Senin, 11 Juni 2012

Wamen, Bukan Soal Legalitas


Wamen, Bukan Soal Legalitas
Mohammad Novrizal Bahar ; Dosen Tetap FH UI, Kandidat Doktor pada Institute of Constitutional and Administrative Law Universiteit Utrecht, The Netherlands
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 09 Juni 2012


PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) No 79/ PUU-IX/2011 tentang Pengujian UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Pasal 10) tertanggal 5 Juni 2012 menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 10 dari UU Kementerian Negara itu tidak konstitusional, dan karena itu juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ketentuan Pasal 10 itu berbunyi: “Yang dimaksud dengan ‘Wakil Menteri’ adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet.” Banyak kalangan telah mengartikan bahwa dengan putusan MK tersebut, posisi wakil menteri menjadi tidak sah secara hukum, alias berhenti dan harus dilakukan pengangkatan ulang dengan berdasarkan perpres dan keppres baru yang sudah diperbaiki.

Padahal sebenarnya, bila Penjelasan Pasal 10 itu ‘dihapus’ dan kemudian dianggap ‘hilang’ dalam rumusan undang-undang tersebut, sementara ketentuan Pasal 10 dalam batang tubuh undang-undangnya tetap berlaku, maka seharusnya kita mengartikan posisi wakil menteri tetap boleh ada. Dan semua wakil menteri yang ada sekarang ini tetap legal keberadaannya, tanpa harus dibuat perpres ataupun keppres yang baru.

Pasal 10 itu berbunyi: “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu.” Sementara itu, Ketua MK Mahfud MD berpendapat bahwa norma Pasal 10 tersebut tetap dinyatakan konstitusional dan tetap berlaku, dan sepanjang keppres tentang pengangkatan para wakil menteri belum di cabut, jabatan wakil menteri itu sah, masih berlaku. Namun ia juga menyatakan bahwa dengan putusan tersebut, perlu penyesuaian agar jabatan wakil menteri tidak dipersoalkan legalitasnya.

Tapi menurut penulis, yang jadi masalah dalam hal ini sebenarnya bukanlah legalitas eksistensi dari jabatan wakil menteri. Tetapi ada persoalan hukum lainnya yang timbul akibat putusan MK tersebut, yakni dari peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, apakah posisi wakil menteri ini dapat dikelompokkan sebagai pejabat negara atau bukan.

Dalam UU Kementerian Negara, yang disebut sebagai pejabat negara dalam suatu kementerian hanya menterinya saja, sedangkan untuk jabatan wakil menteri tidak ada keterangan apa-apa. Demikian pula dalam UU No 43 Tahun 1999 yang mengatur tentang Kepegawaian Negara (UU Kepegawaian), khususnya Bab II Bagian Keempat Pasal 11 yang mengatur tentang pegawai negeri yang menjadi pejabat negara, tidak pula ditemukan jabatan wakil menteri dalam kelompok pejabat negara.

Lalu kalau bukan pejabat negara, secara administrasi negara, tentunya mereka harus diasumsikan sebagai pejabat karier yang berasal dari pegawai negeri.
Hal ini dimungkinkan oleh UU Kepegawaian. Dalam Pasal 1 Angka 2 UU tersebut diatur bahwa selain diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, seorang pegawai negeri juga dapat diserahi tugas negara lainnya.

Dengan demikian, bila seorang wakil menteri diangkat dari kalangan pegawai negeri, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai pejabat negara, karena tidak ada dasar perundang-undangan yang mengaturnya. Konsekuensinya, kepadanya tidak dapat diberikan hak-hak sebagai seorang pejabat negara. Hal inilah yang sebenarnya perlu diperhatikan lebih lanjut oleh presiden sebagai dampak dari putusan MK.

Kesimpulannya, posisi wakil menteri adalah suatu jabatan khusus yang dibentuk oleh pemerintah (presiden), yang boleh saja menggunakan SDM dari pegawai negeri ataupun bukan pegawai negeri. Maka benar ada nya apa yang dikatakan Denny Indrayana, wakil menteri hukum dan HAM, bahwa putusan MK itu justru memperkuat konstitusionalitas posisi wakil menteri, dan hak presiden untuk mengangkat wakil menteri dari kelompok apa pun, tanpa terikat persyaratan harus PNS atau golongan karier tertentu.

Persoalan selanjutnya tentu terkait dengan isi dari perpres yang menjadi peraturan pelaksana dari UU yang merupakan dasar hukum selanjutnya bagi keppres pengangkatan para wakil menteri, khususnya Perpres No 76 Tahun 2011. Ketentuan dalam perpres itu yang menyatakan bahwa wakil menteri adalah pejabat karier dan bukan anggota kabinet, memang sebaiknya dihilangkan agar di masa mendatang Presiden lebih leluasa dalam me nentukan siapa yang akan di tunjuk menjadi wakil menteri.

Namun sebenarnya, secara hukum, saat ini tidak ada yang salah dari ketentuan tersebut, karena dengan putusan MK yang sudah ‘menghapus’ bagian Penjelasan Pasal 10-nya, UU Kementerian Negara juga tidak bersifat melarang bagi adanya kebijakan Presiden untuk mengatur persyaratan lebih lanjut dari seorang wakil menteri. Maka dalam hal ini, perpres tersebut bisa digolongkan sebagai ketentuan yang mengatur lebih lanjut dari apa yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan di tingkat atasnya, yaitu Undang-Undang Kementerian Negara.

Perlu ditegaskan ‘pembatalan’ terhadap ketentuan yang ada dalam bagian penjelasan suatu peraturan yang lebih tinggi tidaklah berarti secara otomatis membatalkan ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan ataupun kebijakan yang lebih rendah, karena peraturan perundang-undangan atau kebijakan yang lebih rendah itu bukan berfungsi untuk menjelaskan bagian penjelasan dari peraturan yang lebih tinggi, tapi untuk menjelaskan ketentuan dalam batang tubuhnya.

Sebagai sebuah ‘penjelasan’, perpres yang mengatur tentang wakil menteri bukan untuk menjelaskan penjelasan (dalam hal ini Penjelasan Pasal 10), yang seharusnya sudah mengandung kejelasan, meskipun dalam kasus yang kita bicarakan di sini substansi dari perpres dan keppres tersebut sama dengan bagian Penjelasan Pasal 10 yang dihapus oleh MK. 

Judicial Review

Juga perlu disadari, bukanlah kewenangan MK untuk membatalkan ketentuan dalam sebuah Perpres. Bila penggugat ataupun pihak lainnya masih ingin menggugat perpres dan keppres terkait, nantinya mereka dapat mengajukan judicial review kepada Mahkamah Agung (MA) yang merupakan lembaga yang berwenang untuk itu.

Sebagai pelaku kekuasaan eksekutif negara, Presiden memiliki hak eksklusif dalam mengatur administrasi negara, sepanjang tidak bertentangan ataupun dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Yang penting dilakukan Presiden saat ini ialah menciptakan solusi agar meredam polemik 
berkepanjangan yang bersumber dari gugatan sebagian masyarakat yang menganggap kabinet pemerintahannya menjadi tidak efisien gara-gara banyaknya posisi wakil menteri. Bukankah undang-undang telah mengamanatkan pembentukan wakil menteri hanya pada kementerian tertentu? Yang berarti jumlah wakil menteri tentunya tidak perlu sebanyak sekarang, yang mencapai lebih dari setengah jumlah kementerian dalam kabinet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar