Selasa, 12 Juni 2012

Siasat Menghadapi Para Pencuri Ikan


Siasat Menghadapi Para Pencuri Ikan
AM Hendropriyono ; Jenderal TNI (Purn);
Mantan Sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan RI
SUMBER :  KOMPAS, 11 Juni 2012


Para nelayan tradisional atau armada nelayan rakyat pasti lega ketika Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo mengemukakan, ”Kapal ikan ilegal yang sudah ditetapkan untuk dirampas oleh negara dapat dilelang atau dihibahkan kepada kelompok nelayan.”

Namun, kebijakan terobosan tersebut tak akan ada artinya jika sistem peradilan perikanan kita juga tak melakukan terobosan. Proses hukum berlarut-larut kerap membuat kapal-kapal pencuri ikan yang tertangkap keburu rusak, bahkan tenggelam sebelum keputusan pengadilan turun. Kecepatan proses hanya terjamin untuk waktu antara penangkapan oleh kapal patroli—baik oleh polisi perairan maupun TNI AL—sampai dengan sebagai tahanan jajaran kejaksaan. Dari kejaksaan sampai ke pengadilan cukup memakan waktu, dan yang paling lama adalah menunggu vonis dari pengadilan. Selama menunggu proses itu, jajaran kejaksaan harus ”titip” sampai bertahun-tahun kepada administrator pelabuhan tempat.

”Titip” begitu lama tanpa ada dana pemeliharaan yang memadai tentu saja mengakibatkan kebanyakan kapal tersebut rusak, bahkan tenggelam. Belum lagi masalah ikan curian yang tertangkap biasanya ”menguap” entah ke mana. Meski demikian, beberapa di antara kapal tahanan kejaksaan itu ada juga yang berhasil sampai ke tahap keputusan pengadilan yang bersifat inkracht, berkekuatan hukum tetap. Kapal ini kemudian dirampas oleh negara dan dapat mengikuti proses pelelangan atau hibah oleh Kementerian Keuangan.

Bentuk Tim Terpadu

Proses dari penangkapan oleh jajaran eksekutif ke yudikatif dan kembali lagi ke eksekutif itulah yang butuh waktu sampai berlarut-larut. Kapal yang dilelang, yang masih dalam keadaan layak pakai, biasanya jatuh kembali ke tangan pemilik semula, sebab si pemenang lelang biasanya broker yang terkait dengan si pemilik kapal. Akibatnya, kapal-kapal yang pernah ditahan itu kemudian kembali digunakan untuk mencuri ikan lagi.

Guna mengatasi proses hukum yang berlarut-larut, yang mengakibatkan mubazirnya kapal-kapal rampasan negara, pemerintah dapat membentuk tim. Tim terdiri atas Direktur Pengawasan Kapal pada Kementerian Kelautan dan Perikanan; jaksa tinggi dari kantor Jaksa Agung Muda Pembinaan; Direktur Pembinaan Kekayaan Negara dari Ditjen Anggaran, Kementerian Keuangan; dan Wakil Kabareskrim Polri atau Asisten Teritorial Kepala Staf Umum TNI (bergantung siapa yang menangkap).

Tim bertugas mengikuti proses hukum, sejak penangkap menyerahkan kepada jajaran kejaksaan sampai dengan penghibahan barang rampasan negara itu kepada kelompok nelayan. Proses di pengadilan dapat lebih lancar jika tim menunjukkan komitmen moralnya kepada jajaran yudikatif. Hakim di pengadilan negeri setempat biasanya juga lalu akan bersandar lebih pada legalitas moral daripada hal-hal yang kurang relevan, yang terkait dengan legalitas hukum semata.

Dengan legalitas moral, keputusan hakim bertujuan demi kemanfaatan bagi nelayan dan rasa keadilan ketimbang semata-mata untuk kepastian hukum. Kelompok nelayan penerima hibah harus yang tergabung dalam koperasi nelayan. Ini agar lebih mudah terawasi pemanfaatannya oleh jajaran dari Kementerian Koperasi dan UKM. Dengan cara itu, biasanya—sambil menunggu persetujuan resmi dari Menteri Keuangan—tim sudah dapat melakukan serah terima kepada koperasi nelayan-rakyat.

Jika alternatif vonis hibah yang ditempuh hakim, ada beberapa kendala kronis bersifat inheren yang harus diingat. Nelayan-rakyat kita belum banyak yang mampu jadi nakhoda kapal ikan para pencuri atau menjadi kepala kamar mesin, apalagi menjadi fishing master dari kapal-kapal yang dihibahkan, yang biasanya berupa kapal-kapal besi berbobot mati 140-150 GRT dan berperlengkapan jejaring ikan canggih. Di sini giliran yang bermain adalah kaum oportunis. Mereka beralasan melakukan usaha kerja sama dengan nelayan, yang akhirnya menjual kapal tersebut ke pasar. Ujung-ujungnya pembelinya juga pemilik lama atau paling tidak anggota dari mafia pencuri ikan di perairan kita.

Gudang Pendingin

Sejarah mencatat, sejak era Soeharto hingga kini ada satu hal yang selalu terwariskan, yaitu kita tidak mampu menangkap ikan kita sendiri dan kita juga tak mampu mengatasinya, apalagi mencegah pencurian itu. Alternatif siasat yang paling tepat kini adalah membangun gudang-gudang pendingin di beberapa kota pelabuhan di Indonesia. 
Para pencuri asing tak perlu kita kejar-kejar lagi, tetapi biar menjual ikan hasil tangkapan mereka ke gudang-gudang pendingin kita. Bagi mereka, cara ini juga lebih menguntungkan daripada harus menjual dengan kembali berlayar ke negaranya yang jauh. Tentu saja harganya harus yang menguntungkan bagi kedua pihak. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar