Jumat, 15 Juni 2012

Sherny dan Hikmah Skandal BLBI


Sherny dan Hikmah Skandal BLBI
Augustinus Simanjuntak ; Doktor, Dosen Program Manajemen Bisnis
FE Universitas Kristen Petra
Sumber :  JAWA POS, 15 Juni 2012


LAMA tidak terdengar kabar penyelesaian kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sudah berusia sekitar 14 tahun. Tiba-tiba saja, publik diingatkan Kejaksaan Agung (Kejagung) dengan pemulangan dan pemenjaraan buron korupsi Sherny Kojongian dari San Francisco, Amerika Serikat. Terpidana 20 tahun dalam korupsi BLBI Bank Harapan Sentosa (BHS) itu pernah divonis in absensia pada 2002. Ironis memang, BI pernah memberikan dana talangan (bailout) Rp 1,57 triliun ke BHS sejak Agustus hingga Oktober 1997 meski kondisinya tidak sehat sejak Februari 1996.

Bahkan, BHS menerima tambahan bailout Rp 2,2 triliun sejak November 1997 sampai Oktober 1998. Perlu diingat, kasus BLBI berawal dari krisis ekonomi yang terjadi pada 1997-1998. Waktu itu, lembaga dana moneter internasional (IMF) menekan pemerintahan Soeharto untuk menutup 16 bank sebagai salah satu alternatif solusi krisis. Akibatnya, rush (penarikan dana besar-besaran) pun terjadi hingga banyak bank mengalami krisis likuiditas.

Mirip kasus bailout ke Bank Century, situasi krisis 1997-1998 memaksa BI menyuntikkan dana BLBI ratusan triliun rupiah ke bank-bank bermasalah. Di sinilah muncul dugaan bahwa situasi krisis justru dimanfaatkan oknum pebisnis bank untuk mengemplang dana BLBI. Modusnya, tindakan pejabat BI (memberikan dana BLBI) yang dianggap sah (rechtmatig) menurut hukum adminsitrasi telah disalahgunakan untuk mengorupsi uang negara. Lalu, siapakah yang harus bertanggung jawab secara hukum? Ada dua kemungkinan:

Pertama, pejabat BI yang ceroboh dalam bertindak sehingga dimanfaatkan oknum pebisnis bank bermasalah yang terafiliasi dengan kekuatan politik tertentu. Kedua, oknum pejabat BI dan pebisnis bank bermasalah serta kekuatan politik tertentu yang secara bersama-sama bersekongkol mengemplang dana BLBI. Hal itu tergolong perbuatan yang diatur dalam pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apalagi, tindakan itu dilakukan saat negara sedang krisis, pelakunya bisa dihukum mati (vide pasal 2 ayat 2).

Perjanjian Sekongkol

Korupsi dana BLBI memang bisa dirunut berdasar kajian hukum perdata. Oknum pejabat publik dan pebisnis (banker) bisa saja berkonspirasi untuk mengemplang uang negara lewat hubungan bisnis (perdata). Mereka melakukan perjanjian bisnis yang sah (utang-piutang). Tetapi, di balik perjanjian itu, terdapat persekongkolan jahat (black contracts) untuk bersama-sama melakukan korupsi. Tindakan hukum perdata oleh oknum pejabat (ambtenaar) yang dapat berindikasi korupsi memang tidak dirumuskan spesifik dalam undang-undang.

Namun, tindakan korupsi yang timbul dari hubungan perdata tetap bisa dirunut dengan menyelidiki adanya unsur penipuan terhadap negara menyangkut objek bantuan (utang) yang diperjanjikan. Artinya, pemberian dana BLBI ke bank-bank bermasalah seharusnya mengikuti prinsip-prinsip pemberian kredit dalam dunia perbankan, terutama prinsip kehati-hatian. Jika prinsip itu tidak dijalankan, tindakan pejabat BI patut dicurigai sebagai tindakan perdata (pemberian bailout) yang berindikasi korupsi secara sistemik.

Sunguh ironis, pemerintah mewajibkan seluruh pebisnis bank untuk berhati-hati dalam memberikan pinjaman (kredit), namun BI sendiri tidak menerapkannya dalam pemberian BLBI. Misalnya, BI seharusnya meneliti character (kejujuran pemilik bank), collateral (jaminan utang bank), capital (modal bank), dan capacity (kemampuan mengelola bank). Intinya, BI harus yakin bahwa dana talangan harus dikelola dengan sangat hati-hati dan bisa dipertanggungjawabkan kepada publik. Jika tidak memenuhi syarat untuk di-bailout, demi keadilan ekonomi, BI sebaiknya melikuidasi bank yang bersangkutan.

Jadi, kalau dana BLBI puluhan triliun ternyata tidak kembali, kasus ini tidak bisa lagi hanya dilihat dari aspek utang-piutang. Patut diduga, pemberian dana BLBI telah berindikasi korupsi (corruption by contract). Anehnya, Kejagung pernah melakukan gugatan perdata terhadap oknum pebisnis yang diduga ikut mengemplang dana BLBI (seperti Sjamsul Nursalim) pasca terungkapnya kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan plus Artalyta Suryani alias Ayin. Hal itu sungguh tidak lazim dalam menangani kasus kejahatan.

Demi keadilan, kasus korupsi tidak boleh diganti dengan gugatan perdata. Dalam teori hukum pidana, kasus kejahatan tidak bisa berevolusi menjadi kasus perdata. Lazimnya, perbuatan pidana (korupsi) harus segera diusut dulu sambil diikuti penyelamatan uang negara melalui penyitaan aset-aset koruptor. Bahayanya, kalau dugaan korupsi dana BLBI bisa diselesaikan dengan perdata, pelaku kejahatan lainnya pun akan meminta kasusnya diselesaikan dengan cara yang sama, tanpa proses pidana. Itu berbahaya bagi keadilan dan ketertiban sosial. Negara (kejaksaan) tidak boleh bersikap sejajar dengan si pelaku kejahatan, termasuk para pebisnis yang terlibat kasus korupsi dana BLBI.

Tugas negara (kejaksaan) ialah menindak perbuatan tercela para pengemplang dana BLBI. Maling ayam atau sepeda motor saja sering digebuki massa sampai babak belur karena perbuatannya yang tercela dan dibenci masyarakat, apalagi para banker yang mengemplang puluhan triliunan rupiah dana negara. Publik tentu sangat membenci tindakan mereka.

Karena itu, pemulangan dan pemenjaraan Sherny merupakan sebuah langkah maju penegakan hukum oleh Kejagung. Tindakan kejahatan memang harus dihukum dengan derita (nestapa) berupa pembatasan hidup (penjara), bukan dengan gugatan ganti rugi seperti yang dilakukan ke Sjamsul Nursalim yang baru-baru ini sempat diberitakan muncul di Singapura untuk melayat almarhum Sudono Salim (Liem Sioe Liong). Selain itu, uang dan aset yang berasal dari tindak kejahatan wajib disita untuk dikembalikan kepada negara.

Hukum pidana memang tidak selalu berhasil menyelamatkan kerugian negara karena dana yang dikorupsi sudah dihabiskan si pelaku atau sudah tidak diketahui ke mana larinya. Namun, vonis yang setimpal bagi oknum pejabat dan pebisnis yang ikut korupsi sudah cukup memberikan rasa keadilan kepada publik. Semoga para pebisnis di republik ini bisa mengambil hikmah dari kasus BLBI dan Kejagung tidak tebang pilih dalam menangkap koruptor. Ingat, masih banyak lho buron kasus BLBI. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar