Sentimen
Negatif Foke-Nara
Ali Nurdin ; Kandidat Doktor Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran, Bandung;
Direktur Strategy PR Jakarta
SUMBER : KORAN
TEMPO, 11 Juni 2012
Jika
hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dapat dipercaya, pasangan calon
gubernur dan wakil gubernur Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli (Foke-Nara) boleh
jadi sedang berada dalam situasi kritis menghadapi pemilihan kepala daerah DKI
Jakarta pada 11 Juli mendatang.
Dalam
survei yang dirilis pada 8 April lalu, LSI menyimpulkan Foke-Nara memiliki
elektabilitas sekitar 49,1 persen dan berpotensi menang dalam satu putaran.
Namun, dalam survei berikutnya dengan metode yang sama, yang diumumkan pada 27
Mei lalu, Foke-Nara diprediksi oleh LSI hanya bakal meraih suara sekitar 43,3
persen. Artinya, dalam waktu kurang dari dua bulan, dukungan terhadap Foke-Nara
tergerus hampir 6 persen.
Sementara
itu, dukungan bagi pesaing terdekatnya, Jokowi-Ahok, mengalami kenaikan lebih
dari 6 persen, dari 14,4 persen menjadi 20,9 persen pada periode yang sama.
Apa
artinya? Gejala penurunan dukungan ini menunjukkan bahwa Foke-Nara memiliki
sentimen negatif yang sangat besar dan terus membesar mendekati hari pemilihan.
Padahal
popularitas Foke di kalangan calon pemilih DKI Jakarta mendekati angka 100
persen, karena dia adalah kandidat petahana (incumbent) yang sudah tersosialisasi sejak sedikitnya lima tahun
lalu.
Sentimen
publik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari demokrasi (Axmann, 2003, Understanding Democratic
Politis, Sage Publications). Sentimen ini dapat bersifat positif atau
negatif. Sentimen negatif dapat dilihat dari gap antara tingkat popularitas dan
elektabilitas seorang kandidat. Makin tinggi jarak antara tingkat dikenalnya
dan kemungkinan terpilih seorang calon, makin tinggi sentimen negatifnya.
Sentimen ini bisa muncul dari berbagai faktor, salah satunya dari penilaian
terhadap rekam jejak kandidat yang dianggap tidak mampu menunjukkan
kepemimpinan dan kinerja yang mumpuni. Dengan berbagai problem yang membelit
Jakarta, seperti ancaman banjir dan kemacetan, Foke sangat rawan terkena
sentimen negatif yang tinggi, karena dia dinilai tidak mampu mengatasi kedua
masalah akut tersebut.
Sentimen
ini juga bisa bersumber dari kepribadian kandidat yang dianggap tidak layak
memimpin, misalnya dianggap sombong, arogan, dan kurang sopan-santun. Atau bisa
jadi karena pemilihan pasangan wakil gubernur yang dianggap tidak cocok.
Isu-isu seputar kandidat yang belum jelas kebenarannya juga sering menjadi
sumber sentimen negatif.
Celakanya,
sentimen negatif ini biasanya semakin besar sejalan dengan peningkatan
popularitas seorang kandidat. Karena semakin tinggi tingkat dikenalnya
kandidat, semakin banyak informasi tentang kandidat itu yang diketahui oleh
publik, ada kemungkinan akan semakin banyak pula informasi negatif mengenai
kandidat yang bersangkutan, yang sampai ke khalayak calon pemilih.
Dalam
situasi ini, tantangan bagi Foke bukan lagi memperkenalkan diri ke
sebanyak-banyaknya pemilih, melainkan meyakinkan calon pemilih yang sudah
mengenalnya bahwa dia adalah kandidat yang paling layak di antara kandidat
lainnya. Dengan kebutuhan seperti itu, strategi penyebaran poster, spanduk,
billboard, atau “serangan udara” melalui iklan televisi dan media massa lainnya
ada kemungkinan tidak lagi efektif bagi Foke-Nara. Publik membutuhkan
konfirmasi yang lebih konkret bahwa kandidat
yang sudah terkenal itu adalah yang terbaik di antara beberapa pilihan. Upaya
memperbanyak turun ke lapangan, kampanye dari pintu ke pintu, dan testimonial
adalah beberapa strategi yang dapat dipilih FokeNara untuk mengurangi sentimen
negatif terhadap dirinya.
Namun
pengalaman pada beberapa pemilihan di tempat lain membuktikan upaya mengatasi
stigma atas petahana ini tidak mudah dilakukan. Sejumlah kasus menunjukkan
petahana yang elektabilitasnya melorot sulit mengalami recovery untuk tetap
berada di atas para pesaingnya. Kekalahan Presiden Megawati Soekarnoputri dari
Susilo Bambang Yudhoyono (2004), Danny Setiawan di Jawa Barat (2007), Syahrial
Oesman di Sumatera Selatan (2008), atau Irwandi Yusuf di Aceh (2012)
memperlihatkan bagaimana sulitnya membendung sentimen negatif terhadap
petahana.
Putaran Kedua
Foke-Nara
harus bersiap menerima kenyataan bahwa pemilihan kepala daerah DKI Jakarta akan
berlanjut ke putaran kedua untuk mencari pasangan yang meraih dukungan di atas
50 persen. Bahkan, jika tren penurunan dukungan terhadap FokeNara ini berlanjut
sampai hari pemungutan suara, tidak mustahil suara petahana akan tersalip oleh
para pesaingnya, terutama Jokowi-Ahok.
Para
penantang Foke-Nara pada umumnya memiliki sentimen negatif yang relatif lebih
rendah. Belum banyak informasi negatif mengenai Jokowi-Ahok, Hidayat-Didik,
atau Alex-Nono yang sampai ke benak pemilih, sehingga membentuk resistansi
tertentu. Tingkat popularitas para kandidat penantang kalangan pemilih Jakarta
masih terbilang rendah, di kisaran 50-60 persen.
Para
penantang yang belum terlalu dikenal publik memiliki peluang yang cukup terbuka
untuk meningkatkan elektabilitas mereka dalam rentang waktu yang cukup pendek.
Presiden Yudhoyono (2004), Ahmad Heryawan di Jawa Barat (2007), Alex Noerdin di
Sumatera Selatan (2008), atau Zaini Abdullah di Aceh (2012) adalah contoh-contoh
kandidat penantang yang sukses meningkatkan elektabilitasnya dalam waktu
sekitar enam bulan saja--dan pada akhirnya memenangi pemilihan.
Strategi
bagi para penantang ini biasanya sederhana: genjot popularitas
setinggitingginya, maka elektabilitas akan ikut terdorong naik. Karena itu,
para penantang berkepentingan memasang alat peraga kampanye mereka
seluas-luasnya agar dapat dilihat oleh sebanyak-banyaknya pemilih. Penyebaran
poster, spanduk, pemasangan billboard, dan iklan di media massa atau media apa
saja yang dapat menjangkau orang banyak menjadi pilihan strategis para
penantang Foke-Nara yang ingin lebih banyak dikenal pemilih.
Sentimen
negatif terhadap Foke-Nara dapat menjadi ancaman mematikan jika pemilihan
kepala daerah DKI Jakarta berlanjut ke putaran kedua--ada kemungkinan Foke-Nara
berhadapan dengan Jokowi-Ahok. Foke-Nara berpotensi menjadi “musuh bersama“
sehingga pasangan yang kalah di putaran pertama secara bersama-sama mendukung
pemenangan penantang Foke-Nara. Jika itu terjadi, kiprah “Bang Kumis“ di
panggung pemerintahan Jakarta boleh jadi akan segera menjadi sejarah. ●
udh gda yg bsa ngrubah jakarta,,kl bkn dr rakyatnya sndiri yg sadar akn jakarta...
BalasHapus