Kamis, 14 Juni 2012

Terlalu Besar untuk Gagal

Terlalu Besar untuk Gagal
Ikrar Nusa Bhakti ; Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs
di Pusat Penelitian Politik LIPI
SUMBER :  KOMPAS, 14 Juni 2012


Hitung dengan teliti kekalahan,
Hitung dengan teliti kemenangan.
Aku sudah saksikan
Senja kekecewaan dan putus asa
Yang bikin Tuhan juga turut tersedu
Membekukan berpuluh nabi, hilang mimpi dalam kuburnya.
(Sajak ”Fragmen", karya Chairil Anwar)

Penggalan sajak dalam Frase-frase Berkilauan yang diterbitkan Siasat, 26 April 1953, dibacakan penyair Leon Agusta dalam diskusi peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, budayawan, cendekiawan, politisi, serta anggota Komisi Pemilihan Umum Sumatera Barat di Padang, 6 Juni 2012.

Untaian kata dalam sajak Chairil Anwar tersebut masih relevan hingga saat ini, apalagi jika dikaitkan dengan tingkah laku politisi kita. Menurut hasil survei terakhir Soegeng Sarjadi Syndicate, DPR adalah lembaga terkorup di Indonesia.

Korupsi di DPR berlangsung begitu terstruktur dan masif sehingga tidak hanya mencoreng wajah para politisi dan lembaga negara, tetapi juga menimbulkan kekecewaan dan keputusasaan luas di masyarakat.

Skandal korupsi ini berderet-deret. Dari pembangunan sarana transmigrasi di Papua Barat, cek pelawat, pembangunan wisma atlet di Palembang, pembangunan fasilitas olahraga di Hambalang, hingga proyek pembangunan berbagai sarana pendidikan di 16 universitas negeri adalah contoh-contoh korupsi hasil kongkalikong antara penguasa, pengusaha, dan politisi.

Kasus Hambalang yang anggarannya membengkak hampir 10 kali lipat—dari rencana awal Rp 125 miliar menjadi Rp 1,175 triliun—ternyata bukan hanya masuk ke kantong beberapa politisi Partai Demokrat, melainkan juga ke kas Partai Demokrat.

Anggaran pengadaan sarana dan prasarana di 16 universitas negeri senilai Rp 600 miliar juga diduga menjadi bancakan politisi di DPR (Kompas, 6/6/2012). Bancakan berarti para politisi lintas partai. Namun, pemain terbesarnya adalah beberapa politisi dari Partai Demokrat yang merupakan partainya penguasa.

Jika kasus mega proyek Hambalang dan proyek universitas tersebut dapat diungkap sampai ke akar-akarnya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), prahara bisa melanda Partai Demokrat.

Anatomi Korupsi

Jika kita berbicara secara informal dengan teman-teman politisi di DPR korupsi, baik di Badan Anggaran maupun di komisi-komisi, bukanlah hal baru. Pembahasan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) antara pemerintah dan DPR membuka peluang antara pemerintah-politisi-pengusaha untuk ”bekerja sama” mengeruk uang negara. Kementerian Keuangan sebenarnya sudah mengetahui praktik kotor itu, tetapi ada oknum-oknum di Kemkeu yang ikut larut dalam permainan tersebut.

Menurut informasi yang penulis dapatkan, korupsi di Badan Anggaran ataupun komisi berlangsung lintas fraksi. Biasanya seorang politisi ditunjuk sebagai ”perantara” atau ”juru runding” antara kementerian dan pengusaha yang akan memperoleh proyek. Para politisi di DPR kemudian mendapat ”uang jasa” 6 persen dari pengusaha. Dari jumlah tersebut, 4 persen untuk partai dan 2 persen untuk pribadi. Ada juga yang mengatakan bahwa para politisi yang menjadi ”calo proyek” mendapat 7 persen.

Jika dihitung-hitung, dari 100 persen nilai proyek, sudah dikorupsi 21 persen. Perinciannya, 7 persen untuk politisi DPR, 7 persen untuk orang di Kementerian Keuangan, dan 7 persen untuk satuan-satuan kerja yang instansinya mendapat proyek tersebut.

Persentase tersebut harus dibayar dimuka oleh perusahaan penerima tender. Walaupun sudah berlaku e-government demi transparansi anggaran di kementerian/lembaga negara, korupsi tetap saja terjadi. Dana untuk membayari para koruptor di pemerintah dan DPR tersebut diambil dari pengurangan spesifikasi proyek. Ada juga cara lain, perusahaan yang menang dengan nilai proposal terendah, saat proyek akan jalan mendapat tambahan lewat adendum anggaran.

Terlalu Besar untuk Gagal

Seperti yang diungkapkan Simon Mikhailovich, Co-founder Eidesis Capital, New York, ”Politicians have no incentive to act, unless faced with some sort of existential threat.” Terjemahan sederhananya, politisi baru akan bertindak jika mereka menghadapi ancaman.

Jika ancaman besar dapat meruntuhkan citra mereka, mereka akan bersatu untuk saling menutupi korupsi, seperti yang terjadi di DPR. Dengan demikian, kehancuran atau kerugian bersama tidak terjadi. Sebaliknya, jika tindakan untuk mengungkap korupsi dapat meningkatkan citra diri politisi atau partai, mereka akan ramai-ramai mengungkap korupsi, apalagi jika pelakunya politisi dari partai lain. Kasus wisma atlet, Hambalang, serta proyek sarana dan prasarana universitas juga demikian adanya.

Terlalu besar harga politiknya jika para politisi gagal menyatu untuk menutupinya. Jika memungkinkan, hanya satu atau dua orang ”pion” yang dikorbankan. ”Kuda”, ”perdana menteri”, atau ”raja” harus diselamatkan agar tidak terjadi kehancuran yang lebih besar.

Partai Demokrat bisa di ambang prahara jika partai-partai lain merasa mungkin untuk menyelamatkan diri. Sebaliknya, nama-nama besar di Partai Demokrat akan terselamatkan dari skandal-skandal korupsi tersebut jika politisi dari Partai Demokrat dan partai-partai lain bersatu untuk melindunginya. Sekali batu sendi korupsi di DPR itu runtuh, runtuh pula partai-partai lain yang korup.

Bagi KPK, ini juga merupakan pertaruhan politik yang besar untuk mengungkap kasus-kasus mega skandal korupsi ini. Mari kita lihat apakah politisi ataukah KPK yang benar-benar dapat ”menghitung dengan teliti kekalahan atau kemenangan mereka”.

Jika kita tak ingin melihat kekecewaan dan keputusasaan rakyat semakin menumpuk, KPK dan elemen masyarakat sipil harus bersatu untuk mengakhiri praktik-praktik kongkalikong antara penguasa-politisi-pengusaha yang telah menggerogoti keuangan negara kita.

Ayo KPK. Sebagai salah satu institusi yang masih dipercaya masyarakat, jangan sampai gagal mengungkap tuntas skandal ini. KPK juga terlalu besar untuk gagal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar