Kamis, 21 Juni 2012

UU Progresif Pemilu Presiden


UU Progresif Pemilu Presiden
Arbi Sanit ;  Pengamat Politik; Pensiunan Dosen FISIP UI
Sumber :  KOMPAS, 21 Juni 2012


Tradisi mengubah UU Pilpres setiap menjelang pemilu menggambarkan ketidakpastian sistem politik dan pemerintahan selama satu setengah dekade reformasi. Inilah saatnya mereformasi UU Pilpres agar menjadi progresif.

Upaya mengubah UU Pilpres 2008 mengandung kontroversi karena dilandasi dengan pemaknaan demokrasi parsial (prosedural). Sejauh ini UU Pilpres dan debat perubahannya bersikukuh pada fungsinya sebagai representasi politik dengan mengabaikan fungsi good government. Dampaknya adalah langgengnya sistem pemerintahan semi-presidensial sekaligus mengesampingkan sistem presidensialisme.

Padahal, presidensialisme dalam UUD 1945 amandemen ditegaskan dalam Pasal 4:1 tentang presiden (kekuasaan eksekutif), 5:1 (memajukan RUU ke DPR), 7 (masa jabatan tetap 5 tahun dan dapat dipilih untuk 5 tahun lagi), 7A dan B (bisa di-impeach secara bersama oleh DPR dan MK serta MPR), 7C (tidak membubarkan atau dibubarkan DPR), serta 17:2 (mengangkat dan memberhentikan menteri).

Memang ada pasal banci yang mendalihkan semi-presidensial, yaitu pasal 20:2 (RUU dibahas dan disetujui bersama DPR, yang memberi kekuasaan ekstra kepada presiden karena Pasal 20:1 memastikan kekuasaan legislasi DPR). Juga Pasal 20:4-5 yang mereduksi veto presiden menolak pengesahan UU menjadi 3 bulan sehingga hak legislasi DPR melebar ke eksekutif. Lalu Pasal 6A (pasangan capres dimajukan oleh partai atau koalisi) yang memberi angin pelanggengan multipartai.

Pasal 26:1f UU Susduk tentang kewenangan DPR mengawasi pelaksanaan APBN dan kebijaksanaan pemerintah membuka peluang intervensi sehingga menjadi dalih bagi praktik semi-presidensialisme. Anehnya, eksekutif dan DPD yang punya legal standing dan ahli ilmu tata negara dan politik serta pemerintahan yang punya scientific standing tidak mengeluh, apalagi meminta amar kebenaran dari MK.

Kontra-Presidensialisme

Fungsi kontra-presidensialisme yang secara eksplisit dan implisit terkandung dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres dan sekaligus mendefisitkan demokrasi adalah sebagai berikut.

Pertama, substansi UU yang secara konstitusional mengoperasikan semi-presidensialisme tetap dipertahankan sekalipun mengingkari UUD hasil amandemen. Kedua, fungsinya melestarikan oligarki kepartaian terpelihara karena melanggengkan dominasi elite politisi dan sistem multipartai melalui monopoli pencalonan paket capres.

Ketiga, sekalipun ada threshold 20 persen, Pemilu 2014 bisa jadi akan menampilkan pasangan capres berkualitas rendah karena UU hanya merinci syarat administratif dan sumir deskripsi syarat kemampuan calon.

Keempat, sekalipun menyediakan kesempatan koalisi partai sejak penjaringan bakal calon, UU itu tidak mengondisikan kehadiran kekuatan politik utama yang memungkinkan redanya konflik presiden versus DPR agar pemerintah stabil dan efektif.

Kelima, sekalipun mensyaratkan lebih dari 50 persen suara bagi presiden terpilih, UU itu menisbikan peran partai untuk dialihkan kepada capres sambil memelihara pluralisme kepartaian sehingga semakin memandulkan fungsi partai.

Keenam, dengan menyelenggarakan pilpres setelah pemilu parlemen, UU Pilpres terperangkap parlementarianisme.

Jika rezim Orde Lama dan Orde Baru menerapkan sistem pemerintahan semi-presidensialisme berdasarkan UUD 1945 dengan pemusatan kekuasaan di tangan Presiden, Orde Reformasi menerapkan sistem pemerintahan tersebut untuk memenuhi tuntutan demokratisasi dengan memperkuat DPR. Pengalaman 53 tahun semi-presidensialisme telah menghasilkan dua versi: terlalu berat ke presiden dilanjut dengan terlalu berat ke parlemen. Itulah sebabnya mengapa revisi UU Pilpres tambal sulam.

Tata cara penyelenggaraan pilpres sebaiknya diatur dalam UU. Misalnya, materi kampanye yang terdiri dari visi-misi-program sebaiknya ditambah dengan rekam jejak pengalaman kepemimpinan, integritas, dan manajerial capres. Ini akan berguna bagi pemilih untuk menentukan pilihan berdasarkan manfaat yang diberikan capres terpilih.

Perbaikan Progresif

UU Pilpres memang perlu diperbarui secara progresif sebagai bagian dari percepatan demokratisasi yang dalam hampir satu dekade terakhir tampak semakin mengalami perlambatan, bahkan pembalikan di sana-sini.

Sebagai UU pengendali penentuan pasangan penguasa tertinggi eksekutif, tentulah tujuan akhirnya mengondisikan realisasi tujuan negara, yaitu demokrasi dan kemakmuran. Ini melalui tujuan antara lewat terpilihnya presiden dan wakilnya yang bertekad kuat dan berkemampuan tinggi merealisasikan tujuan negara dimaksud.

Tidak boleh terulang lagi kehadiran pasal banci UUD 1945 yang ”ditafsir paksa” dengan mengabaikan nalar dan roh konstitusi itu sendiri. Karena itu, UU Pilpres progresif mestilah menjadikan sistem politik dan pemerintahan demokrasi presidensialisme sebagai kerangka kerja sesuai perintah konstitusi.

Berbeda dengan UU Pilpres masa lalu yang mengandalkan pluralisme kekuatan politik sebagai poros, materi UU Pilpres progresif mestilah berporos pada mayoritarianisme untuk memenuhi persyaratan konstitusi.

Poros substansi pilpres progresif mengintegrasikan delapan komponen proses pilpres. Pertama, pilpres sebagai kompetisi politik di antara rivalitas kekuatan politik. Kedua, menyediakan dua tahap pencalonan, yaitu pra-pilpres tanpa pembatasan, baik calon intra maupun antarpartai. Ketiga, pilpres progresif untuk menentukan kalah dan menangnya capres berdasarkan kualitas popularitas, integritas, dan kapabilitasnya.

Keempat, kekuatan politik atau koalisi partai yang mungkin memenangkan calonnya dengan suara melebihi 50 persen adalah penyandang predikat mayoritas dan yang kalah dengan suara kurang dari 50 persen berpredikat minoritas. Kelima, kemenangan capres melegitimasi kekuasaan presiden dan memungkinkan dukungan mayoritas anggota parlemen untuk mengefektifkan pemerintahan.

Keenam, hasil pilpres menstrukturkan ulang komposisi kelompok anggota DPR berdasarkan fraksi menjadi kelompok fraksi pendukung pemerintah dan non-pemerintah yang memerankan oposisi. Ketujuh, idealnya terjadi perimbangan relatif antara ”fraksi pemerintah” dan ”fraksi oposisi” untuk menghindarkan dominasi pemerintah. Kedelapan, keputusan rapat yang kompetitif dihasilkan lewat jajak pendapat.

Seleksi ketat capres dilakukan dengan mempersaingkan capres dari sisi fisik dan mental, dari sisi individual dan keluarga, serta dari sisi kelompok dan organisasi, yang dinilai oleh KPU bersama opini publik—lewat survei—untuk menghasilkan dua pasang terbaik. Persyaratan capres terdiri dari karakter, perjalanan kapabilitas kepemimpinan dan manajerial, pembaruan, serta relevansinya dengan visi dan program untuk diverifikasi KPU.

Untuk meminimalkan korupsi politik pemilu, baik yang berbentuk materi maupun tindakan ilegal, perlu konsistensi dalam menaati etika dan hukum. Dana sebaiknya berasal dari negara penuh atau pendisiplinan manajemen pendanaan pilpres. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar