Wamen,
Bukan Soal Legalitas
Mohammad Novrizal Bahar ; Dosen Tetap FH UI, Kandidat Doktor
pada Institute of Constitutional and Administrative Law Universiteit Utrecht,
The Netherlands
SUMBER : MEDIA
INDONESIA, 09 Juni 2012
PUTUSAN
Mahkamah Konstitusi (MK) No 79/ PUU-IX/2011 tentang Pengujian UU No 39 Tahun
2008 tentang Kementerian Negara (Pasal 10) tertanggal 5 Juni 2012 menyatakan
bahwa Penjelasan Pasal 10 dari UU Kementerian Negara itu tidak konstitusional,
dan karena itu juga dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Ketentuan Pasal 10 itu berbunyi: “Yang
dimaksud dengan ‘Wakil Menteri’ adalah pejabat karier dan bukan merupakan
anggota kabinet.” Banyak kalangan telah mengartikan bahwa dengan putusan MK
tersebut, posisi wakil menteri menjadi tidak sah secara hukum, alias berhenti
dan harus dilakukan pengangkatan ulang dengan berdasarkan perpres dan keppres
baru yang sudah diperbaiki.
Padahal
sebenarnya, bila Penjelasan Pasal 10 itu ‘dihapus’ dan kemudian dianggap
‘hilang’ dalam rumusan undang-undang tersebut, sementara ketentuan Pasal 10
dalam batang tubuh undang-undangnya tetap berlaku, maka seharusnya kita
mengartikan posisi wakil menteri tetap boleh ada. Dan semua wakil menteri yang
ada sekarang ini tetap legal keberadaannya, tanpa harus dibuat perpres ataupun
keppres yang baru.
Pasal
10 itu berbunyi: “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan
secara khusus, presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian
tertentu.” Sementara itu, Ketua MK Mahfud MD berpendapat bahwa norma Pasal 10
tersebut tetap dinyatakan konstitusional dan tetap berlaku, dan sepanjang
keppres tentang pengangkatan para wakil menteri belum di cabut, jabatan wakil
menteri itu sah, masih berlaku. Namun ia juga menyatakan bahwa dengan putusan tersebut,
perlu penyesuaian agar jabatan wakil menteri tidak dipersoalkan legalitasnya.
Tapi
menurut penulis, yang jadi masalah dalam hal ini sebenarnya bukanlah legalitas
eksistensi dari jabatan wakil menteri. Tetapi ada persoalan hukum lainnya yang timbul
akibat putusan MK tersebut, yakni dari peraturan perundang-undangan yang
berlaku saat ini, apakah posisi wakil menteri ini dapat dikelompokkan sebagai
pejabat negara atau bukan.
Dalam
UU Kementerian Negara, yang disebut sebagai pejabat negara dalam suatu kementerian
hanya menterinya saja, sedangkan untuk jabatan wakil menteri tidak ada
keterangan apa-apa. Demikian pula dalam UU No 43 Tahun 1999 yang mengatur
tentang Kepegawaian Negara (UU Kepegawaian), khususnya Bab II Bagian Keempat
Pasal 11 yang mengatur tentang pegawai negeri yang menjadi pejabat negara,
tidak pula ditemukan jabatan wakil menteri dalam kelompok pejabat negara.
Lalu
kalau bukan pejabat negara, secara administrasi negara, tentunya mereka harus
diasumsikan sebagai pejabat karier yang berasal dari pegawai negeri.
Hal ini dimungkinkan oleh UU Kepegawaian. Dalam Pasal 1 Angka 2 UU tersebut diatur bahwa selain diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, seorang pegawai negeri juga dapat diserahi tugas negara lainnya.
Hal ini dimungkinkan oleh UU Kepegawaian. Dalam Pasal 1 Angka 2 UU tersebut diatur bahwa selain diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, seorang pegawai negeri juga dapat diserahi tugas negara lainnya.
Dengan
demikian, bila seorang wakil menteri diangkat dari kalangan pegawai negeri,
maka ia tidak dapat dikatakan sebagai pejabat negara, karena tidak ada dasar
perundang-undangan yang mengaturnya. Konsekuensinya, kepadanya tidak dapat
diberikan hak-hak sebagai seorang pejabat negara. Hal inilah yang sebenarnya
perlu diperhatikan lebih lanjut oleh presiden sebagai dampak dari putusan MK.
Kesimpulannya,
posisi wakil menteri adalah suatu jabatan khusus yang dibentuk oleh pemerintah
(presiden), yang boleh saja menggunakan SDM dari pegawai negeri ataupun bukan
pegawai negeri. Maka benar ada nya apa yang dikatakan Denny Indrayana, wakil
menteri hukum dan HAM, bahwa putusan MK itu justru memperkuat
konstitusionalitas posisi wakil menteri, dan hak presiden untuk mengangkat
wakil menteri dari kelompok apa pun, tanpa terikat persyaratan harus PNS atau
golongan karier tertentu.
Persoalan
selanjutnya tentu terkait dengan isi dari perpres yang menjadi peraturan
pelaksana dari UU yang merupakan dasar hukum selanjutnya bagi keppres pengangkatan
para wakil menteri, khususnya Perpres No 76 Tahun 2011. Ketentuan dalam perpres
itu yang menyatakan bahwa wakil menteri adalah pejabat karier dan bukan anggota
kabinet, memang sebaiknya dihilangkan agar di masa mendatang Presiden lebih
leluasa dalam me nentukan siapa yang akan di tunjuk menjadi wakil menteri.
Namun
sebenarnya, secara hukum, saat ini tidak ada yang salah dari ketentuan
tersebut, karena dengan putusan MK yang sudah ‘menghapus’ bagian Penjelasan
Pasal 10-nya, UU Kementerian Negara juga tidak bersifat melarang bagi adanya
kebijakan Presiden untuk mengatur persyaratan lebih lanjut dari seorang wakil
menteri. Maka dalam hal ini, perpres tersebut bisa digolongkan sebagai
ketentuan yang mengatur lebih lanjut dari apa yang sudah diatur dalam peraturan
perundang-undangan di tingkat atasnya, yaitu Undang-Undang Kementerian Negara.
Perlu
ditegaskan ‘pembatalan’ terhadap ketentuan yang ada dalam bagian penjelasan
suatu peraturan yang lebih tinggi tidaklah berarti secara otomatis membatalkan
ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan ataupun kebijakan yang
lebih rendah, karena peraturan perundang-undangan atau kebijakan yang lebih
rendah itu bukan berfungsi untuk menjelaskan bagian penjelasan dari peraturan
yang lebih tinggi, tapi untuk menjelaskan ketentuan dalam batang tubuhnya.
Sebagai
sebuah ‘penjelasan’, perpres yang mengatur tentang wakil menteri bukan untuk
menjelaskan penjelasan (dalam hal ini Penjelasan Pasal 10), yang seharusnya
sudah mengandung kejelasan, meskipun dalam kasus yang kita bicarakan di sini
substansi dari perpres dan keppres tersebut sama dengan bagian Penjelasan Pasal
10 yang dihapus oleh MK.
Judicial Review
Juga perlu disadari, bukanlah kewenangan
MK untuk membatalkan ketentuan dalam sebuah Perpres. Bila penggugat ataupun
pihak lainnya masih ingin menggugat perpres dan keppres terkait, nantinya
mereka dapat mengajukan judicial review kepada Mahkamah Agung (MA) yang
merupakan lembaga yang berwenang untuk itu.
Sebagai pelaku kekuasaan eksekutif
negara, Presiden memiliki hak eksklusif dalam mengatur administrasi negara, sepanjang
tidak bertentangan ataupun dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
Yang penting dilakukan Presiden saat
ini ialah menciptakan solusi agar meredam polemik
berkepanjangan yang bersumber
dari gugatan sebagian masyarakat yang menganggap kabinet pemerintahannya
menjadi tidak efisien gara-gara banyaknya posisi wakil menteri. Bukankah
undang-undang telah mengamanatkan pembentukan wakil menteri hanya pada
kementerian tertentu? Yang berarti jumlah wakil menteri tentunya tidak perlu
sebanyak sekarang, yang mencapai lebih dari setengah jumlah kementerian dalam
kabinet. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar