Kamis, 24 Oktober 2013

Mencermati EYD alias Ejaan Yudhoyono (940) - Charmelya Maretha

Mencermati EYD alias Ejaan Yudhoyono
Charmelya Maretha ;  Mahasiswi Pascasarjana Universitas Negeri Malang
JAWA POS, 23 Oktober 2013


HARIAN ini akhir pekan lalu (19/10) menyajikan berita menggugah: Anas: 1.000 Persen Siap Ditahan. Menarik memang, tentu saja karena berkaitan dengan penahanan Andi A. Mallarangeng dua hari sebelumnya (17/10). 

Soal kesiapan masuk bui dalam proyek Hambalang mungkin biasa diucapkan Anas. Tetapi, soal kesiapannya ditahan dengan embel-embel 1.000 persen ini baru luar biasa. "Saya ini masih kecengan, kalau wajib, kalau fardhu, kalau mengacu Pak SBY, 1.000 persen harus siap," tegas Anas. Anas seperti sengaja mengolok-olok, apalagi juga menggunakan kata "kecengan" yang pernah dipakai SBY terkait 1.000 persen itu.

Sebelumnya pada jumpa pers di Pangkalan TNI-AU Presiden SBY memang berbicara hiperbolik. "Bunda Putri orang yang sangat dekat dengan Presiden SBY, 1.000 persen Luthfi (Hasan Ishaq, LHI) bohong! Dia sangat tahu dengan kebijakan reshuffle, 2.000 persen bohong!".

Terlepas dari motif apa yang sesungguhnya dari Anas, menarik memang mencermati bahasa sang presiden. Betapa untuk sesuatu yang sebenarnya cukup disampaikan oleh Julian Aldrian Passa, sang Jubir, justru disampaikan langsung oleh SBY. Lebih-lebih presiden menyampaikannya dengan mimik serius dan dengan kalimat yang kurang lazim pula.

Dalam kehidupan ini, memang jamak terjadi untuk menyebut sesuatu agar bisa meyakinkan kita kerap menambahi dengan kalimat tertentu. Salah satunya dengan menambahi kalimat 100 persen inilah, itulah, dan sebagainya. Seperti saat mengatakan, "Saya 100 persen tidak terlibat kasus itu."

Penggunaan kata 1.000 atau 2.000 persen sesungguhnya justru mendekati sesuatu yang tidak serius. Me­nyampaikannya cukup dengan menyebut 100 persen bohong, sama artinya dengan penegasan bahwa keterangan LHI memang bohong. Atau cukup mengatakan keterangan LHI bohong!

Perkataan SBY justru mengingatkan kita pada kebiasaan berbahasa verbal tanpa makna. Terkadang, untuk menyebut betul-betul serius, misalnya, kita menggunakan kata duarius, atau barangkali seriburius. Sungguh sesuatu yang tak bermakna atau mendekati canda.

Inilah sesungguhnya yang menjadi titik balik kita semua berkaitan dengan tata bahasa sang presiden. SBY memang biasa menggunakan bahasa campur alias gado-gado dalam forum resmi. 

Sambutan pada pembukaan Munas IX Asosiasi Pengusaha Indonesia (8 April 2013), misalnya, penuh dengan kata asing. Presiden SBY, misalnya, mengatakan, "Pada tingkat saya, top decision maker and top policy maker di Indonesia, economic policy, economic solution, mengatasi permasalahan ekonomi secara tepat, cespleng...'', dan seterusnya.

Simak juga kutipan ucapan Presiden SBY ketika berbicara soal subsidi BBM. "Saya juga banyak menghabiskan waktu untuk talk direct to the people..." Atau soal unjuk rasa, presiden mengatakan, "That's democracy. I know beban rakyat, I know the step of their economic." 

Presiden SBY juga pernah mengatakan, "Bukan berani atau tidak berani, terlambat atau tidak terlambat ambil keputusan, but before I made decision harus sudah diolah semuanya, economic factor-nya, social security political impact-nya. That's all the consideration that have to made by me".

Pernyataan-pernyataan itu cukup mewakili secara gamblang soal tata bahasa presiden yang sering tidak lazim. Memang, tidak ada yang salah dengan bahasa gado-gado seperti itu. Mungkin saja Presiden SBY memang terbiasa dengan lidah English bercita rasa Indonesia.

Padahal, saat menjabat Menko Polkam SBY meraih predikat sebagai Tokoh Berbahasa Indonesia Lisan Baik. Predikat bergengsi 2003 dari Badan Bahasa Nasional itu diberikan karena SBY dinilai berbahasa Indonesia dengan benar, runut, dan cerdas.

Saat menjadi presiden, SBY juga membuat gebrakan besar. Yaitu, menandatangani UU 24/2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. UU 24/2009 memuat kewajiban menjadikan bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam pendidikan nasional. 

UU Nomor 24/2009 (yang diteken Presiden SBY) juga mewajibkan agar bahasa Indonesia digunakan dalam pidato resmi presiden, wakil presiden, dan pejabat negara yang lain di dalam atau di luar negeri. 

Sayangnya, Presiden SBY dalam periode 2009-2014 semakin sering memakai bahasa gado-gado, bahkan melupakan kewajiban UU yang diundangkannya. Termasuk pada acara APEC di Bali yang baru lalu, dia berpidato resmi dengan bahasa Inggris. Bahkan, di antara para pemimpin negara yang hadir di APEC, hanya SBY yang tak memakai bahasa nasionalnya. Untunglah, SBY tak memakai bahasa gado-gado di APEC. Bisa membingungkan seperti "bahasa Vicky".

Siapa tahu kini tata bahasa presiden bukan EYD (Ejaan yang Disempurnakan), tapi punya jalur sendiri: Ejaan Yudhoyono. 

Selamat menikmati Oktober bulan bahasa.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar