Wajah
Baru Kelas Menengah Indonesia
Bambang Setiawan ; Litbang KOMPAS
SUMBER : KOMPAS, 8
Juni 2012
Empat belas tahun setelah krisis ekonomi
1998, kelas menengah Indonesia kian besar dan menegaskan karakternya. Di tengah
pasar bebas dan naungan kelembagaan demokrasi, kelas ini justru menjadi
pendukung fundamentalisme.
Krisis ekonomi yang berlangsung sejak 1997
hingga 1998 betul-betul memberi pelajaran yang sangat berharga bagi masyarakat
sehingga sempat memberi jeda sejenak pada meningkatnya pola konsumtivisme yang
mulai merangkak naik sejak berkah minyak bumi tahun 1970-an.
Hasil survei Litbang Kompas yang dilakukan
menjelang krisis tahun 1997 dan setelah krisis tahun 1999 memberi perbandingan
yang jelas mengenai menurunnya perilaku belanja masyarakat terhadap
barang-barang mewah ataupun penggunaan waktu luang. Krisis ekonomi berpengaruh
cukup dahsyat secara psikologis terhadap sejumlah kegemaran kelas menengah dan
kelas atas mengoleksi barang elektronik. Ketika krisis berlangsung, tidak
sedikit masyarakat kelas menengah atas yang melego barang elektronik mereka
untuk memburu beras, susu, dan kebutuhan pokok lain. Sebanyak 18 persen
masyarakat Jakarta yang tadinya berada di kelas menengah turun kelas menjadi
kelas bawah.
Setelah krisis berlalu, perlahan mereka
bangkit lagi seiring membaiknya kondisi ekonomi. Kelas menengah tumbuh cepat.
Studi Bank Dunia menyebutkan, kelas menengah Indonesia saat ini 56,5 persen
dari 237 juta penduduk. Kalau pada 2003 berjumlah 81 juta jiwa, kini menjadi
134 juta jiwa atau tumbuh 65 persen selama sembilan tahun (baca di halaman 33).
Hasil survei Litbang Kompas yang dilakukan
Maret-April lalu di enam kota besar (Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya,
Medan, dan Makassar) juga menunjukkan kisaran jumlah yang sama. Kelas menengah
berjumlah 50,3 persen dan kelas menengah atas 3,6 persen, sisanya merupakan
kelas atas (1 persen), bawah (39,6 persen), dan sangat bawah atau kelas yang
betul-betul miskin (5,6 persen). Dengan dominasi jumlah kelas menengah yang
besar, wajah Indonesia tecermin di kelas ini.
Kelas menengah yang terbentuk saat ini
merupakan perpaduan berbagai unsur. Sebagian merupakan kelas menengah yang
lahir dari kalangan menengah, sebagian merupakan kelompok yang baru naik kelas
dari bawah menjadi menengah dan dalam jumlah lebih sedikit adalah mereka yang
diturunkan oleh orangtua kelas atas atau menengah atas. Meski sedikit, pengaruh
mereka signifikan menularkan gaya hidup kelas atas kepada kelas menengah (baca
juga ”Mulai Tumbuh, tetapi Rapuh” di halaman 35).
Kelas menengah juga merupakan perpaduan
antara mereka yang mengalami langsung dampak krisis ekonomi dan mereka yang
ketika krisis terjadi belum memiliki tanggung jawab pekerjaan karena masih
berusia 0-17 tahun. Kelompok muda pra-krisis inilah—terutama yang kini
menempati posisi sebagai warga kelas menengah atas—yang saat ini menjadi
kelompok paling antusias membeli barang mewah. Hanya sekitar 2 persen dari
kelompok muda kaya itu yang tidak memiliki gadget
pintar (smartphone) sekelas Blackberry, iPhone, atau Samsung Galaxy, selebihnya memiliki
satu, dua, atau tiga ponsel cerdas dan mahal ini.
Sikap konsumtif yang sempat tertahan ketika
krisis ekonomi telah menemukan kegairahan kembali, bahkan sangat pesat. Hal ini
tecermin dari penjualan barang konsumsi. Penjualan kendaraan roda dua meningkat
rata-rata 19,2 persen per tahun selama satu dekade terakhir, pinjaman dana
untuk kendaraan dari perbankan tumbuh 29,33 persen per akhir Januari 2012,
pertumbuhan pasar elektronik pun mencapai 17 persen yang sebagian dipicu
pembelian ponsel.
Kurang Toleran
Kebebasan mengekspresikan hasrat konsumerisme
itu ternyata tak linier dengan tumbuhnya nilai-nilai demokrasi. Bahkan,
sebaliknya, demokratisasi lewat liberalisasi kelembagaan pemilu tidak
melahirkan masyarakat toleran dan menjunjung tinggi nilai-nilai perbedaan
ideologi. Mereka mendukung peran negara yang lebih besar untuk masuk ke dalam
aspek moralitas masyarakat terdalam.
Hasil survei Litbang Kompas juga mendapati
semakin kakunya sikap masyarakat dalam soal ideologi berupa dukungan pernyataan
yang menihilkan perbedaan. Mereka, misalnya, lebih mendukung pernyataan
”organisasi massa atau partai yang berhaluan kiri sebaiknya dilarang di
Indonesia” daripada pernyataan ”semua jenis ideologi boleh berkembang di
Indonesia”. Mereka juga lebih setuju pelarangan Ahmadiyah di Indonesia daripada
memandang kelompok keagamaan memiliki hak memeluk keyakinannya di Indonesia
(lihat ”Makin Konsumtif, Makin Konservatif” di halaman 33).
Kelas menengah sebagai strata sosial dengan
anggota terbanyak juga larut dalam pandangan tersebut. Kenyataan ini seolah
menjawab pertanyaan mengapa mereka memilih diam manakala terjadi konflik
terkait dengan agama, aliran, atau ideologi. Kelas menengah tidak menjadi
penengah dan belum mampu menjadi elemen perubahan sosial. Mereka hanya sebatas
penonton yang bahkan kerap memarodikan ketegangan sosial menjadi komedi.
Ketidakpuasan lebih banyak berupa letupan
pendapat yang disuarakan lewat jejaring sosial, seperti Facebook, Twitter, dan Blackberry
Messenger, tetapi tidak menjadi tindakan riil yang mampu mengubah keadaan.
Lebih mirip kicauan yang disuarakan minoritas tertindas, sementara jumlah
terbesar tetap diam atau lebih menikmati sisi-sisi lucu aneka kejadian.
Sebagai kelas penonton, mereka riuh ketika
mendapat ketegangan baru dan mencari sensasi ketegangan yang lain manakala satu
masalah tidak lagi memunculkan kejadian baru. Mereka tidak setia dengan
tuntutan mereka dan membiarkan problem bangsa menggantung tanpa penyelesaian.
Cepat bosan menjadi ciri khas kelas ini. Di
satu sisi ini melemahkan keteguhan bangsa dalam menyelesaikan masalah, tetapi
di sisi lain menjadi kekuatan yang menarik produsen gaya hidup untuk selalu
menciptakan produk baru dengan variasinya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar