Rabu, 06 Juni 2012

Wamen Pasca Putusan MK

Wamen Pasca Putusan MK
Samsul Wahidin ; Guru Besar Hukum Tata Negara,
Pengajar Hukum Acara Peradilan MK di Universitas Merdeka Malang
SUMBER :  JAWA POS, 6 Juni 2012


PUTUSAN uji materi (judicial review, toetsing recht) terhadap pasal tentang kedudukan wakil menteri (Wamen) pun diketok kemarin. Namun, putusan itu ternyata masih menyisakan kontroversi pada beberapa bagian. Intinya adalah menyangkut ''nasib'' para Wamen, khususnya tentang kedudukan dan wewenang mereka.

Substansi putusannya, pertama, penjelasan pasal 10 UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara betentangan dengan UUD 1945 alias inkonstitusional. Kedua, karena bertentangan dengan UUD 1945, penjelasan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Maknanya, penjelasan pasal 10 itu dihapus.

Padahal, penjelasan tersebut menjadi acuan atau dasar hukum pengangkatan Wamen yang sekarang. Makna berikutnya, setelah putusan MK itu, berarti pasal 10 tanpa penjelasan. Artinya, yang menjadi dasar hukum eksistensi Wamen setelah dibacakannya putusan MK tersebut adalah ketentuan pasal 10 saja.

Pasal 10 menyebutkan: dalam hal beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu. Sementara itu, yang dinyatakan inkonstitusional adalah penjelasan yang berisi bahwa yang dimaksud wakil menteri adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet.

Ketentuan dan penjelasan itulah yang menjadi dasar presiden mengangkat 20 Wamen yang ada sekarang. Ukuran yang dijadikan dasar tentang beban kerja, seberapa berat atau seberapa luas, itu bersifat relatif.

Prospektif, Bukan Retroaktif

Asas peradilan MK bersifat prospektif (ke depan) dan tidak mempunyai daya laku surut (retroaktif). Hal itu memberikan legal reasoning bahwa ketika pengangkatan Wamen yang didasarkan pada sebuah UU yang kemudian dinyatakan inkonstitusional, keberadaan lembaga tersebut inkonstitusional. Manakala dasarnya dinilai konstitusional (ketentuan pasal 10-nya, bukan penjelasan), hal itu bersifat konstitusional. Dengan demikian, secara kelembagaan (in casu kelembagaan Wamen), menurut UU itu, adalah konstitusional. Namun, 20 Wamen yang ada sekarang menjadi inkonstitusional.

Tapi, Ketua MK Mahfud M.D. seusai putusan menegaskan, kapasitas MK adalah memutus pertentangan antara UU dan UUD. Artinya, tidak menyentuh pada keputusan presiden (keppres) yang mengangkat 20 Wamen itu. Arti praktisnya, kedudukan 20 Wamen yang ada sekarang tetap sah dalam arti sesuai dengan adagium hukum bahwa selama belum ada pengganti, peraturan (kebijakan) yang lama masih tetap berlaku. Apalagi, produk hukum yang menjadi dasar keberadaan Wamen tersebut adalah keppres yang dalam ranah hukum administrasi merupakan sebuah beschiking. Jika mau mempersoalkan, itu menjadi kewenangan PTUN.

Namun, pada sisi lain, putusan MK tersebut justru memberikan kekuatan baru kepada presiden yang mempunyai otoritas pengangkatan Wamen. Artinya, untuk perspektif ke depan, presiden diberi kesempatan memantapkan 20 Wamen yang sudah ada. Mereka bisa diresmikan kembali, secara administratif berdasarkan keppres yang baru, dengan secara mutatis mutandis copy paste dari keppres pengangkatan terdahulu. Monggo terserah presiden. Mengapa? Karena keppres itu didasarkan pada landasan hukum yang inkonstitusional ibarat aliran air, hulunya sudah ditutup MK sebagai inkonstitusional, ke hilirnya harus diperbaiki disesuaikan dengan hulunya.

Apa pun yang akan dilakukan presiden pasca putusan MK itu, secara administratif, harus diakomodasikan dalam bentuk keppres baru sebagai dasar hukumnya. Penyesuaian administratif tersebut lebih praktis daripada menunggu digugat di PTUN.

Masalah Berikutnya

Permasalahan yang kiranya tidak tuntas, dan ini tidak boleh diinterpretasikan dari putusan MK itu, adalah ketika penjelasan yang dinilai inkonstitusional tersebut tegas menyatakan bahwa ''wakil menteri'' adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet. Dengan dieliminasinya penjelasan itu, interpretasi argumentum a contrario-nya berarti Wamen boleh berasal dari bukan pejabat karir dan Wamen termasuk anggota kabinet.

Pemahaman sederhana khususnya tentang anggota kabinet adalah pembantu presiden yang secara struktural berada di bawah presiden. Dengan dicabutnya ketentuan itu, permasalahannya adalah apakah posisi Wamen pasca putusan MK berarti merupakan anggota kabinet? Jika iya, kedudukannya akan semakin rancu ketika berhadapan dengan menteri yang diwakilinya. Itulah yang menjadi kekhawatiran administrasi pemerintahan, khususnya kinerja kabinet yang akan membuka peluang besar terjadinya sengketa.

Manakala tidak atau bukan anggota kabinet, berarti hanya sebagai wakil, berarti administrasi pertanggungjawabannya ada di menteri yang diwakilinya. Karena itu, seharusnya yang mengangkat cukup menteri, bukan presiden. Tentu berbeda dari jabatan wakil yang lain. Misalnya, wakil presiden atau wakil kepala daerah yang berasal dan dipilih rakyat.

Kontroversi sebagaimana dikemukakan di atas memerlukan kejelasan sehingga tidak akan menimbulkan kerancuan yang mengganggu kinerja kementerian, khususnya jabatan Wamen yang bisa dinegatifkan hanya sebagai media untuk bagi-bagi kursi kekuasaan. Jabatan itu hendaknya diorientasikan pada peningkatan profesionalitas pelayanan kepada masyarakat sebagai bagian dari perwujudan good governance.

Kedudukan yang tidak jelas tersebut juga membawa konsekuensi pertanggungjawaban dan kinerjanya yang tidak jelas. Kepada siapakah Wamen harus bertanggung jawab ketika bukan sebagai anggota kabinet? Bagaimana mekanisme pembagian kewenangan ketika secara teknis melakukan tindakan sesuai dengan tupoksi (tugas pokok dan fungsi)? Apakah kedudukannya hanya sebagai ban serep sebagaimana wakil-wakil jabatan politis selama ini? Sebaiknya aturan pembagian tugas itu diperjelas.

Jangan sampai posisi Wamen itu seperti pohon yang ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berakar, di tengah digerogoti kumbang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar