Selasa, 12 Juni 2012

Sentimen Negatif Foke-Nara

Sentimen Negatif Foke-Nara
Ali Nurdin ; Kandidat Doktor Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Bandung;
Direktur Strategy PR Jakarta
SUMBER :  KORAN TEMPO, 11 Juni 2012

Jika hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dapat dipercaya, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli (Foke-Nara) boleh jadi sedang berada dalam situasi kritis menghadapi pemilihan kepala daerah DKI Jakarta pada 11 Juli mendatang.

Dalam survei yang dirilis pada 8 April lalu, LSI menyimpulkan Foke-Nara memiliki elektabilitas sekitar 49,1 persen dan berpotensi menang dalam satu putaran. Namun, dalam survei berikutnya dengan metode yang sama, yang diumumkan pada 27 Mei lalu, Foke-Nara diprediksi oleh LSI hanya bakal meraih suara sekitar 43,3 persen. Artinya, dalam waktu kurang dari dua bulan, dukungan terhadap Foke-Nara tergerus hampir 6 persen.

Sementara itu, dukungan bagi pesaing terdekatnya, Jokowi-Ahok, mengalami kenaikan lebih dari 6 persen, dari 14,4 persen menjadi 20,9 persen pada periode yang sama.
Apa artinya? Gejala penurunan dukungan ini menunjukkan bahwa Foke-Nara memiliki sentimen negatif yang sangat besar dan terus membesar mendekati hari pemilihan.
Padahal popularitas Foke di kalangan calon pemilih DKI Jakarta mendekati angka 100 persen, karena dia adalah kandidat petahana (incumbent) yang sudah tersosialisasi sejak sedikitnya lima tahun lalu.

Sentimen publik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari demokrasi (Axmann, 2003, Understanding Democratic Politis, Sage Publications). Sentimen ini dapat bersifat positif atau negatif. Sentimen negatif dapat dilihat dari gap antara tingkat popularitas dan elektabilitas seorang kandidat. Makin tinggi jarak antara tingkat dikenalnya dan kemungkinan terpilih seorang calon, makin tinggi sentimen negatifnya. Sentimen ini bisa muncul dari berbagai faktor, salah satunya dari penilaian terhadap rekam jejak kandidat yang dianggap tidak mampu menunjukkan kepemimpinan dan kinerja yang mumpuni. Dengan berbagai problem yang membelit Jakarta, seperti ancaman banjir dan kemacetan, Foke sangat rawan terkena sentimen negatif yang tinggi, karena dia dinilai tidak mampu mengatasi kedua masalah akut tersebut.

Sentimen ini juga bisa bersumber dari kepribadian kandidat yang dianggap tidak layak memimpin, misalnya dianggap sombong, arogan, dan kurang sopan-santun. Atau bisa jadi karena pemilihan pasangan wakil gubernur yang dianggap tidak cocok. Isu-isu seputar kandidat yang belum jelas kebenarannya juga sering menjadi sumber sentimen negatif.

Celakanya, sentimen negatif ini biasanya semakin besar sejalan dengan peningkatan popularitas seorang kandidat. Karena semakin tinggi tingkat dikenalnya kandidat, semakin banyak informasi tentang kandidat itu yang diketahui oleh publik, ada kemungkinan akan semakin banyak pula informasi negatif mengenai kandidat yang bersangkutan, yang sampai ke khalayak calon pemilih.

Dalam situasi ini, tantangan bagi Foke bukan lagi memperkenalkan diri ke sebanyak-banyaknya pemilih, melainkan meyakinkan calon pemilih yang sudah mengenalnya bahwa dia adalah kandidat yang paling layak di antara kandidat lainnya. Dengan kebutuhan seperti itu, strategi penyebaran poster, spanduk, billboard, atau “serangan udara” melalui iklan televisi dan media massa lainnya ada kemungkinan tidak lagi efektif bagi Foke-Nara. Publik membutuhkan konfirmasi yang lebih konkret bahwa kandidat yang sudah terkenal itu adalah yang terbaik di antara beberapa pilihan. Upaya memperbanyak turun ke lapangan, kampanye dari pintu ke pintu, dan testimonial adalah beberapa strategi yang dapat dipilih FokeNara untuk mengurangi sentimen negatif terhadap dirinya.

Namun pengalaman pada beberapa pemilihan di tempat lain membuktikan upaya mengatasi stigma atas petahana ini tidak mudah dilakukan. Sejumlah kasus menunjukkan petahana yang elektabilitasnya melorot sulit mengalami recovery untuk tetap berada di atas para pesaingnya. Kekalahan Presiden Megawati Soekarnoputri dari Susilo Bambang Yudhoyono (2004), Danny Setiawan di Jawa Barat (2007), Syahrial Oesman di Sumatera Selatan (2008), atau Irwandi Yusuf di Aceh (2012) memperlihatkan bagaimana sulitnya membendung sentimen negatif terhadap petahana.

Putaran Kedua

Foke-Nara harus bersiap menerima kenyataan bahwa pemilihan kepala daerah DKI Jakarta akan berlanjut ke putaran kedua untuk mencari pasangan yang meraih dukungan di atas 50 persen. Bahkan, jika tren penurunan dukungan terhadap FokeNara ini berlanjut sampai hari pemungutan suara, tidak mustahil suara petahana akan tersalip oleh para pesaingnya, terutama Jokowi-Ahok.

Para penantang Foke-Nara pada umumnya memiliki sentimen negatif yang relatif lebih rendah. Belum banyak informasi negatif mengenai Jokowi-Ahok, Hidayat-Didik, atau Alex-Nono yang sampai ke benak pemilih, sehingga membentuk resistansi tertentu. Tingkat popularitas para kandidat penantang kalangan pemilih Jakarta masih terbilang rendah, di kisaran 50-60 persen.

Para penantang yang belum terlalu dikenal publik memiliki peluang yang cukup terbuka untuk meningkatkan elektabilitas mereka dalam rentang waktu yang cukup pendek. Presiden Yudhoyono (2004), Ahmad Heryawan di Jawa Barat (2007), Alex Noerdin di Sumatera Selatan (2008), atau Zaini Abdullah di Aceh (2012) adalah contoh-contoh kandidat penantang yang sukses meningkatkan elektabilitasnya dalam waktu sekitar enam bulan saja--dan pada akhirnya memenangi pemilihan.

Strategi bagi para penantang ini biasanya sederhana: genjot popularitas setinggitingginya, maka elektabilitas akan ikut terdorong naik. Karena itu, para penantang berkepentingan memasang alat peraga kampanye mereka seluas-luasnya agar dapat dilihat oleh sebanyak-banyaknya pemilih. Penyebaran poster, spanduk, pemasangan billboard, dan iklan di media massa atau media apa saja yang dapat menjangkau orang banyak menjadi pilihan strategis para penantang Foke-Nara yang ingin lebih banyak dikenal pemilih.

Sentimen negatif terhadap Foke-Nara dapat menjadi ancaman mematikan jika pemilihan kepala daerah DKI Jakarta berlanjut ke putaran kedua--ada kemungkinan Foke-Nara berhadapan dengan Jokowi-Ahok. Foke-Nara berpotensi menjadi “musuh bersama“ sehingga pasangan yang kalah di putaran pertama secara bersama-sama mendukung pemenangan penantang Foke-Nara. Jika itu terjadi, kiprah “Bang Kumis“ di panggung pemerintahan Jakarta boleh jadi akan segera menjadi sejarah.  

1 komentar:

  1. udh gda yg bsa ngrubah jakarta,,kl bkn dr rakyatnya sndiri yg sadar akn jakarta...

    BalasHapus