Senin, 11 Juni 2012

Show Euro 2012 dan Krisis Euro

Show Euro 2012 dan Krisis Euro
Restu Iska Anna Putri ; Praktisi Keuangan dan Perbankan,
Penggemar Bola di Balikpapan
SUMBER :  JAWA POS, 11 Juni 2012


"FOOTBALL is business and business is money". Adagium itu dilontarkan pelatih asal Belanda Rinus Michels (1928-2005) yang sukses menggondol banyak piala. Di antaranya Piala Eropa untuk Belanda (1988). Adagium itu makin terasa kebenarannya di era industri sepak bola dewasa ini, terlebih di saat Euro 2012.

Terlepas dari beragam kepentingan politik, adu gengsi, atau motif lain, Euro merupakan ajang yang menyita dan menjanjikan banyak uang, khususnya bagi 16 negara peserta dan tentu saja bagi sang calon juara.

Bagi dua tuan rumah, biaya untuk menghelat Euro jelas tak main-main. Meski Polandia dan Ukraina masuk kategori developing countries (negara berkembang), mereka pasti tidak mau menyia-nyiakan kepercayaan sejak ditunjuk sebagai tuan rumah oleh Union of European Football Association (UEFA) pada 18 April 2007.

Kepercayaan itu membutuhkan uang raksasa. Ukraina menggelontorkan anggaran USD 25 miliar (Rp 225 triliun) untuk membangun infrastruktur, seperti empat stadion dan berbagai fasilitas pendukung. Sedangkan Polandia mengeluarkan USD 10,3 miliar (Rp 90 triliun).

Untuk insentif bagi 16 peserta dan juara Euro, UEFA di bawah Presiden Michel Platini juga menyiapkan uang kompensasi menggiurkan, yakni 196 juta euro atau setara dengan Rp 2,35 trililun. Coba bandingkan dengan dana pembangunan megaproyek untuk sport centre Hambalang sebesar Rp 1,1175 triliun (meski belakangan disebut-sebut sampai Rp 2,5 triliun).

Distribusi untuk setiap peserta dan juara Euro sebagai berikut. Setiap peserta mendapat 8 juta euro. Lalu, setiap kemenangan di penyisihan grup mendapat 1 juta euro, draw setengah juta euro. Lolos ke perempat final dapat 2 juta euro, lolos ke semifinal dapat lagi 3 juta euro, sedangkan lolos jadi juara meraih 7,5 juta euro. Jadi, jika perjalanan sebuah timnas dari babak penyisihan hingga final ada enam pertandingan, total uang yang diraih sang kampiun Euro 2012 mencapai 23,5 juta euro atau Rp 282 miliar.

Jumlah insentif sebesar itu bisa ditutup dari beragam sponsor, tiket penonton, tayangan televisi, dan internet. Bahkan, panitia masih bisa untung besar. Bayangkan, hampir 90 persen sponsor Piala Eropa 2008 sudah menjadi sponsor Euro 2012. Belum lagi sejumlah brand global yang sudah menandatangani kontrak sponsorship. Sedangkan untuk tiket, dalam perhelatan yang ke-13 ini, panitia Euro menyediakan setidaknya 1,4 juta tiket untuk 31 pertandingan. Harga tiket Euro 2012 dibagi dalam tiga kategori. Harga tiket yang paling murah berkisar 30 euro atau sekitar Rp 370 ribu. Sedangkan tiket termahal adalah 600 euro atau Rp 4,45 juta.

Kita juga belum menghitung sektor merchandising atau broadcasting dan bisnis "sampingan" lain yang perputaran uangnya pasti tidak kecil.

Indonesia termasuk beruntung karena kita bisa menikmati tayangan langsung gratis di televisi. Di banyak negara, termasuk di Eropa sendiri, setiap penonton siaran langsung juga harus mengeluarkan kocek sendiri. Begitulah sepak bola Eropa, sudah menjadi bisnis yang menggiurkan dengan perputaran uang yang luar biasa besar.

Moralitas Pamer

Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana perputaran uang besar itu masih berjalan di tengah krisis utang di Eropa hari-hari ini? Pertanyaan inilah yang mendorong sebagian kalangan di Eropa melakukan protes. Para pengkritik menilai Euro 2012 sebagai ajang pamer uang dan kekayaan yang tidak bermoral di tengah kondisi krisis utang yang terparah dalam sejarah Eropa.

Bahkan, krisis utang ini sudah menjalar menjadi krisis politik yang pelik. Jerman, misalnya, sedang menjaga jarak dengan Ukraina. Kanselir Jerman Angela Merkel tidak akan datang ke Ukraina, bahkan ketika timnas Jerman bermain. Meskipun alasannya adalah pemenjaraan tidak fair Yulia Timoschenko, mantan PM. Namun, Merkel tetap mengunjungi hotel tempat menginap tim Jerman di Polandia.

Krisis dianalisis terjadi karena kesalahan desain Uni Moneter Eropa (EMU) yang menggunakan euro sebagai alat tukar mulai 1 Januari 1999 bagi 17 negara anggota ditetapkan oleh Bank Sentral Eropa (ECB) yang didirikan pada 1998. Karena terikat pada satu mata uang euro, setiap negara anggota jelas tidak bisa melakukan devaluasi eksternal dengan mengubah nilai tukar mata uangnya terhadap mata uang asing.

Krisis ini bermula dari Yunani yang terjerat banyak utang, sebagaimana dialami Spanyol, Portugal, dan Italia. Krisis makin pelik karena Yunani mencoba keluar dari EMU dan memakai mata uang lamanya, drachma. Rencana keluarnya Yunani dari zona euro (Grexit) akan menimbulkan banyak efek domino.

Simak saja krisis Eropa kini mulai menjalar ke negeri kita. Ini terlihat pada transaksi barang dan jasa ataupun lalu lintas modal dalam neraca pembayaran kita, baik langsung maupun tak langsung, lewat mitra dagang, seperti India dan Tiongkok. Rupiah kita juga tertekan. Ekspor kita merosot, sedangkan impor terus melonjak.

Namun, seperti diketahui, tak ada yang bisa mencegah Euro 2012. Presiden UEFA Michel Platini menegaskan, "Euro 2012 must go on." Sebab, sepak bola adalah sepak bola. Krisis ekonomi atau utang Eropa tanggung jawab para pemimpin negara, bukan tanggung jawab UEFA.

Banyak yang sangat setuju dengan Platini. Bila terus memikirkan krisis, kapan kita akan bisa menghibur diri? Euro 2012 jelas menyuguhkan hiburan segar di tengah krisis dan masalah apa pun. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar