Selasa, 05 Juni 2012

Transformasi Visi Revolusi Mesir


Transformasi Visi Revolusi Mesir
Muhammad Ja’far ; Pengasuh www.timur-tengah.com
SUMBER :  KORAN TEMPO, 5 Juni 2012


Hasil pemilihan umum Presiden Mesir putaran pertama mengejutkan. Ahmad Shafik, loyalis mantan presiden Husni Mubarak, memperoleh 24,5 persen suara. Shafik berada di bawah Muhammad Mursi, calon presiden yang diusung Ikhwanul Muslimin, yang memperoleh 25,4 persen suara. Dengan hasil tersebut, Shafik akan bersaing dengan Mursi pada pemilu putaran kedua, 16-17 Juni nanti. Bukan tidak mungkin Shafik akan menang. Kalaupun tidak, keberhasilannya melangkah sejauh ini sudah lebih dari sekadar kejutan.

Fakta ini mengindikasikan lemahnya spirit dan soliditas kelompok penyokong revolusi yang berkobar lebih dari setahun yang lalu. Sebaliknya, kekuatan dan resistansi politik kelompok ternyata masih kokoh.

Mengapa kelompok revolusi lemah dan status quo masih kuat sehingga masih "berbicara" pada pemilu? Jawaban pada tingkat teknis dan artifisial bisa ditelusuri melalui analisis politik kalkulatif. Setidaknya ada dua penjelasan soal ini.

Pertama, lemahnya soliditas politik kelompok pro-revolusi. Mereka terpecah atas beberapa faksi politik. Berharap semua kelompok revolusi bersatu tentu absurd. Sebab, masing-masing mengklaim membawa basis ideologis dan konsepsi kenegaraan yang berbeda.

Tapi pertanyaan selanjutnya yang belum terjawab, mengapa suara rakyat Mesir yang berlabuh pada Shafik masih banyak. Seharusnya suara terfragmentasi kepada calon-calon presiden pendukung revolusi, apa pun bendera politik dan ideologinya, asalkan bukan tokoh status quo. Mengapa ini tidak terjadi?

Kedua, kondisi riil Mesir pascarevolusi yang tak kunjung stabil dianggap memberikan kontribusi atas munculnya apatisme dan romantisisme masa lalu. Ekonomi jatuh drastis, tatanan sosial kacau, dan politik terus bergejolak. Mursi menjadi katarsis memori stabilitas era Mubarak. Dalam batas tertentu, argumentasi ini benar.

Tapi, secepat itukah romantisisme masa lalu naik ke kesadaran politik rakyat Mesir, sedangkan revolusi baru berusia setahun lebih? Mungkin saja, jika karakteristik politik rakyat Mesir sangat pragmatis-oportunistik.

Ketiga, terjadi kecurangan secara sistematis yang dilakukan oleh kekuatan politik lama dan kelompok militer untuk memenangkan Shafik, seperti yang dituduhkan dan digugat beberapa calon yang kalah. Kecurangan sangat mungkin terjadi. Namun ini tidak menjawab persoalan secara tuntas. Oleh sebagian kalangan bahkan dinilai apologetik.

Transformasi Revolusi

Selain tiga argumentasi teknis-artifisial tersebut, tetap dibutuhkan penjelasan yang lebih substansial tentang "fenomena Mursi". Apa arti revolusi bagi rakyat Mesir dan akan digerakkan ke mana? Ini kunci jawabannya.

Revolusi sebagai sebuah visi, sepertinya belum terterjemahkan ke level masyarakat tengah dan bawah Mesir. Nilai-nilai revolusi tidak tertransformasikan menjadi paradigma politik mereka. Efeknya, spirit dan cita-cita revolusi tidak terinternalisasi dalam bentuk pilihan politik. Revolusi berhenti sebagai sebuah simbol, yang belum sempat terinterpretasikan menjadi aksi politik massa.

Gelombang massa yang berhasil menjatuhkan Mubarak dan berporos di Tahrir Square dulu mayoritas adalah kalangan terpelajar. Fakta bahwa angin revolusi digerakkan secara kencang melalui kincir sosial media menjadi salah satu indikatornya. Mereka adalah kelompok yang secara politis bisa dikategorikan "elite tengah", dengan beragam corak ideologi politiknya.

Pada pemilihan Presiden Mesir putaran pertama yang lalu, suara mereka tersebar ke beberapa kandidat prorevolusi. Dalam konteks ini, visi revolusi sukses ditransformasikan menjadi pilihan politik. Tapi calon yang mereka usung kalah. Ada tiga kemungkinan sikap politik kalangan ini pada pemilihan presiden putaran kedua nanti.

Pertama, menitipkan aspirasi kepada Mursi, meski dianggap tidak merepresentasikan ideologi politik mereka. Ini yang diharapkan Mursi, sehingga beberapa kali mengeluarkan komitmen politik yang sebenarnya sudah melampaui batas ideologisnya untuk mengakomodasi massa politik di luar tapal batasnya.

Kedua, menjatuhkan pilihan kembali ke otoritas politik lama, yaitu Shafik, karena dinilai lebih aman ketimbang berpelukan dengan kelompok berbasis ideologi Islam. Ketiga, memutuskan tidak menggunakan hak pilih (golput). Opsi yang ketiga ini bisa merugikan posisi politik Mursi, yang sangat mengharapkan limpahan suara kelompok prorevolusi.

Kembali ke soal substansi revolusi, pada tingkat elite, setahun berjalan, pemaknaan revolusi masih lebih pada dua persoalan: negosiasi transaksi politik atau kekukuhan mempertahankan tawaran politik. Adapun realitas politik Mesir membutuhkan proses konsolidasi secara cepat di antara berbagai elemen politik. Sebab, kondisi ekonomi menunggu kibaran bendera stabilitas dari politik.

Apa penyebab berlarutnya proses konsolidasi tersebut? Secara kasatmata, penyebabnya tampaknya adalah perbedaan ideologi politik di antara kelompok Islam ideologis, moderat, dan liberal. Bahkan di kalangan internal tiap kelompok terjadi friksi lagi. Tapi, secara substansial, sebenarnya belum begitu gamblang dipastikan bahwa fragmentasi ideologis di antara kelompok itu benar-benar runcing sehingga tertutup pintu dialog dan konsolidasi. Kalau antara kelompok Salafi radikal dan liberal mungkin terlihat jelas. Misalnya, soal pilihan hitam-putih antara konsep negara Islam dan sekuler.

Tapi, di antara kelompok yang radius ideologi politiknya berada di antara kedua kutub ekstrem tersebut, sepertinya masih terbuka ruang dialog ideologis dan konsepsi politik. Ini yang tidak berjalan. Yang terjadi sejauh ini tampaknya sekadar negosiasi politik dan transaksi kepentingan. Basis komunikasi politiknya adalah kepentingan politik artifisial, bukan substansial. Konsolidasi menjadi peluang yang dinegasikan.

Efeknya, proses transformasi prinsip dan nilai revolusi akhirnya tak kunjung ditransformasikan pada level massa bawah, karena masih berkutat pada tingkat elite dengan spirit kepentingan, bukan konsepsional. Sementara itu, pilar revolusi tak lagi kuat untuk menahan beban instabilitas politik, ekonomi, dan sosial. Massa bawah yang belum mencerna visi revolusi tak lagi dapat bersabar menjalani transisi yang mencekik leher perekonomian mereka. Muncul gejala apatisme, labil, frustrasi, dan putus asa.

Dalam kondisi seperti ini, elemen kekuatan politik lama, salah satunya direpresentasikan oleh militer, menyusup masuk ke dalam saraf-saraf kesadaran revolusioner rakyat Mesir, memancing keluar kerinduan akan stabilitas ekonomi dan politik masa lalu, serta menyuntikkan keputusasaan dan apatisme terhadap masa depan yang dijanjikan revolusi. Bawah sadar politik stabilitas gaya Mubarak perlahan naik ke atas sadar.

Sepertinya inilah modus operandi kerja politik kekuatan lama pada kognisi politik massa bawah Mesir. Shafik adalah representasi simbolisnya. Strategi itu ditindaklanjuti dengan aksi nyata. Selama setahun terakhir, beberapa kali terjadi konflik sosial. Ini memunculkan kegamangan sebagian publik pada kemampuan sipil memimpin Mesir, meski sebenarnya konflik itu hasil kreasi tangan tak terlihat kelompok militer dan kekuatan lama. Mayoritas sendi-sendi perekonomian Mesir yang berada di bawah penguasaan militer membuatnya semakin leluasa menekan.

Walhasil, bendera revolusi sudah dikibarkan di Mesir. Bagaimana tetap menjaga embusan "angin"-nya itulah yang kini sedang menguji rakyat Mesir. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar