianity in Indonesia, Aritonang & Steenbrink; 2008).

Di Kota Semarang sendiri, jejak kepahlawanan Mgr Soegija terekam dalam catatan Pertempuran Lima Hari pada 14 Oktober 1945. Ketika itu, para pemuda sudah kehilangan kesabaran menyaksikan perilaku tentara Jepang yang masih tetap menduduki Semarang, padahal Jepang sudah kalah perang dan proklamasi kemerdekaan Indonesia sudah terjadi.

Dipancing

Para pemuda dipancing untuk menyerang Kota Semarang dan memusatkan diri di kawasan Jurnatan. Di lokasi itulah rencananya para pemuda kita akan dihabisi oleh berondongan mitraliur yang sudah disiapkan oleh Jepang. Mgr Soegija berjuang keras untuk mewujudkan gencatan senjata, sehingga meyelamatkan pemuda pemuda Indonesia dari rencana pembunuhan besar-besaran oleh Jepang (baca buku Sr. Henricia, 1975).

Pascawafatnya, Mgr Soegijapranata banyak meninggalkan jejak di Semarang. Cungkup makamnya yang khas di TMP Giri Tunggal adalah jejak fisik utama. Sebagai pahlawan nasional, namanya diabadikan sebagai nama jalan utama antara Wisma Perdamaian (rumah dinas Gubernur Jateng di Tugumuda) dan Jembatan Banjirkanal Barat. Bahkan sisa dana pembangunan cungkup di TMP Giri Tunggal pun menjadi benih sebuah yayasan sosial yang menyandang namanya. Karya Yayasan Sosial Soegijapranata (YSS) kini mencakup banyak bidang, seperti panti jompo, panti asuhan cacat ganda, permukiman, penjahitan, balai poliklinik dan lainnya.

Sejak 1982, Soegijapranata juga dipilih sebagai nama perguruan tinggi di Semarang, yaitu Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata. Kami, civitas academica Unika merasa yakin bahwa menyandang nama Mgr Soegija adalah sebuah tanggung jawab sejarah. Untuk terus menggali dan mengkaji nilai-nilai Soegijaparanata yang relevan, baik dalam kerangka historis maupun kekinian, Unika telah mendirikan The Soegijapranata Institute (TSI).

Patut disyukuri, TSI telah menapaki satu langkah kecil yang membuka pintu bagi langkah besar mendatang, yaitu digitalisasi semua tulisan, pidato, dan catatan Mgr Soegija. Dalam spirit yang sama, film Soegija yang disutradarai dan diperankan oleh Garin Nugroho dan Nirwan Dewanto — yang kebetulan bukan pemeluk Katolik— adalah pertanggungjawaban sejarah dalam bentuknya yang paling indah. Inilah taman sari keindonesiaan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar