Sabtu, 02 Juni 2012

Si Oknum


Si Oknum
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior KOMPAS
SUMBER :  KOMPAS, 2 Juni 2012


Ikut berbelasungkawa atas tewasnya tiga penonton pertandingan Liga Super Indonesia (ISL), Persija Jakarta versus Persib Bandung, di Gelora Bung Karno, Minggu (27/5). Ini ironi karena kita sempat ditakut-takuti konser Lady Gaga di GBK yang batal karena dikhawatirkan tak akan aman.

Lebih ironis lagi ”pembunuhan” terjadi pada hari libur, saat crowd control lebih mudah dikelola. Dan, insiden terjadi di wilayah protokol tak jauh dari markas kepolisian daerah (polda).

Polda sedang menyidik siapa pengeroyoknya. Persija menyiapkan dana santunan untuk keluarga korban. Fan club kedua klub tentu menyesali. Para pemain Persija dan Persib prihatin dan berharap ini kejadian yang terakhir kali.

Namun, belum jelas sikap penyelenggara ISL yang dianggap ilegal oleh PSSI. Dan, juga apa sebenarnya sikap PSSI sendiri?

Beberapa bulan lalu jatuh seorang korban tewas terkait dengan pertandingan Liga Primer Indonesia (IPL) di Semarang. Jika penyidikan kurang tuntas, kekerasan kompetisi ISL atau IPL tak mustahil bisa terjadi lagi.

Tragedi Heysel” di Belgia tahun 1985 dipicu keganasan berandal Inggris sehingga 39 korban suporter Juventus (Italia) tewas. Inggris melarang klub ikut kompetisi Eropa sehingga para berandal tak bisa menonton ke luar negeri.

Mungkinkah kesadaran seperti itu ditiru pemerintah kita? Rasanya agak mustahil karena kompetisi ISL dan IPL merupakan bisnis besar dan hiburan bagi rakyat kecil.

Masih berharap aparat menciduk siapa yang bertanggung jawab atas peristiwa di GBK, 27 Mei lalu? Masih berharap ada yang sukarela mengaku bertanggung jawab atas insiden itu?

Rasanya tidak. Ya, tanggung jawab, kata yang nyaris tak bermakna lagi di negeri ini.
Benar sekali keluhan Wapres Boediono belum lama ini bahwa kekerasan telanjur membudaya di negeri ini. Mengapa kita masih mudah ”amok”?

Keliru jika dikatakan kita sudah selama 14 tahun menjalani era ”reformasi”. Justru sebaliknya, akibat kekerasan, kita menjalani era ”deformasi” karena semua hal praktis sudah ”tak berbentuk lagi”.

Apa kita masih menerapkan konstitusi? Basis pemberian grasi saja melenceng jauh karena dihadiahkan kepada ”ratu ganja” Schapelle Corby.

Tak banyak yang bisa diharapkan dari penegakan hukum, apalagi pembasmian aneka skandal korupsi, mulai dari Hambalang sampai Century. Deformasi merusak sendi-sendi kehidupan bangsa dan negara ini.

Penyebab deformasi adalah karena negara, sebagai satu-satunya otoritas kekuasaan, terdegradasi. Posisinya berada jauh di bawah kendali pemimpin, pejabat, politisi, partai, dan kelompok yang tak kenal tanggung jawab sosial, jabatan, ataupun pribadi.

Mantan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan pernah bicara tentang mereka yang tak kenal tanggung jawab. ”Mereka mirip bayi. Nafsu makan mereka besar, semua makanan dan minuman ditelan. Namun, setiap bayi belum bisa mengontrol diri saat buang hajat.”

Mereka selalu selamat dari setiap jenis pelanggaran, mulai dari korupsi sampai pelat nomor palsu ketua umum atau TNI. Mereka selalu dapat kekebalan hukum, mulai dari pengemplangan pajak sampai penyiksaan wartawan di Padang.

Ya, mereka pandai bersiasat karena selalu punya alibi. Kalau kepepet, mereka masih memiliki senjata pamungkas yang siap membantu yang bernama si oknum.

Sejak era Orde Baru sampai kini kita sering didongengi tentang si ”oknum” sampai tidur pulas dan mimpi warna-warni. Inilah orang yang sering menjadi bulan-bulanan, yang bisa didapat gratis atau meminta gaji.

Semua kesalahan, mulai dari gembong pemberontakan sampai penyebab kerusuhan, bisa ditumpahkan kepada si oknum ini. Selama puluhan tahun si oknum tak pernah stop dituding pembuat gara-gara, didakwa, dijadikan tersangka, atau dibui.

Si oknum orang bodoh, mati rasa, kehilangan logika, dan tak punya nurani. Ini membuat dia kadang berubah wujud menjadi kambing hitam, organisasi tanpa bentuk (OTB), atau setan gundul yang disalahi atau digebuki.

Walau sudah bolak-balik diinterogasi dan dijebloskan ke bui, si oknum selalu ada tersedia. Si oknum selamat dan awet bertahan lama, dari masa lalu sampai masa kini.

Sampai kini aparat suka marah, kalap, dan menyerbu siapa saja yang ”menyerang nama baik korps kami”. Namun, kalau ada anggota korpsnya yang bersalah, ia langsung berubah jadi oknum yang siap di....

Siapa gerangan si oknum? Harimurti Kridalaksana, ahli bahasa dari Universitas Indonesia, pernah mengatakan, perubahan selera, pergantian wawasan, kesalahpahaman, dan perkembangan sosial politik penyebab perubahan bahasa. 

Perubahan yang sering terjadi adalah perubahan makna. ”Salah satu di antaranya penyempitan makna, misalnya oknum. Tak banyak orang ingat bahwa kata itu punya makna netral, yaitu ’orang, pribadi’. Namun, orang lebih banyak menggunakannya dengan makna pribadi yang harus dipisahkan dari lingkungan pekerjaannya karena tingkah lakunya memalukan lingkungan. Jadi, sifatnya sempit dan negatif,” katanya.

Itu mungkin sebabnya kita keranjingan memakai kata sifat ”mafia” belakangan ini. Ketimbang menyidik siapa yang bertanggung jawab, lebih baik menuding oknum yang bisa disamar-samar. Dan, stok oknum itu masih banyak sekali. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar