Rabu, 13 Juni 2012

Tragedi Tragis Investasi


Tragedi Tragis Investasi
Susidarto ; Praktisi Perbankan dan Pemerhati Bisnis
SUMBER :  SUARA KARYA, 12 Juni 2012


Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa di balik terjadinya resesi ekonomi Eropa (zona Euro) sekarang ini. Ternyata banyak orang kaya di negeri ini, terutama yang berdiam di kota besar, terkikis kekayaannya dalam tempo sekejap. Kejatuhan harga saham-saham global, termasuk harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), hingga kurang lebih 15 persen, mengakibatkan banyak investor mengalami kerugian tidak kecil. Banyak investor kehilangan uang hingga berbilang miliaran rupiah.

Fluktuasi nilai tukar rupiah yang jumpalitan tidak karuan, tak urung juga membuat banyak investor mengalami kerugian. Banyak investor membenamkan dan 'beternak' uang dalam produk terstruktur (derivative) yang sekarang ini sudah dilarang oleh Bank Indonesia (BI). Otoritas perbankan ini mencium adanya unsur spekulasi (gambling) di dalamnya, dan akhirnya melarang perbankan menjual produk terstruktur ini. Karena sifatnya yang spekulatif, produk ini ternyata juga berpotensi membuat nilai tukar rupiah menjadi semakin terpuruk.

Tragedi memilukan ini semakin lengkap, manakala banyak pula investor yang kejeblos membenamkan dananya ke dalam investasi bodong ala Koperasi Langit Biru (KLB), Tangerang, Banten. Tidak kurang Rp 6 triliun dana milik investor sudah dibenamkan di sana dan berpotensi hilang begitu saja. Maklum, sang ketua KLB, kini masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) dan para pengurusnya sudah lempar handuk tanda menyerah. Di sini, kembali terjadi tragedi yang memilukan terkait investasi. Raibnya uang 125.000 investor KLB, seolah menambah panjang daftar kerugian yang diderita oleh para investor Indonesia.

Hati-hati

Satu hal yang sering diabaikan oleh para investor, terlebih investor pemula yang sudah mulai mencicipi 'legitnya' keuntungan berinvestasi adalah semangat yang menggebu-gebu, tanpa melihat risiko yang melekat pada sebuah produk investasi yang dibelinya. Hingar-bingar dan eforia kenaikan indeks harga saham gabungan (IHSG) di BEI awal tahun hingga awal 2012, telah meninabobokan para investor untuk semakin gencar bersemangat dalam berinvestasi pada produk pasar modal. Juga, fluktuasi nilai tukar rupiah yang begitu tinggi, menjadikan mereka banyak bermain valas dalam rangka mengembangbiakkan uangnya.

Namun, inilah awal malapetaka ketika semuanya itu merupakan hasil dari upaya 'goreng-menggoreng' saham, dan hal ini pulalah merupakan harga yang harus dibayar dari sebuah investasi. Sejak awal para investor harus menyadari masalah ini. Bahwa dalam setiap bentuk investasi, selain mengandung aspek benefit (keuntungan), juga mengandung unsur risiko di dalamnya. Semakin tinggi return yang ditawarkan, maka semakin tinggi pula risiko yang melakat di dalamnya. Semangat investor ini juga dipicu oleh budaya instans ingin cepat kaya mendadak, dengan mengembangbiakkan uangnya di berbagai instrumen keuangan, bukan di sektor riil (bisnis).

Sayangnya, euforia ini harus dibayar mahal. Kejatuhan harga-harga saham, telah membuyarkan harapan dan impian para investor yang ingin meraup keuntungan besar dalam tempo sekejap. Maunya sih untung, tapi ujung-ujungnya justru buntung (merugi). Oleh sebab itu, langkah yang sebaiknya ditempuh oleh para investor adalah langkah kehati-hatian (prudent). Di tengah kemewahan tawaran berinvestasi belakangan ini, pihaknya harus jeli dan akurat menganalisis, instrumen apa yang akan dipilih sebagai sarana berinvestasi. Kalau perlu, pakailah penasihat keuangan (financial planner) yang sudah berpengalaman memberikan advis dan nasihat berinvestasi bagi para investor.

Agar tingkat kepercayaan investor tidak luruh akibat berbagai tragedi tragis berinvestasi, maka perlu dipikirkan adanya perlindungan (asuransi) efek-efek, sehingga nasabah akan merasa aman. Minimal pokok investasi yang telah dibenamkan tidak akan hilang sia-sia. Modal pokok investor akan kembali karena sudah dijamin oleh perusahaan asuransi. Memang, perhitungannya cukup rumit, mengingat adanya perubahan jumlah efek yang diinvestasikan setiap saat. Namun, masalah ini seharusnya bisa dicarikan formula perhitungannya, sehingga ke depan kepastian masalah ini bisa segera diatasi.

Bentuk perlindungan kepada investor yang lain, mungkin tidak perlu dilakukan dengan membentuk lembaga semacam LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) ala industri perbankan. LPS justru terkesan sebagai lembaga kuratif (pengobatan), bukan lembaga preventif (mencegah terjadinya sebuah kasus). Yang ditunggu justru serangkaian upaya dari otoritas bursa untuk mencegah terjadinya fraud dan kejahatan pasar modal secara aktif. Untuk itu, pengawasan yang sangat ketat (baik dari Bapepam-LK maupun BEI) secara periodik perlu dilakukan, agar kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari. Kasus SPS tidak akan pernah muncul apabila pengawasan terhadap para pemain pasar modal (utamanya broker/pialang) dilakukan secara ketat.

Selain itu, otoritas bursa dalam hal ini Bapepam-LK juga harus membuka diri terhadap setiap permintaan informasi dan konfirmasi dari nasabah tentang keberadaan pialang/broker atau para manajer investasi serta produk yang dikeluarkannya. Kasus yang menimpa nasabah (sekaligus investor pada surat berharga PT Antaboga Sekuritas) Bank Century tidak akan pernah terjadi apabila para nasabah yang sekaligus para investor itu sudah melakukan cek and recek ke pihak otoritas bursa perihal manajer investasi dan produk yang dikeluarkannya, yang ternyata adalah pepesan kosong (bodong).

Langkah-langkah di atas perlu dilakukan terutama untuk mencegah terjadinya krisis kepercayaan para investor, yang sebelumnya sudah mulai bergairah untuk berinvestasi di pasar modal. Jangan sampai para investor baru dan retail ini menjadi kecewa, dan kapok untuk berinvestasi di pasar modal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar