Minggu, 24 Juni 2012

Tesis Asia untuk Resesi Global


Tesis Asia untuk Resesi Global
Rene L Pattiradjawane ;   Wartawan KOMPAS
Sumber :  KOMPAS, 23 Juni 2012


Hiruk pikuk krisis zona euro sedikit mereda dengan berakhirnya pemilu Yunani pekan lalu. Terbentuk pemerintahan baru di bawah PM Antonis Samaras dari Partai Demokrasi Baru beraliran kanan-tengah. Sementara itu, Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Los Cabos, Meksiko, berakhir inkonklusif karena terpecahnya konsentrasi persoalan globalisasi ekonomi yang masih terancam situasi zona euro yang tak menentu.

Negara G-20 khawatir Uni Eropa tidak cukup komprehensif menyelesaikan krisis zona euro yang menyeret dunia ke dalam resesi. Kontraksi ekonomi terjadi di berbagai belahan dunia, mulai menurunnya ekspor China dan Jepang, menurunnya proses manufaktur kebutuhan konsumen, sampai melemahnya permintaan bahan baku secara global.

Frustrasi para pemimpin G-20 tercermin pada pernyataan Perdana Menteri India Manmohan Singh, yang berharap ada proposal konstruktif dari klub elite 20 negara untuk mampu mengendalikan jalannya perekonomian dunia. Sentimen serupa juga diutarakan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, yang menegaskan tidak adanya persatuan di antara negara Uni Eropa dalam krisis zona euro telah mengganggu semua pihak.

Eropa sendiri dengan kecongkakannya mengabaikan frustrasi para pemimpin G-20. Mereka secara naif terus menyerukan komitmen pemimpin G-20 untuk menyediakan dana talangan menyelamatkan perbankan Eropa melalui Dana Moneter Internasional (IMF).

Presiden Komisi Eropa José Manuel Barroso setibanya di Los Cabos dengan lantang menyatakan kehadiran Uni Eropa dalam KTT G-20 bukan untuk menerima pelajaran tentang demokrasi dan bagaimana menangani perekonomian Eropa. Presiden Amerika Serikat Barack Obama pun terkesan diam ketika resesi global terjadi. Bahkan, Barosso menuding hal ini karena kesalahan Washington mengelola ekonomi setelah ambruknya bank investasi terbesar dunia, Lehman Brothers Holding Inc, yang dinyatakan pailit.

Perdebatan Kaya-Miskin

Kita melihat arogansi Eropa dan tidak berdayanya adidaya AS terperangkap resesi global sejak tahun 2008. Washington sendiri tidak menyatakan komitmen menyumbang dana talangan IMF membantu krisis zona euro, ketika negara-negara berkembang seperti China, India, dan Rusia memberikan dana 10 miliar-40 miliar dollar AS.

Resesi global yang terus berlangsung memberikan makna penting perkembangan globalisasi pasca-Perang Dingin. Secara perlahan kita diingatkan kembali pentingnya dialog Utara-Selatan yang selama beberapa dekade lalu menjadi topik perdebatan penting antara negara kaya dan negara miskin.

Kelas finansial masyarakat negara maju yang membentuk kapitalisme keuangan, yang pada titik tertentu mampu membangkrutkan negara seperti fenomena Yunani yang masih dalam proses pemulihan utang negara (dan telah menyeret Spanyol), pasti tidak bisa ditanggung oleh Uni Eropa sendiri. Banyaknya butir tentang zona euro dalam Pernyataan Pemimpin G-20 di Los Cabos mencerminkan kekhawatiran ini.

Ini juga yang menjelaskan gagasan Uni Eropa merancang Economic and Monetary Union, mendukung Mekanisme Stabilitas Eropa (ESM) yang dianggap akan menjadi panacea krisis zona euro, yang menyengsarakan banyak orang Eropa.

Di sisi lain, para pemimpin negara maju lupa kompleksitas globalisasi menyebabkan keputusan unilateral akan berdampak luas terhadap keseluruhan sistem ekonomi, perdagangan, keuangan, dan moneter seluruh dunia. Ini pelajaran dari kasus Lehman Brothers yang menyeret Eropa dan pasti akan menyeret negara-negara lainnya.

Solidaritas Finansial

Dalam kerumitan krisis zona euro di tengah kebuntuan para pemimpin negara-negara maju, kita mengangkat jempol pada rencana negara anggota BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) membentuk kesepakatan pengumpulan cadangan dana internasional melalui perjanjian pertukaran mata uang (currency swap) sebagai bentuk solidaritas finansial menghadapi resesi global.

Gagasan ini sama seperti Inisiatif Chiang Mai ASEAN+3 (China, Jepang, Korea Selatan) yang dibuat menghadapi krisis keuangan Asia tahun 1997. Tujuannya, memperkuat struktur keuangan dan menjadi dana penting dalam membentuk kepercayaan global. Upaya ini juga menjadi bagian dari kebijakan stimulus pemerintah, khususnya memacu pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja.

Kita memahami rencana negara-negara BRICS ini sebagai antisipasi jauh memburuknya krisis zona euro. Mekanisme pendanaan seperti Inisiatif Chiang Mai memang tidak pernah diuji sebelumnya. Namun, gagasan dan prinsip yang dikandungnya menjadi kunci penting dalam membangun dan menjaga arsitektur keuangan dunia ketika ekonomi regional diguncang persoalan finansial dan moneter.

Mekanisme yang disebut sebagai Chiang Mai Initiative Multilateralisation ini mampu menghimpun dana sampai 240 miliar dollar AS. Gagasan ini, walau belum pernah diuji coba, mampu mempertahankan stabilitas pasar keuangan regional, dan lebih stabil ketimbang uji coba yang dilakukan melalui ESM atau Bank Sentral AS melalui Operation Twist yang menjalankan dua kali mekanisme quantitative easing membeli obligasi dalam jumlah besar.

Inisiatif Chiang Mai adalah tesis Asia menghadapi kerumitan globalisasi dalam sistem keuangan dan moneter. Sebagai jaring pengaman keuangan, menjadi menarik bila gagasan swap agreement BRICS ini terhubung dengan ASEAN+3 dalam inisiatif tersebut. Sehingga, dana terkumpul menjadi lebih besar dan terdiversifikasi secara luas di antara negara berkembang dalam lingkaran bisnis bersama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar