Rabu, 13 Juni 2012

Semoga SBY Tersinggung


Semoga SBY Tersinggung
Hartono Sri DD ; Hipnoterapis, Tinggal di Semarang
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 12 Juni 2012


AWAL membaca artikel Dr Mahmudi Asyari (SM, 31/05/12) berjudul ’’Pidato Kata-kata’’, saya khawatir arah ulasannya hanya maido (menyalahkan, mencela) Presiden SBY. Saya tergerak membuktikannya, dan mendapat kesan bahwa kekhawatiran itu ternyata lebih buruk dari yang saya pikirkan.

Dia tidak sekadar menyampaikan tesis dan membangun dengan argumentasi pendukung tapi juga memberikan rekomendasi atas kebijakan yang semestinya diambil Presiden. Menanggapi pidato tentang penghematan (BBM), ia memaparkan bukti bahwa kebijakan Presiden hanya berhenti dalam bentuk tekstual keppres atau sejenisnya.

Bahkan pengalaman membuktikan bahwa kebijakan itu berujung pada deret penyimpangan. Isu penghematan nasional menjadi pemborosan nasional. Sebagai rakyat yang merasa memiliki (presiden), saya tersinggung. Pertanyaannya, benarkah Presiden akan tersinggung? Selama ini ia berkesan enteng menanggapi kritik. Seandainya tersinggung, seperti apa bentuknya?

Saya mengajukan dua pertanyaan itu mengingat budaya akademik yang menjadi landasan penulis sungguh sempurna. Lewat artikelnya, dia melontarkan tesis, menyuguhkan bukti argumentatif, dan bahkan mengakhiri tulisannya dengan sebuah rekomendasi kebijakan. Tulisan itu sungguh merupakan hortatory sempurna hingga tidak menyisakan ruang bagi siapa pun untuk menyerang balik, dan menyebut artikelnya sebagai tulisan kata-kata.

Saya malah berharap Presiden tersinggung, harus menampik serangan itu dengan wujud cerdas ketersinggungan yang menggambarkan persepsi Mahmudi Asyari hanya tulisan kata-kata.

Namun, supaya tidak lagi terjerembab pada lubang kesalahan yang sering disinggahi, SBY harus menyomasi dalam bentuk yang tepat. Bukan dengan kata-kata atau retorika melainkan dengan perbuatan (kebijakan).

Presiden harus cepat memutar gerak roda kabinetnya, mengejar janji pemerintahannya yang telah jauh meninggalkan. Langkah itu untuk mengurangi sinisme publik terkait lambannya reflek responsif keadaan yang telanjur menggurita. Kita harus mengakui lima paket yang disebut SBY sebagai kebijakan, baru berwujud wacana. Operasional di lapangan masih menimbulkan kegaduhan karena minim persiapan.

Kebijakan Tepat

Lima paket penghematan yang diluncurkan Presiden semestinya dijabarkan dengan kebijakan awal yang berujung pada sikap tanggap cekatan pemerintah mengatasi mahal dan langkanya BBM.

Pertama; pemimpin (pemerintah) membuat aksi simpatik yang intinya menunjukkan sikap prihatin. Misalnya, memotong anggaran perjalanan dinas, melarang penggunaan kendaraan dinas untuk kepentingan pribadi, dan mengurangi jatah subsidi BBM.

Kedua; pemerintah segera menyampaikan draf payung hukum pada DPR, cakap meyakinkan pentingnya upaya tepat penanganan keadaan. Ketiga; segera aksi-aksi persiapan untuk upaya penghematan, diproduksi massal. Misalnya chip perekam konsumsi BBM bagi tiap kendaraan dan conventer kit yang mengubah sistem dari BBM ke BBG. Pada saat yang sama, pemerintah mempercepat pembangunan stasiun pengisian bahan bakar gas.

Ketiga; memberi penyuluhan soal kondisi yang terjadi, ketika pemerintah sudah berhasil memberi contoh perilaku yang lebih baik ketimbang apa yang dipahami publik.

Penekanan waktu dimulainya aksi ini penting, mengingat risiko munculnya distrust karena salah mengartikulasikan (salah ucap).

Keempat; pemerintah membangun industri penghasil bahan bakar alternatif, yang bahan bakunya melimpah di Tanah Air, serta menggiatkan penelitian yang makin menyempurnakan sistem pengolahan dan mutunya.

Martabat (dignity) Presiden terlalu mahal tapi  Mahmudi Asyari bukan analytical exposition yang hanya menguraikan keteledoran melainkan juga menyuguhkan rekomendasi solutif.

Saya malah berharap Presiden tersinggung dan membalasnya dengan somasi cerdas, dalam wujud kebijakan yang tepat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar