Rabu, 20 Juni 2012

Tidak Mampu atau Tidak Mau?


Tidak Mampu atau Tidak Mau?
Saldi Isra ; Guru Besar Hukum Tata Negara; Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
Sumber :  KOMPAS, 20 Juni 2012


Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat baru saja berlangsung pada 13-14 Juni. ”Dipimpin” langsung oleh Susilo Bambang Yudhoyono, sebenarnya forum ini bisa dikatakan tidak menghasilkan apa-apa dalam konteks desain besar agenda pemberantasan korupsi. Kalaupun ada ”sesuatu”, paling hanya meminggirkan Anas Urbaningrum dari elite Partai Demokrat.

Padahal, pertemuan penting yang dihelat di tengah lautan gelombang panas skandal Hambalang itu sangat diharapkan banyak pihak langkah nyatanya. Paling tidak, sebagai respons terhadap indikasi korupsi atas sejumlah petinggi Partai Demokrat (PD), baik dalam skandal wisma atlet, Hambalang, maupun suap pembangunan fasilitas di beberapa perguruan tinggi. Langkah nyata ini penting untuk membantu mendorong proses hukum agar bekerja lebih cepat.

Kenyataannya, jangankan langkah besar, forum ini justru digunakan pendiri dan deklarator PD untuk ngeles. Dengan menggunakan data kuantitatif, SBY sebagai Ketua Dewan Pembina malah berupaya menunjukkan bahwa PD lebih baik dibandingkan beberapa partai politik lain di DPR. Misalnya, menurut SBY, selama 2004-2012, korupsi yang dilakukan kader PD dari tingkat pusat sampai ke daerah (eksekutif ataupun legislatif) masih jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan empat partai politik lain.

Takut Risiko

Orang paham, forum darurat PD itu digelar sebagai langkah penyelamatan di tengah melorotnya popularitas partai politik pemenang Pemilu 2009 itu. Namun, melihat perdebatan yang muncul setelah pertemuan, jangankan penyelamatan, forum tersebut justru makin menenggelamkan PD. Penilaian demikian muncul karena PD tidak memiliki keberanian untuk menghasilkan langkah radikal bagi kader mereka yang terkait dengan sejumlah skandal korupsi.

Publik juga semakin kecewa karena bukannya membereskan masalah, SBY malah mengeluh mengapa hanya partainya yang disorot di tengah lautan korupsi di negeri ini. Jadilah ini pembenaran empiris, betapa janji ”akan memimpin langsung pemberantasan korupsi” dan kampanye ”katakan tidak pada korupsi” hanya pepesan kosong belaka. Maka, apa yang disebut langkah penyelamatan pun semakin meluluhlantakkan kepercayaan publik kepada PD.

Tentulah publik tidak akan mempersoalkan data yang diungkap Yudhoyono. Kalaupun tumpukan data yang tersedia menunjukkan korupsi oleh anggota PD berada pada posisi terendah dari semua partai politik di DPR, tidak cukup alasan bagi Yudhoyono menggugat sorotan publik. Apalagi fakta yang terkuak justru menunjukkan banyak kader PD berada di episentrum sejumlah skandal korupsi.

Tidak hanya itu, merujuk rentetan pengalaman yang ada, fakta empiris selama ini membuktikan bahwa hancurnya kepercayaan publik juga disebabkan oleh SBY yang tidak memiliki nyali untuk bertindak tegas terhadap kader PD yang terlibat korupsi. Sekiranya memang memiliki keinginan memberantas korupsi, kekuasaan besar sebagai Ketua Dewan Pembina bisa dengan mudah digunakan untuk memberikan shock therapy.

Paling tidak, di antara bukti yang menunjukkan lumpuhnya nyali tersebut dapat dilacak dari sikap terhadap M Nazaruddin. Sebagaimana diketahui, ketika skandal suap yang melibatkan bekas bendahara umum ini terkuak ke publik, PD memerlukan waktu lama dan bertele-tele untuk memberhentikan Nazaruddin.

Yang tak kalah menggelikan, Angelina Sondakh dipindahkan ke Komisi III DPR ketika yang bersangkutan ditetapkan menjadi tersangka skandal suap wisma atlet. Lebih dari sekadar kebablasan, kejadian itu sekaligus menunjukkan betapa PD mengalami mati rasa di tengah agenda pemberantasan korupsi.

Merujuk fakta tersebut, langkah besar yang diharapkan muncul dalam ”Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator PD” tak ubahnya seperti menunggu ayam jantan bertelur. Karena itu, capaian ala kadarnya forum itu hanya sebatas menambah tumpukan bara panas di bawah kursi panas Ketua Umum PD Anas Urbaningrum. Selain tidak mau mengambil risiko, biasanya langkah seperti ini diambil karena mengetahui dan menyimpan kelemahan setiap pihak. Karena itu, Dewan Pembina dan pendiri PD sengaja mendesain skenario yang membuat Anas tak nyaman (Kompas, 15/6).

Perlu Introspeksi

Tak ada yang bisa membantah fakta keterlibatan sejumlah anggota partai politik selain PD dalam praktik korupsi yang hari demi hari kian masif. Meski demikian, ngeles dengan membawa-bawa partai politik lain membuktikan sesungguhnya SBY tidak mau dan tidak mampu mengambil peran sentral menghunus pedang pemberantasan korupsi di internal PD. Jika hanya sebatas seruan, peran SBY lebih primitif dibandingkan dengan aktivis ICW dan pegiat antikorupsi yang lain.

Sebagai partai politik yang sedang berkuasa, barangkali menghunus pedang pemberantasan korupsi tak akan pernah dilakukan. Kalaupun ada, tindakan pada rentetan skandal korupsi itu tidak akan menyentuh tokoh sentral PD. Inilah ironinya karena banyak petinggi PD yang justru berada di episentrumnya. Dengan demikian, pembelaan Yudhoyono dapat dikatakan sekadar mempertinggi tempat jatuh. Jangan-jangan, ujung dari semua ini adalah nasib tragis PD: jatuh dari tempat tinggi dan tertimpa tangga pula.

Upaya ”menyebut” partai politik lain untuk membela partai sendiri masih dapat dibenarkan jikalau Yudhoyono hanya hadir dalam posisi politik tunggal, yaitu hanya sebagai Ketua Dewan Pembina PD. Namun, karena Yudhoyono juga presiden, memilih cara ngeles sangat tidak elok. Dengan posisi ganda itu, seharusnya Yudhoyono lebih berani bersikap terhadap anggota PD yang terlibat skandal korupsi.

Apabila ditempatkan pada agenda pemberantasan korupsi, gugatan yang amat mendasar adalah bilamana di internal PD saja gagal memimpin pemberantasan korupsi, bagaimana mungkin melakukannya di luar PD?

Sejumlah pihak percaya, kesempatan sejarah hanya mungkin dimulai jika mau dan mampu membersihkan lingkungan sendiri. Bagaimanapun, partai politik yang sedang berkuasa hampir pasti punya kesempatan lebih besar menyalahgunakan kekuasaan (power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely).

Sayang sekali, kesempatan sejarah yang diberikan seperti lenyap begitu saja. Karena itu, sebelum kesempatan benar-benar tertutup, lakukanlah langkah besar, terutama kepada anggota PD yang tersangkut skandal korupsi.

Siapa tahu langkah demikian masih bisa bermanfaat untuk membawa negeri ini keluar dari kubangan korupsi. Seandainya memang tidak berani, paling tidak, jangan menyalahkan orang lain untuk menutup ketidakmampuan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar