Rabu, 06 Juni 2012

Yang Hilang dalam Pancasila

Yang Hilang dalam Pancasila
Ade Saptomo ; Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 6 Juni 2012


BAK jamur di musim hujan, hampir setiap tahun tepatnya seputar 1 Juni perbincangan penerapan nilai-nilai Pancasila dengan berbagai tema menjamur. Perbincangan terjadi, untuk menyebut tiga di antaranya, baik di pusat lembaga pendidikan maupun lembaga negara.

Misalnya, Sarasehan dan Rembuk Nasional Kepemimpinan Nasional Berkarakter Pancasila di Universitas Pancasila (26 Mei 2012), Kongres Pancasila yang diselenggarakan di Universitas Gadjah Mada (31 Mei 2012), dan Peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 di Gedung MPR/DPR, Senayan (1 Juni 2012). Masih banyak hal sejenis diselenggarakan di daerah-daerah.

Maraknya perbincangan demikian itu tidak saja karena 1 Juni merupakan hari kelahiran Pancasila yang amat pantas diperingati, tetapi lebih penting dari itu, yaitu ngelingi kondisi sosial budaya bangsa Indonesia sebagai gua garba saat kelahiran Pancasila tiba.

Kondisi sosial budaya bangsa Indonesia dimaksud berisikan dinamika pergaulan hidup rakyat Nusantara yang bersifat kedesaan, yaitu pergaulan hidup yang penuh kerukunan, kebersamaan, keguyuban, toleransi, dan sejenisnya. Kesemuanya itu, menurut Bung Karno, merupakan unsur-unsur Pancasila yang jika ‘diperas’ hingga pati-sarinya akan tinggal dasar permulaannya, yaitu gotong royong.

Paham gotong royong ini sebagai paham Indonesia asli, yang dirasakan sungguh-sungguh sebagai pedoman hidup dari rakyat Indonesia. Kini, sebaliknya, yang menonjol ialah suatu kondisi yang menggambarkan secara ekstrem bahwa Pancasila yang mengandung ajaran kerukunan, kebersamaan, keguyuban, dan toleransi itu sudah tidak diajarkan, tidak dianut, tidak dirujuk, dan tidak dicontohkan mereka yang sepantasnya harus memberi suri teladan.

Konsidi faktual lapangan itu tidak bisa ditutupi mengingat sudah tecerminkan, setidak-tidaknya, pada kehidupan sosial masyarakat dan telah menjadi tontonan sehari-sehari, apalagi berulang-ulang ditayangkan lewat saluran media massa elektronik pusat dan daerah, dan diberitakan luas oleh media massa nasional dan lokal.

Betapa tidak? Ketidakrukunan misalnya kekerasan kelompok satu terhadap kelompok lain dengan mengatasnamakan agama yang dianut sebagai yang paling benar, ketidakbersamaan misalnya dalam mengatasi kericuhan olahraga sepak bola nasional telah terbentuk dua lembaga PSSI sampai-sampai pengidola sepak bola tidak tahu persis mana PSSI yang palsu dan mana yang asli, ketidakguyuban kaum politik misalnya koalisi partai politik dalam menanggapi kebijakan the ruling party saling mengganjal secara kasar di arena parlemen. Pertanyaannya, apa yang hilang dalam Pancasila?

Lantas, penulis menjadi ingat pada pengalaman hidup dalam kehidupan kemasyarakatan masa lampau, mungkin itu juga dialami sebagian rakyat Indonesia pada dekade-dekade jauh sebelum 1970-an. Saat itu amat mudah menemukan praktik praktik kerukunan, kebersamaan, keguyuban di warga desa-desa, kampung-kampung, bahkan perkotaan pun demikian. Di sana warga ramai-ramai berkumpul di tempat salah satu warga desa yang mempunyai hajat, misalnya hajat membangun rumah.

Dengan persiapan sewajarnya, dalam hitungan bulan rumah terbangun rapi seperti yang diidamkan tanpa harus menanggung utang. Padahal, mereka umumnya tidak berpendidikan cukup, bahkan lulus sekolah rakyat pun tidak, juga tidak memiliki gaji tetap, paling mengandalkan hasil palawija yang tertanam dalam petak kebun sekitar rumah, tetapi kok mampu mendirikan rumah utuh sebagaimana rumah kaum priayi lengkap dengan bilik gadri kulon, jeromah, gandok, dapur, dan bilik lainnya.

Kini, generasi-generasi setelahnya, bahkan sudah berpendidikan memadai dengan gelar sarjana, magister, memiliki gaji reguler, dan bergelar doktor pun belum mampu membuat rumah layak huni sebagaimana yang telah dilakukan orangtua mereka. Sebaliknya, mereka membangun rumah dengan utang pada lembaga keuangan yang lunasnya lima atau puluhan tahun lebih atau yang terjadi utang sana utang sini sembari membujuk orangtua menjual sebagian bidang tanah atau sawah yang hasil jualannya itu dipinjam untuk uang muka atau menambah modal mendirikan rumah.

Praktik semacam itulah yang jauh sebelumnya telah disindir sarjana Amerika bernama Clifford Geertz melalui teori evolusinya, yang pada intinya ialah orang Indonesia, khusus nya orang Jawa, mestinya menambah kekayaan orangtua mereka masing-masing, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, pengurangan kekayaan orangtua alias terjadi proses pemiskinan keluarga.

Coba kembali ke contoh lapangan yang disebut di depan, warga desa bersama-sama dengan semangat holobis kuntul baris dengan tanpa pamrih ikut serta secara aktif membangun rumah salah satu warga tetangga yang mempunyai hajat dimaksud, bangunan rumah pun terwujud dalam hitungan bulan. Bersama-sama aktif dengan semangat holobis kuntul baris tanpa pamrih yang biasa disebut gotong royong itulah yang kini terkikis habis, bahkan tidak atau jarang ditemukan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sekarang ini. Indikasi hilang bahkan semakin kuat mengingat semua kegiatan tidak luput dari pamrih atau mengharap-harap akan dibalas uang (kapital).

Artinya, yang hilang dalam Pancasila itu tidak lain ialah gotong royong. Kalau gotong royong itu merupakan inti Pancasila sementara Pancasila itu sendiri merupakan budaya bangsa, apa terus dapat diartikan bahwa bangsa Indonesia tidak memiliki budaya Pancasila lagi? Apa memang demikian?

Indonesia bangsa yang mengklaim diri berbudaya dan Pancasila sebagai budaya bangsa maka Pancasila paling baik dipahami secara sistemis (cultural system), yaitu saling kait secara fungsional di antara unsur nilai Pancasila, perilaku atau tindakan, dan hasilnya berupa fakta kerukunan, kebersamaan, keguyuban, dan toleransi antarwarga.

Tentu langkahnya, pertama, internalisasi nilai Pancasila. Kedua, eksternalisasi nilai ke dalam wujud perilaku/tindakan sesuai dengan ajaran Pancasila, dan ketiga, hasilnya ialah budaya Pancasila. Keseluruhan itulah yang akan membangun outcome bangsa Indonesia sebagai bangsa Pancasilais. Pemahaman demikian itu men jadi penting bagi pemegang otoritas eksekutif, legislatif, yudikatif, pemimpin perguruan tinggi, serta tokoh-tokoh masyarakat untuk memberi suri teladan konkret hidup yang Pancasilais itu seperti apa kepada rakyatnya.

Fakta yang sering terlihat sekarang ini tidak nyambungnya ketiga unsur budaya Pancasila itu, misalnya gaya kepemimpinan yang semakin berjarak, menjauh, menegaskan perbedaan antara yang memimpin dan yang dipimpin. Gaya hidup para pemegang otoritas berbagai bidang tersebut semakin eksklusif, semakin asing di mata warga masyarakat, dan semakin tak terjangkau oleh rakyat.

Itukah yang dibutuhkan dalam kepemimpinan nasional Indonesia mendatang? Tentu tidak demikian. Namun, singkat kata gotong royong yang menjadi inti Pancasila terkesan kuat tidak dihidupkan oleh dan kerukunan yang menjadi modal kenyamanan hidup juga tidak dicontohkan oleh mereka yang sebenarnya sehari-hari memiliki akses untuk mengeksternalisasi nilai Pancasila.

Kalau pada titik ini saja hilang, tugas para pemimpin pada setiap lini kepemimpinan presiden, gubernur, bupati/wali kota, seluruh pemimpin formal dan informal lainnya tanpa kecuali mengemban amanah mewujudkan kembali praktikpraktik Pancasilais seperti kegiatan gotong royong, memberi suri teladan kebersamaan, kerukunan, keguyuban hidup bersama warga masyarakat bawah. Jika tidak, yang terjadi ialah kepemimpinan yang jauh di mata, pun jauh pula di hati rakyat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar