Sabtu, 16 Juni 2012

Suksesi Satu Selimut


Suksesi Satu Selimut
Tandi Skober ; Budayawan dan Penasihat Indonesia Police Watch
Sumber :  MEDIA INDONESIA, 16 Juni 2012


SEKALI tempo Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertutur bahwa ia beserta keluarga tidak akan mencalonkan dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. SBY terlihat cerdas saat memberi aksen pada kata mencalonkan. Kenapa? Mencalonkan bermakna lebih internal ketimbang kata di calonkan.

Dengan begitu, tidak jelas, apakah akan menerima bila Ny Ani Yudhoyono dicalonkan menjadi bakal calon Presiden 2014.

Yang bisa dijelaskan politik dinasti pada titik terjauh selalu bermuara dari alur nalar suksesi satu ranjang. Lagi pula, pilpres bukan soal demokrasi atau monarki tapi soal hasrat anomali politik kekuasaan. Ihwal lain, SBY sebagai manusia Jawa tahu betul bahwa istri itu garwa wingking, suarga nunut neraka katut, dadi presiden mantuk-mantuk. Yang bermakna istri itu terposisikan di belakang, dengan begitu ia akan mengikuti langkah suami ke surga ataupun ke neraka. Dijadikan presiden pun sangat setuju.

Dalam perspektif budaya kekuasaan Jawa, ihwal tersebut termaktub dalam frasa angrabeni iku kanthi suksesi. Ini kerap dimaknai sebagai rotasi kepemilikan kekuasaan itu tidak lebih dari pertautan suami-istri. Kepemilikan ini bersifat mobah mosik, turun naik. Di sini, sang istri cuma menerima, ngrenggo lan nglakoni ketika sang suami luruskan telunjuk agar menjadi wali kota, bupati, gubernur, hingga presiden.

Era Goro-Goro

Inilah politisasi angrabeni iku kanthi suksesi. Tidak aneh manakala dari Indramayu, Jawa Barat, Anna Shopana jadi bupati Indramayu era 2010-2015 menggantikan sang suami Yance, yang sudah dua periode duduk di kursi empuk itu.

Kenapa? Frasa kearifan kuno itu memosisikan ranjang sebagai pusat kekuasaan. Mirip obat nyamuk dengan memulai lingkaran terdalam yang merotasi hingga titik luar terjauh. Hakikat politik ada di dalam pergumulan dalam selimut. Di luar itu, rakyat, misalnya, lebih dimaknai sebagai angkot eksistensial legitimasi kepentingan kekuasaan.

Dengan begitu ada jarak yang tajam antara esensi kekuasaan dan realitas keseharian rakyat. Auctoritas non veritas facit legem seperti diungkap Hobbes (1588-1679) dalam Leviathan yang berarti kekuasaan bukan kebenaran yang membuat hukum.

Tidak mustahil, seusai angrabeni kanthi suksesi, sang suami duduk di sudut kamar seraya berkipas nyaman. Tidak aneh manakala nafsu politisasi suksesi satu selimut ini dinilai Winston Churchill, perdana menteri Inggris semasa Perang Dunia II (1875-1965), sebagai pembusukan budaya. “Saat perang kita hanya terbunuh sekali. Tetapi dalam politik kekuasaan kita dibuat mati berkali-kali,” tutur Churchill.

Frasa angrabeni iku kanthi suksesi dulu di era kerajaan dianggap hal yang biasa-biasa saja. Adalah aliran ritual kultural yang selalu mendapat pembenaran sejarah. Ini disebabkan istri, anak, besan, dan cucu adalah lingkaran antigon antiobat nyamuk kekuasaan.

Ini hal lumrah kekuasaan menumpuk di istana,” ungkap esais Sujiwo Tejo dalam sebuah diskusi ringan di Bandung. Jika raja tak memiliki putra mahkota sebagai buah pernikahan raja dan permaisuri, orang paling dekatlah yang berpeluang besar duduk di singgasana.
Kalau tidak menantu, besan, ataupun paman, bisa jadi permaisuri sebagai pengganti ketika raja sakit parah ataupun mangkat. Era Tarumanegara, selama 200 tahun (400-600), cuma 12 kali mengalami suksesi. Bisa jadi sang pengganti adalah sang istri, tidak mustahil dipersembahkan buat anak cucu.

Andai tidak ada anak, menantu pun jadilah! Sebut saja Raja Tarumanegara Linggawarman (666-669) tidak memiliki putra mahkota, melainkan dikaruniai dua putri, Manasih dan Sobakancana. Itu sebabnya Tarusbawa, suami Manasih, dipersilakan menduduki takhta kerajaan.

Demikian juga suami Sobakancana bernama Dapuntahyang Sri Jayanasa tak sulit melenggang masuk ke pusat pusar kekuasaan. Dari pusaran inilah kelak Dapuntahyang Sri Jayanasa dinobatkan menjadi penguasa Kerajaan Sriwijaya.

Suksesi seperti ini juga pernah diperagakan Presiden Soeharto. Pak Harto tidak memosisikan sang istri sebagai penerus, tetapi memilih putra-putri tercinta sebagai calon penguasa. Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut dinobatkan menjadi menteri sosial. Bambang Tri dan Hutomo Mandala Putra menjadi politisi di legislatif. Atmosfer politik kebudayaan dikondisikan dalam ruang gelap berselimut biologis kekuasaan. Tidak jelas siapa akan menjadi apa. Tak pelak, suksesi era Soeharto adalah era goro-goro! Era pembusukan yang destruktif bagi pembangunan ideologi kebangsaan.

Di sini hanya ada satu ideologi yang tersentralistik. Maklum di era itu pusat kekuasaan disebut sebagai replika sentra jagat raya. Di dataran disartikulasi ini, kedaulatan rakyat tentu saja hanyalah olok-olok belaka.

Toh, para penguasa kerap berfatwa bahwa substansi demokrasi itu adalah kedaulatan keajegan alam. Untung ada reformasi. Orde Baru ambruk dan politisasi angrabeni iku kanthi suksesi pun sirna ditelan amarah massa.

Era kini seperti setali tiga uang. Penunjukan putra SBY sebagai sekjen Partai Demokrat dan kemudian menjadi menantu Menko Perekonomian Hatta Rajasa, seperti mengulang cerita masa lalu. Terlebih Partai Amanat Nasional menggadang-gadang Hatta menjadi kandidat presiden pada 2014.

Dalam perspektif seperti ini, frasa angrabeni iku kanthi laku selayaknya tidak dipolitisasi menjadi angrabeni iku kanthi suksesi. Benarlah apa yang dikatakan Joohan Kim & Eun Joo Kim (2008:65) bahwa dalam politik yang serba instan, rakyat cuma dilihat sebagai deret matriks statistik ekonomi.

Di sini rakyat tidak lebih dari kumpulan massa yang menclok dan terpuruk di alur proses komodifikasi politik pragmatis. Rakyat tidak dilihat sebagai pemilik kedaulatan. Politik bertawaf pada panggung sandiwara sarat intrik yang cuma bisa menonton deretan baliho di setiap pengkolan jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar