Jumat, 31 Mei 2013

Kesamaan Hak di Iklan Rokok

Kesamaan Hak di Iklan Rokok
Agus Wijanarko ;  Pejabat di Dinkes Kota Pasuruan,
Master Ilmu Kesehatan Masyarakat UGM
JAWA POS, 31 Mei 2013



SETIAP 31 Mei, warga dunia memperingati Hari tanpa Tembakau Sedunia. Tahun ini Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan tema "Tolak iklan, promosi, dan sponsor rokok." Banyak negara yang telah menetapkanTAPS Ban (Tobacco advertising, promotion, sponsorship banning) untuk memberikan perlindungan kesehatan kepada rakyatnya.

Upaya-upaya penerapan TAPS Ban di kawasan Asia Tenggara sejatinya telah dicanangkan ketika pada 2011 di Siem Reap Kamboja, digelar lokakarya regional terkait implementasi pasal 13 WHO-FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) tentang pelarangan iklan, promosi, dan pesponsoran rokok. Tidak dapat dihindari bahwa pada pertemuan tersebut Indonesia menjadi bahan gunjingan karena merupakan satu-satunya negara di kawasan Asia yang belum meratifikasi FCTC.

Untuk itu, ada kesamaan hak yang ingin diperjuangkan di antara penduduk Indonesia dan penduduk Singapura, Malaysia, maupun Thailand. Industri tembakau kita mengekspor rokok ke negara-negara tetangga tersebut dengan peringatan bahaya yang menayangkan gambar dampak rokok, yaitu gambar orang yang terkena kanker, supaya memberikan efek jera bagi perokok. Tetapi, rokok yang dijual di Indonesia justru hanya memunculkan pesan peringatan yang mudah diabaikan.

Di dalam negeri, iklan promosi rokok memang masih menjadi polemik. Saat ini legalitas yang berlaku di mata masyarakat pertembakauan dalam kaitannya dengan iklan rokok adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada September 2009 yang menolak permohonan judicial review yang diajukan Komnas Perlindungan Anak (PA).

Saat itu Komnas PA meminta iklan rokok dilarang. Permohonan uji materiil tersebut terkait dengan pasal 46 ayat 3 huruf c UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang merupakan dasar hukum iklan rokok di Indonesia. Pasal itu berbunyi, "Siaran iklan niaga dilarang melakukan promosi rokok yang memperagakan wujud rokok." Klausul ini dianggap menjadi dasar hukum dibenarkannya menyiarkan iklan promosi rokok pada lembaga penyiaran walaupun dengan persyaratan tidak memperagakan wujud rokok. 

Menurut pandangan Komnas PA, isi dan pesan iklan promosi rokok yang disiarkan melanggar hak konstitusional anak dan remaja mendapatkan informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungannya, karena membenarkan adanya informasi yang tidak sehat dan merusak mental, pikiran, dan psikologis anak. Iklan rokok juga dinilai menjadi dorongan serta pengaruh kepada anak dan remaja untuk menjadi perokok. Karena itu, pasal tersebut dinilai bertentangan dengan pasal 28A, 28B ayat 2, 28C ayat 1, dan pasal 28F UUD 1945.

Sebaliknya, dengan dalih hak konstitusional juga, MK berpendapat selama rokok masih dipandang sebagai produk legal, larangan iklan rokok melanggar HAM. Larangan iklan rokok melanggar hak konstitusi bagi setiap orang untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi. Selain itu, rokok menjadi gantungan petani tembakau dan harus dilindungi haknya.

Sungguh ironis, hak anak dan remaja untuk mendapatkan informasi yang menyehatkan dibenturkan dengan hak perokok untuk menikmati informasi yang penuh "taste". Informasi tentang gaya hidup sehat yang mengakomodasi bahaya racun dalam rokok tereliminasi oleh informasi produk rokok -dengan bantuan komunikasi komersial industri rokok- yang penuh simbol perilaku risk-taking yang jantan, kematangan, kekuatan, kepemimpinan, dan daya tarik terhadap lawan jenis. 

Hasil penelitian sebagaimana dilaporkan dalam US Surgeon General Report menunjukkan sebuah keprihatinan. Penelitian ini berangkat dari pertanyaan mengapa iklan rokok sangat berpengaruh pada anak dan meningkatkan perokok baru di usia muda? Jawabannya adalah karena iklan rokok akan mendorong anak-anak dan remaja mencoba-coba merokok sehingga menjadi pengguna tetap, mendorong para perokok untuk meningkatkan konsumsi, mengurangi motivasi perokok untuk berhenti merokok, mendorong mantan perokok untuk merokok kembali, dan menciptakan lingkungan bahwa merokok dianggap baik dan biasa. 

Dengan diterbitkannya PP No 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, tebersit harapan untuk memperjuangkan kesamaan hak terkait konsumerisme produk tembakau.

Kehadiran PP tersebut dipandang dapat mencegah meluasnya konsumsi rokok di lapisan masyarakat miskin, perempuan, dan anak-anak di Indonesia. Jangan sampai mereka yang sudah sulit mendapatkan uang, justru larut dan tergiur oleh iklan promosi rokok sehingga membelanjakannya untuk membeli barang "sembilan senti" tersebut. Akan lebih bijak bila dananya dibelikan makanan atau kebutuhan lain untuk kesejahteraan keluarga. 

Tiga Agenda Besar NU Jatim

Tiga Agenda Besar NU Jatim
Nur Hidayat ;  Wakil sekretaris PW NU Jatim 2008-2013
JAWA POS, 31 Mei 2013



KONFERENSI Wilayah (Konferwil) Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur di Lebo, Sidoarjo, hari ini hingga lusa menyita perhatian banyak kalangan. Selain karena posisi strategis NU di Jatim dan dalam konteks nasional, momen lima tahunan ini beriringan dengan berbagai momen politik.

Tidak bisa dimungkiri, beberapa kelompok kepentingan eksternal yang terkait dengan pemilihan gubernur (pilgub) dan Pemilu 2014 telah lama ''mengintip'' dinamika internal NU. Saat ini, mereka berusaha masuk dan memengaruhi suasana, termasuk agenda pemilihan rais syuriah dan ketua tanfidziyah lima tahun ke depan. Para peserta konferensi seyogianya mengingat beberapa tantangan NU ke depan. Dengan demikian, godaan dan pengaruh yang masuk dapat difilter, sehingga tidak merugikan jangka panjang.

Menurut saya, ada tiga tantangan dan sekaligus agenda besar NU Jatim ke depan. Tiga tantangan tersebut terutama terkait dengan arus globalisasi yang mewujud dalam invasi kultural dan ekonomi dalam kemasan pasar bebas. Tiga agenda itu adalah penguatan kelembagaan, kaderisasi, dan kemandirian ekonomi.

Agenda pertama terkait dengan adagium bahwa ''NU adalah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil''. Dengan kata lain, penguatan kelembagaan NU diyakini membawa implikasi pada penguatan kelembagaan pesantren. Tanpa itu, NU dan pesantren bisa jadi akan menjadi buih di tengah lautan. Tampak besar di permukaan, tapi sebenarnya mudah terombang-ambing gelombang.

Penguatan kelembagaan juga diperlukan untuk memperkukuh infrastruktur internal NU. Sebagaimana kelembagaan pesantren telah mengalami perubahan dan penguatan secara gradual, kelembagaan NU juga harus diperkuat dengan arahan yang jelas. Di lingkungan pesantren, posisi kiai (pimpinan pesantren) tetap menjadi sentral, namun struktur kelembagaannya juga telah diperkuat dengan organisasi dan administrasi modern.

Dalam konteks NU, posisi syuriah sebagai pemimpin tertinggi dan panduan moral nahdliyin perlu terus diperkuat dari berbagai sisi. Pada saat yang sama, penguatan struktur tanfidziyah sebagai pelaksana kebijakan syuriah juga harus dilakukan secara simultan. Sebagaimana di pesantren, posisi syuriah harus menjadi sentral dan kunci, sedangkan tanfidziyah menjadi pelaksana teknis kebijakan syuriah.

Mengutip pendapat KH Hasyim Muzadi, penguatan syuriah bisa dilakukan dengan menggabungkan lima unsur di dalamnya. Yaitu: (1) fuqaha' (ahli fikih) yang menerjemahkan hukum syar'i sesuai dengan konteks perkembangan zaman; (2) hukama' yang sangat memahami seluk-beluk tata kenegaraan; (3) ahli riyadlah yang bisa menghidupkan indra batiniah (bashar dan bashirah); (4) gabungan mursyid dan murabbi; dan (5) para ahli lintas disiplin yang memahami berbagai ilmu bantu.

Jika hal itu dapat diwujudkan, agenda kedua secara otomatis telah mendapat ruang memadai. Diakui atau tidak, selama ini proses kaderisasi di tingkat kepengurusan NU cenderung kurang dinamis. Hal tersebut terkait dengan posisi kepengurusan NU yang dianggap sebagai ''puncak karir'' seorang kader dalam ber-jam'iyah.

Sering terjadi, fungsionaris di dalam struktur NU biasanya enggan ke posisi lain. Akibatnya, proses kaderisasi pun mandek dan banyak kader potensial yang tidak terakomodasi dan tidak jarang justru ''dimanfaatkan'' organisasi lain dan menjadi generasi NU yang hilang (lost generation).

Karena itu, yang dilakukan PB NU pascamuktamar Makassar dengan merekrut beberapa kader muda ke dalam struktur inti patut ditiru PW NU Jatim. Tentu saja dengan memperhatikan rekam jejak personal dan kaderisasi. Langkah PB NU yang tidak menabukan rotasi kepengurusan di tengah jalan, sebagai bentuk reward and punishment, juga merupakan sebuah cermin bening yang tidak kalah penting.

Di atas itu semua, agenda kemandirian ekonomi menjadi variabel determinan NU dalam konteks globalisasi. Tanpa kemandirian ekonomi, NU akan selalu berada dalam bayang-bayang kepentingan politik dan ekonomi kelompok lain. Upaya membangun kesadaran terhadap ancaman era pasar bebas sebenarnya telah bergulir di arena konferwil. Terutama materi sidang komisi program, rekomendasi dan pembahasan masalah-masalah keagamaan (bahtsul masail diniyah).

Di tengah hiruk pikuk perang opini yang terjadi, tidak banyak pihak yang tahu bahwa materi bahtsul masail konferwil telah merespons era pasar bebas dalam perspektif fikih. Sebagai antisipasi terhadap pemberlakuan pasar bebas, upaya pemerintah memberikan proteksi terhadap produk lokal dan pengusaha domestik dipertanyakan secara mendalam dalam forum ini. Juga impor komoditas tertentu, peningkatan penggunaan komponen lokal (local content) dan penyediaan lapangan kerja, serta berbagai regulasi terkait lainnya.

Forum bahtsul masail juga mempertanyakan, tergolong proteksikah bila terjadi monopoli oleh badan usaha milik negara (BUMN) atas komoditas strategis? Juga, apakah pihak asing diperbolehkan membuka usaha eksplorasi sumber daya alam, penguasaan sektor perkebunan dalam skala masif, serta pembelian surat utang negara (SUN)?

NU dan Indonesia memang tidak hidup di ruang hampa. Pengurus PW NU Jatim telah sadar bahwa kawasan ASEAN terikat pakta ASEAN Free Trade Area (AFTA), ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA),ASEAN Economic Community, bahkan Asia Pacific Economic Cooperation (APEC).

Kesadaran para ulama NU dalam merespons tantangan globalisasi dan pasar bebas tersebut akan terkesan naif tidak selaras dengan pertimbangan yang digunakan dalam proses pemilihan pucuk pimpinannya. Apalagi jika hanya mempertimbangkan kepentingan-kepentingan lokal dan berjangka pendek. Wallâhu-l musta'an! 

Demokrasi Itu Gaduh

Demokrasi Itu Gaduh
Komaruddin Hidayat ;  Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO, 31 Mei 2013



Politik itu selalu gaduh dan menegangkan. Terlebih dalam sistem demokrasi bagi sebuah masyarakat yang besar dan plural seperti Indonesia. 

Terdapat 34 provinsi, 409 kabupaten, dan 93 kota. Kalau saja pilkada tidak dilaksanakan serentak, hampir setiap hari ada pilkada untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota. Betapa gaduh, meriah, dan menegangkan. Belum lagi pemilu di tingkat nasional untuk memilih anggota DPR dan pasangan capres-cawapres. Kita tidak tahu persis, berapa triliun uang beredar untuk biaya kompetisi pesta perebutan kursi jabatan itu. Sungguh mahal menyelenggarakan pemilu dan pilkada di negara dengan jumlah pulau 17.504, jumlah kecamatan 6.519, dan pemerintahan desa/kelurahan 76.510. 

Bisa dibayangkan persiapannya sejak rapat internal partai, membuat survei politik, melakukan analisis, kemudian persuasi massa dan kampanye dengan berbagai cara dan langkah. Yang itu semua kadang dilakukan berulang kali. Spanduk dengan potret tokoh bermunculan di sana-sini. Tidak cukup hanya modal spanduk, para calon dan tim sukses mereka juga melakukan silaturahmi ke berbagai tokoh masyarakat, membagi uang dan kaus, ikut kerja bakti sosial, dan sebagainya. 

Stasiun televisi tidak mau ketinggalan menangkap lahan bisnis ini sehingga berbagai iklan kampanye dan debat para calon bermunculan di TV dengan biaya yang fantastis. Pesta dan festival demokrasi dilaksanakan tidak semata untuk mencari pemimpin yang baik, tapi pesta dan kompetisi itu juga hiburan yang mengasyikkan. Maka itu, demokrasi itu selalu menyajikan kegaduhan dan kemeriahan yang mahal, menegangkan, sekaligus juga menghibur rakyat. Kompetisi yang masih sulit ditebak siapa calon pemenangnya akan seru diikuti dan ditonton. 

Sekarang ini pun begitu keadaannya ketika kita membahas siapa yang bakal jadi presiden pada Pemilu 2014, masih sulit ditentukan dibanding pemilu pada era Orde Baru. Para pengamat beradu data dan argumentasi, namun berakhir dengan open ended, belum bisa memberi pilihan yang mantap, serbahipotetis dan dugaan sementara. Kegaduhan berdemokrasi itu merata se-Indonesia. Maka itu, logis jika para pengamat asing kagum dan tertarik dengan eksperimentasi demokrasi di Indonesia. Bangsa ini sibuk dengan berbagai seremoni dan pesta salah satunya penyelenggaraan pilkada dari ujung Sumatera sampai ujung Papua.

Setelah usai pilkada yang unggul mengadakan pesta kemenangan. Yang kalah kadang heboh melakukan protes dan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Lalu para pendukungnya ada yang terlibat bentrok menambah kegaduhan masyarakat. Belum lagi peran para advokat ketika terjadi perselisihan. Semua semakin membuat panggung politik seru dan gaduh ketika ditangkap media sosial. Meskipun paling senang heboh, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, partai politik itu hanyalah salah satu pilar dari pilar-pilar yang lain seperti pilar pendidikan, ekonomi, birokrasi, pertahanan, kebudayaan, dan sebagainya. 

Hanya, pilar politik ini begitu berkuasa memengaruhi dan mengatur pilar yang lain. Yang repot adalah ketika pilar politik diisi oleh orang-orang yang kualitas ilmu dan moralnya di bawah pilar yang lain. Dalam jajaran birokrasi misalnya, banyak tenaga profesional yang paham betul bidang garap dan tanggung jawabnya, namun tiba-tiba dihadapkan pada menteri yang tidak cukup paham terhadap departemen yang dipimpinnya karena jadi menteri semata alasan politik koalisi. Di sini pilar politik telah menggerogoti pilar yang lain, padahal mestinya memperkokoh.

Cukup menyedihkan, sekitar 291 kepala daerah terlibat korupsi, belum lagi yang menimpa anggota DPR. Kalau saja gaduh dan heboh layaknya kompetisi sepak bola dunia, itu sangat menghibur. Tapi, yang terjadi selalu saja kehebohan yang berkaitan dengan skandal korupsi. Sudah saatnya kita semua melakukan evaluasi perjalanan reformasi yang ditandai terutama oleh kebebasan berekspresi, desentralisasi pemerintahan, pemilihan langsung kepala daerah dan presiden. Parpol yang begitu menonjol perannya dalam membuat kegaduhan politik dan sosial harus merenung dan menyampaikan pertanggungjawabannya pada bangsa dan rakyat atas prestasi dan kegagalan mereka dalam mengurus pemerintahan.

Sementara peran parpol kedodoran, pilar-pilar bernegara yang lain mesti diperkuat sehingga keributan (noisy) yang menimpa parpol tidak memperlemah pilar lain, terutama pendidikan, ekonomi, birokrasi, keamanan, dan penegakan hukum. Biarlah teman-teman di parlemen sibuk berdebat, mengingat kata parlemen sendiri memang berasal dari bahasa Prancis yang berarti berdebat, berbicara dan berwacana. 

Pemimpin Tanpa Jabatan

Pemimpin Tanpa Jabatan
Billy Boen ;  CEO PT YOT Nusantara; Director PT Jakarta International Management; Shareholder, Rolling Stone Café
KORAN SINDO, 31 Mei 2013



Adalah hal yang wajar, ketika kita masih “di bawah”, kita hanya fokus untuk mencapai apa yang ingin kita capai. 

Dalam karier, ketika lulus kuliah, cenderung kita akan fokus untuk mendapatkan pekerjaan dan bekerja sekeras mungkin untuk bisa mencapai pucuk pimpinan di perusahaan tempat kita bekerja. Atau, kalau kita memilih untuk berbisnis selepas kuliah, yang kita lakukan adalah untuk bekerja 24-7-365 guna memastikan bisnis yang kita rintis bisa berhasil. Tapi, apakah ini yang dilakukan seorang leader? Apakah seseorang baru bisa dikatakan sebagai leader ketika dia menjabat sebagai seorang CEO, direktur, maupun general manager di perusahaannya? 

Sesungguhnya, seseorang bukan menjadi pemimpin karena jabatan yang diembannya atau posisi yang dimilikinya. Tanpa jabatan, seseorang tetap bisa menjadi seorang pemimpin. Pernah baca buku laris Leaders Without Title karangan Robin Sharma? Di buku tersebut diceritakan bagaimana seseorang yang tidak menghiraukan jabatan di tempatnya bekerja, tapi secara terus-menerus mau dan mampu berkontribusi secara maksimal terhadap perusahaannya, layaknya seorang pemimpin. 

Ketika Anda hanyalah seorang anggota tim, atau seorang supervisor, Anda juga bisa menjadi seorang pemimpin kalau Anda mau. Secara struktural, mungkin rekan kerja Anda yang menjadi pimpinan; lalu, apakah lantas Anda jadi tidak bisa mengeluarkan sisi kepemimpinan yang Anda miliki? Bisa kalau Anda mau! Gimana caranya? Pimpinan struktural tidak akan selalu 100% berada di tempat ketika pengambilan keputusan dibutuhkan. Ada kalanya mungkin dia sedang berada di suatu tempat di mana dia harus memimpin suatu pekerjaan yang lebih penting daripada yang di tempat di mana Anda sedang ditugaskan. 

Di sinilah peran kepemimpinan Anda bisa Anda keluarkan. Ingat, pemimpin itu bukan menunggu untuk ditunjuk. Pemimpin itu muncul dengan sendirinya karena rasa percaya diri yang dia miliki. Jadi, tanpa harus ada yang menunjuk, kalau memang menurut Anda, Anda bisa memimpin, beranikan diri Anda! Di Young On Top Mentorship Program yang telah saya lakukan bersama para praktisi sukses di industrinya masing-masing selama tiga tahun terakhir, kami para mentor sering berpesan kepada para Young On Top Campus Ambassador. 

“Pemimpin itu enggakada yang nunggu untuk ditunjuk. Pemimpin itu harus berani menunjuk dirinya sendiri!” Bayangkan kalau Anda adalah orang hanya menunggu untuk ditunjuk untuk memimpin dan ternyata kesempatan itu tidak pernah kunjung tiba. Anda tidak akan pernah menjadi pemimpin! Banyak orang yang bilang, “Kesempatan tidak datang dua kali. Jadi persiapkan diri Anda sebaik mungkin.” Kalau pendapat saya begini, “Ngapain nunggu kesempatan kalau kita bisa ciptakan kesempatan untuk diri kita sendiri?” Gimana caranya?

 Ya, dengan mengenali siapa diri kita, apa kelebihan dan kekurangan diri kita, selalu berusaha untuk men-develop diri kita, dan terus tingkatkan percaya diri kita, kemudian.. beranilah untuk menunjuk diri kita untuk memimpin; tanpa menunggu kesempatan orang lain menunjuk diri kita. Ketika Anda sudah terbiasa untuk memberanikan diri Anda untuk mengemban tugas yang lebih besar, dari waktu ke waktu, jangan kaget kalau atasan Anda mulai ‘melihat’ hasil kerja Anda, dan tanpa Anda sadari, Anda mulai diberikan tanggung jawab yang terus berkembang dari waktu ke waktu. 

Kalau ini yang sudah Anda rasakan, berarti promosi jabatan sudah semakin dekat. Mereka yang terus berusaha untuk menjadi pemimpin di setiap tugas yang sedang dia embanlah yang merupakan pemimpin sejati. Tapi ingat, bukan berarti di setiap tugas, Anda harus terus-menerus menjadi pemimpin. Ada kalanya, Anda juga harus berusaha menjadi anggota tim yang baik. Di buku “Young On Top New Edition”, di bab tentang kepemimpinan saya bilang bahwa seorang pemimpin itu perlu untuk bisa memimpin dengan baik dan pada saat yang bersamaan, juga harus mampu untuk menjadi anggota tim yang baik. 

Pemimpin yang sesungguhnya tidak butuh jabatan dan tidak menunggu untuk memiliki posisi penting untuk membuktikan bahwa dirinya pemimpin yang sesungguhnya. Mereka berpikir dan bertindak layaknya seorang pemimpin yaitu untuk memberikan arahan untuk timnya. Dan.. layaknya seorang pemimpin sejati, mereka pada umumnya murah hati. Mereka siap untuk melayani timnya. Mereka tidak pernah ragu untuk membantu orang lain untuk maju, mereka tidak pelit ketika berbagi ilmu kepada orang lain. 

Mereka tidak takut orang lain berkembang dan menjadi individu yang lebih baik. Coba sekarang tanyakan pada diri Anda, apakah Anda masih sering menunggu ditunjuk? Apakah Anda masih lebih memilih menjadi anggota tim dibandingkan menjadi pemimpin? Apakah Anda sudah mengenali siapa sesungguhnya diri Anda? Apakah Anda sudah mulai memperbaiki kelemahan-kelemahan yang Anda miliki? Apakah Anda selalu berusaha untuk mempertahankan atau bahkan meng-improve kelebihan yang Anda miliki? 

Terlepas dari apa pun jabatan yang Anda emban saat ini, apakah Anda sudah menjadi pemimpin yang sesungguhnya? Kalau bisa jadi pemimpin sekarang dengan menunjuk diri sendiri, kenapa mesti nunggu suatu saat nanti ditunjuk? See you ON TOP!

Parpol dan Pemilu 2014

Parpol dan Pemilu 2014
Saldi Isra ;  Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas (UNAND), Padang
KORAN SINDO, 31 Mei 2013


Tak terbantahkan, partai politik peserta pemilihan umum benar-benar berada pada posisi sentral dalam proses pengisian jabatan-jabatan politik di negeri ini. 

Dari semua posisi politik yang tersedia, hanya sedikit tersedia ruang bagi mereka yang bukan dari partai politik. Sebut saja, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah hanya bisa diisi oleh calon dari partai politik. Sejak Pemilu 2009, anggota Dewan Perwakilan Daerah pun terbuka bagi calon dari partai politik. Untuk mengisi jabatan di eksekutif, konstitusi memberikan garis demarkasi yang sangat jelas: pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya bisa diajukan oleh partai politik peserta pemilihan umum.

Begitu pula di daerah, jalur partai politik menjadi semacam jalan tol untuk menjadi calon kepala daerah lebih. Kalaupun tersedia ruang bagi calon perseorangan, pilihan melalui jalur ini seperti memilih melintas di tepi jurang terjal untuk bisa menjadi calon kepala daerah. Selain itu, jabatan-jabatan lain yang berada di luar ranah eksekutif dan legislatif juga masih memerlukan penerimaan orang partai politik. Sebut saja, untuk menjadi calon hakim agung, hasil seleksi Komisi Yudisial, masih harus diseleksi tahap berikutnya di DPR. 

Begitu pula dengan komisi-komisi negara independen, semua harus melalui proses fit and proper test oleh mereka yang berasal dari partai politik di DPR. Secara sederhana, partai politik benar-benar superior dalam sistem politik kita. Dengan posisi seperti itu, partai politik sangat mungkin menjadi kekuatan yang sulit dikontrol. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan partai politik terperangkap ke dalam postulat yang pernah dikemukakan Lord Acton: power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely. Boleh jadi, banyaknya petinggi partai yang terkait berbagai skandal korupsi (suap) dalam beberapa waktu terakhir menjadi bukti empirik validitas postulat Lord Acton tersebut.

Superioritas 

Sebagai bagian dari upaya menelusuri akar korupsi yang melanda sebagian partai politik, medio Maret 2013 lalu Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan seminar dengan topik “Membangun Akuntabilitas Partai Politik”. Sebagai pembicara yang diminta menjelaskan penyakit akut ini dari aspek hukum tata negara, tanpa ada keraguan sedikit pun saya menyatakan bahwa salah satu penyebabnya, posisi partai politik sangat superioritas setelah perubahan UUD 1945. 

Jamak diketahui, hasil perubahan UUD 1945 sangat bias partai politik karena mayoritas penyusun perubahan UUD 1945 adalah politisi yang merepresentasikan kepentingan partai politik. Apalagi, secara faktual perubahan UUD 1945 dilakukan di tengah krisis kepercayaan terhadap eksekutif karena pengalaman executive heavy selama di bawah kekuasaan rezim Orde Lama dan Orde Baru. Bak bergerak menggeser pendulum, partai politik berupaya memperkuat posisi DPR yang kita tahu semua anggotanya berasal dari kalangan mereka sendiri. 

Dari pembacaan terhadap teks konstitusi, UUD 1945 yang dihasilkan para pendiri bangsa tidak satu pun pasal yang menyebutkan posisi partai politik dalam proses politik. Posisi demikian bergeser dengan jauh, UUD 1945 hasil perubahan memberikan tempat lebih luas kepada partai politik. Sebut saja, dalam UUD 1945 terdapat sejumlah ketentuan yang menyebut secara eksplisit posisi partai politik yaitu Pasal 6A Ayat (2), Pasal 8 Ayat (3), dan Pasal 22E Ayat (3). Kuasa partai politik itu terasa sangat menonjol bila dibandingkan dengan negara yang menganut sistem presidensial misalnya Filipina dan Amerika Serikat yang sama sekali tidak menempatkan partai politik sesentral itu dalam konstitusinya. 

Celakanya, posisi superioritas partai politik tersebut seolah-olah bergerak kian liar karena tidak diikuti dengan pembatasan yang ketat di tingkat undang-undang. Salah satunya pengaturan longgar tersebut dapat dilacak dalam masalah keuangan partai politik. Dalam hal hasil penelitian Perkumpulan untuk Pemilu Demokratis (Perludem) menyebutkan bahwa serangkaian undang-undang tentang partai politik (yaitu UU No 2/2008 pengganti UU No 31/2002 yang kemudian diubah dengan UU No 2/2011) sama sekali tidak mengalami kemajuan berarti terhadap pengaturan keuangan partai politik. 

Menuju Pemilu 2014 

Dari segi ketentuan undangundang yang ada, tidak banyak lagi yang mungkin bisa didesakkan menghadapi Pemilu 2014. Satu-satunya yang masih mungkin diperbaiki adalah menunggu perubahan Undang- Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Andaipun benar-benar terjadi perubahan, substansi yang terkait dengan upaya melunakkan superioritas partai politik tidak mungkin juga terwujud. 

Dalam situasi seperti itu, sebagian kalangan yang masih mengharapkan terjadi perubahan mendasar dari hasil Pemilu 2014 perlu membuat desain bersama yang sangat luas. Misalnya, melakukan kerjakerja ekstra membangun kesadaran kepada pemilih untuk memberikan dukungan (memilih) partai politik yang masih memiliki potensi berkembang ke arah yang lebih baik. Upaya ke arah ini memang bukan pekerjaan yang sederhana dan ringan karena sebagian pemilih telah terjangkit penyakit pragmatis politik uang dalam menentukan pilihan. 

Untuk itu, kampanye yang bersifat masif dan terstruktur diperlukan, terutama dalam menyampaikan track record partai politik yang menjadi peserta Pemilu 2014. Bagaimanapun diperlukan kerja keras membukakan mata pemilih untuk tidak lagi memilih partai politik yang telah dengan mudahnya mengkhianati rakyat. Dalam hal ini partai politik yang dalam Pemilu 2009 mencitrakan diri bersih dan antikorupsi, namun banyak di antara anggotanya yang tersangkut kasus korupsi (suap) harus disampaikan kepada pemilih untuk tidak dipilih kembali dalam Pemilu 2014. 

Agar benar-benar menjadi momentum untuk menarik dan memindahkan mandat rakyat, Pemilu 2014 harus mampu menghukum partai politik dan politisi pengkhianat. Tanpa itu, pemilu hanya akan menjadi sarana untuk memberikan legitimasi baru kepada sebagian politisi yang saban waktu siap memperdagangkan dan menggadaikan amanah rakyat.

Tragedi Kepiting dan Monyet

Tragedi Kepiting dan Monyet
Mohamad Sobary ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 31 Mei 2013


Ada cerita rakyat Jepang yang menggelikan. Di dalamnya ada penyesalan, atau ejekan, atas sebuah ironi yang memalukan. Seekor kepiting menanam pohon kesemek yang buahnya sangat banyak. 

Kepiting tak bisa memanjat pohon untuk memetik buah yang didambakannya. Dia minta tolong seekor kera. Tapi, kera memang dasar monyet, tiap buah dipetik langsung dimakannya sendiri. Kepiting yang tak berdaya, menyabarkan diri di bawah, menanti siapa tahu si monyet itu ingat bahwa dia tak memiliki jasa apa pun atas buahbuah itu sehingga dia sebenarnya tak berhak menikmatinya. Buah memang enak. Orang yang tak berjasa bisa saja memakannya dengan lahap, sambil sengaja melupakan pihak yang berjasa. Secara mencolok sekali, si monyet memakan buah matang yang manis itu sambil mengejek si kepiting yang tak berdaya. 

Tapi, tiap saat kepiting mengingatkan agar si monyet mau berbagi. Bujukan demi bujukan dan kata-kata lembut yang mengimbau agar si monyet berkenan menjatuhkan sedikit buah yang bisa dimakan si kepiting tak membawa hasil apa pun. Hewan serakah itu malah mencemooh agar si kepiting memanjat dan memetik sendiri. “Naiklah, kita makan bersama di atas pohon,” kata si monyet. “Jatuhkan sedikit untukku,” jawab si kepiting memelas. “Orang yang ingin makan buah harus memanjat,” ejek si monyet. 

“Tapi, kau memanjat buah yang bukan hasil tanamanmu sendiri. Kau persis perampok,” kata si kepiting. Si monyet yang tak tahu diri tak peduli. Buahbuah itu dipetik dan dimakan. Tapi, karena si kepiting terus saja mengimbau agar si monyet mau berbaik hati, si monyet marah. Dia memetik buah yang besar dan melemparkannya sekuat tenaga dari atas. Lemparan itu tepat mengenai tubuh si kepiting yang rentan dan hancurlah tubuh hewan lemah itu seketika. Tanpa sempat menjerit, si kepiting pun mati seketika itu juga dalam perjuangan membela haknya. Si monyet makin merajalela. 

Dia yang tak punya hak sama sekali—karena tak pernah melakukan apa pun, tapi memuaskan diri menikmati buah-buah itu—tidak tahu sama sekali bahwa di dalam tubuh kepiting itu terdapat begitu banyak telur yang telah menetas menjadi berpuluh-puluh anak kepiting yang lembut-lembut, yang segera merayap ke sana kemari, begitu tubuh induknya pecah berantakan. Mereka pun besar dalam waktu pendek. Ringkasnya, mereka berusaha menelusuri sebab kematian induknya. 

Lamalama mereka tahu, pembunuh induknya seekor monyet yang tak tahu diri. Kisah ini berakhir ketika anak-anak keping berhasil membalas dendam kepada si monyet. Balas dendam itu tidak baik. Kitatahuitu. Tapi, hidup ini masih selalu saja dipenuhi semangat balas dendam. Persis apa yang dilakukan anak-anak kepiting. Kita tak bisa berbuat apa-apa.
Hadiah, “award”, atau penghargaan pada tingkat dunia tak pernah main-main. Sebelum penghargaan itu diberikan, calon—bahkan calon-calon— penerima harus sudah ada. Tak jarang bahkan diperlukan proses “nominasi”. 

Pihak lain di suatu negara bekerja sama dengan lembaga pemberi penghargaan itu. Pihak lain itu yang menghimpun data secara teliti dan cermat mengenai jasa tokoh yang bakal “dinominasikan”. Proses ini berbelit-belit dan makan waktu lama. Jasa calon penerima harus jelas, bahkan mencolok dan besar, sehingga semua orang di negara itu tahu, dia layak “dinominasikan.” Jika sudah berhasil, kelak bahkan banyak orang akan mengatakan, yang bersangkutan memang layak menerimanya. Ini baru dilihat dari satu aspek mengenai jasajasanya yang tak diragukan. 

Hal lain mengenai aspek politik. Bagaimana sikap dan pandangan politik yang bersangkutan. Apakah dia misalnya antidiskriminasi dan matimatian berjuang membela kelompok tertindas? Apakah dia menganut ideologi multikulturalisme dan membela tegaknya kehidupan pluralitas di bidang kebudayaan demi kedamaian dalam negerinya? Pendeknya, apakah dia memang “champion” dan bisa dianggap tokoh yang unggul di bidang-bidang tersebut? Apakah dia panutan umat, bahkan panutan seluruh bangsa karena besarnya jiwa yang terpancar dalam sikap hidupnya? 

Biasanya, hal lain yang menjadi sorotan, apakah dia seorang yang tergolong “peace loving activist”, yang rela membuang banyak waktu dan rela “mengabaikan’ keluarga dan keperluan hidup pribadinya demi perdamaian umat manusia? Apakah dia punya suatu karya besar dan monumental—di bidang apa pun—yang bisa menjadi sebab datangnya “award” seperti disebut di atas. Bapak Presiden yang terhormat, kelihatannya memang menyukai aneka “award” kelas dunia. 

Dulu itu dikabarkan sudah siap dengan bahan pidato dan sudah latihan pidato untuk menerima hadiah Nobel Perdamaian. Tiba-tiba hadiah nobel di bidang itu jatuh ke pihak lain yang diketahui dunia punya kontribusi penting dan dianggap layak menerimanya. Kalau kita tak pernah ada sangkut paut dengan tindakan besar, yang mengayomi manusia- manusia lain yang tertindas, kenapa kita memimpikan “award” ? Bukankah hanya orang yang pernah “menanam” yang kelak menerima hasil “panen”? Hanya mereka yang “menabung” yang kelak memperoleh “bunga” tabungan?

 Lembaga nobel di Stockholm, saya kira, bukan lembaga ecek-ecek yang sangat mungkin keliru memberi “award” bagi mereka yang hanya berpangku tangan. Ini belum pernah terjadi meskipun lembaga itu tak mustahil berbuat kekeliruan. Kali ini Bapak Presiden disodori lagi sebuah “award” karena jasanya melindungi umat dan membangun semangat kerukunan beragama. Nanti dulu. Atas nama pribadi, yang dilakukan diam-diam, pernahkah beliau merintis jalan kerukunan macam itu? Karena pribadi sekali, tak ada yang tahu? 

Tapi, kalau tak ada yang tahu, bagaimana orang Amerika bisa tahu? Kalau itu dilakukan secara resmi, sebagai presiden? Itu bisa terjadi. Tapi, kapan beliau meluangkan sedikit waktu untuk kiprah di bidang itu? Rakyat tahu, kiprah pokoknya di bidang musik dan tembangtembang. Kenapa orang kirikanannya tak mengusahakan penghargaan di bidang yang sudah jelas ada jejaknya itu? Presiden dikelilingi orangorang yang tak bisa—atau tak bersedia—mengingatkan baikbaik agar beliau tak terpancing. Sebaliknya, orang-orang di kirikanannya malah mendorong ke arah kemungkinan keliru. 

Beliau tak ada jasanya sama sekali di bidang itu, tapi didorongdorong dengan berbagai sikap memalukan agar beliau merespons tawaran hadiah itu. Orang yang mencintai dan menghormati beliau seharusnya mengingatkan agar beliau tak dipermalukan orang. Pribadi yang tidak merdeka, takut tidak naik pangkat, kepentingan untuk memperoleh jabatan, kecenderungan sikap menjilat atasan, dan tingkah laku yang sedikit pun tak mengenal makna “zuhud”, atau asketik dalam hidup, membuka peluang menjerumuskan atasan. Tak ada orang yang betul-betul loyal pada atasan. 

Manusiamanusia itu hanya loyal pada diri mereka sendiri. Tak mengherankan mereka bukan hanya tak berbuat sesuatu, melainkan juga bisa jadi malah sebaliknya: menjerumuskan. Kalau “award’ yang sebenarnya tak begitu bergengsi itu diterimanya juga, Bapak Presiden yang terhormat dipermalukan orang. Pertama, beliau akan dianggap memetik buah dari pohon yang tak ditanamnya sendiri seperti kisah monyet dalam cerita rakyat Jepang tadi. Kedua, beliau digiring ke suatu jurusan yang memalukan. 

Daripada sesal kemudian tak berguna dan hanya menjadi permainan orangorang serakah, yang tak punya loyalitas, lebih baik Bapak Presiden yang mulia mengabaikan saja semua. Mari kita sesiteran dan tetembangan. Kita “nglaras” dan menikmati hidup. Kita tidak boleh mewakili tragedi kepiting dan monyet dalam kisah di atas.

Ende, Flores, dan Pemulihan Soekarno

Ende, Flores, dan Pemulihan Soekarno
Daniel Dhakidae ;  Pemimpin Redaksi Prisma, Jakarta;
Tulisan Ini Disarikan dari Edisi Khusus Prisma, ”Soekarno”
KOMPAS, 31 Mei 2013


Tanggal 1 Juni besok, situs Bung Karno di Ende akan diresmikan secara besar-besaran oleh Wakil Presiden Boediono, dengan taman dan penataan lanskap di lokasi ditempatkannya patung Soekarno. Patung karya pematung Hanafi tersebut berbeda dari patung Soekarno mana pun di Indonesia. Patung-patung lain menggambarkan Soekarno beraksi, tangan teracung. Di Ende, Soekarno seorang pemikir reflektif, tenang, dan duduk. Koor gabungan 1.000 siswa SMA Ende akan mengumandangkan lagu polifonik ”Io Vivat Nostrorum Sanitas” (sehat walafiatlah sobat-sobat kita) yang diajarkan Bung Karno untuk klub teaternya di Ende.

Kontribusi Ende

Soekarno dengan gagah perkasa menjalani hukuman penjara pertama, 1930, tetapi mengalami kehancuran mental, ketidakpastian sosial, dan disorientasi politik pada pemenjaraan kedua, 1933, sampai-sampai meminta belas kasihan pemerintah kolonial. Dalam keadaan begitu, Soekarno menjejakkan kakinya di dermaga Pelabuhan Ende, Februari 1934.

Soekarno yang datang ke Ende adalah Soekarno yang ”secara politik mati”, kata Hatta. Namun, di Ende, perlahan Soekarno membangun kembali kekuatan dirinya tahap demi tahap.

Pertama, Soekarno menjadi seorang bapak keluarga tanpa gangguan kegiatan politik seperti di Bandung. Soekarno menanam sayur-mayur, memetiknya untuk dimasak di rumah kontrakannya demi lima anggota keluarganya. Sebagai bapak keluarga, Soekarno juga menjadi seorang Muslim yang taat—shalat sehari lima waktu dan setiap Jumat ke masjid.

Kedua, dari menjadi bapak keluarga, Soekarno perlahan-lahan menghidupkan kembali kegiatan 
intelektualnya dan menjadikan dirinya seorang ahli Islam. Di Jawa, keasyik-masyukannya dengan marxisme menenggelamkan perhatiannya terhadap Islam. Meskipun demikian, tulisan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme, 1926, adalah manifesto politik Soekarno muda yang brilian, 25 tahun—tidak kalah dari Marx (30) dan Engels (28); ketiganya berada dalam kurun umur sama.

Di Jawa, Soekarno melihat Islam dari luar, dari kacamata marxisme yang menuntut simpati Islam terhadap marxisme karena Islam pada dasarnya adalah sosialis, demikian Soekarno. Di Ende, Soekarno banyak menulis dan melihat Islam dari dalam.

Ketiga, Soekarno dijauhi golongan atas di Ende dan ditakuti golongan bawah karena propaganda kolonial: dia dianggap komunis. Soekarno mengeluh bahwa tidak ada orang yang mendengarnya di Ende: ”Orang di sini yang mengerti tidak bicara dan yang bicara tidak mengerti.”

Karena itu, ”aku akan membentuk masyarakatku sendiri” dan mempersetankan ”orang pintar yang tolol itu”. Dia mendirikan ”Kelimoetoe Toneel Club”, dengan dukungan tukang jahit, sopir, nelayan; beranggaran dasar dan Soekarno sendiri direkturnya. Dia menulis dan mementaskan 13 drama dalam tempo empat tahun! Rata-rata setiap triwulan satu drama. Dengan anggota antara 56 dan 90 orang dia membentuk ”massa kecil”, kemudian jadi ”kampus” tempat diskusi. Soekarno menanam kesadaran akan kemerdekaan meski semuanya dalam bahasa simbolik teater karena lima polisi kolonial selalu mengawasinya.

Keempat, perlahan Soekarno mengalihkan diri menjadi cendekiawan sejati dengan keluar melangkah ke suatu kelompok berbeda, dengan para pastor/misionaris. Diskusi dalam bahasa Belanda secara rutin dijalankan dengan mereka di Ende, yang rata-rata seumur dengannya, 35-40 tahun, saat pemuda Soekarno berumur 33 tahun.

Di sana dipelajari agama mondial dalam diskusi dengan dukungan buku di perpustakaan pribadi para pastor itu. Sosialisme Soekarno dibandingkan langsung dengan sosialisme gereja yang dipelajarinya di sana.
Kelima, berbekal hasil diskusi itulah, renungan di bawah pohon sukun yang begitu membuai Soekarno menjadi puncak dari semua yang diperoleh di Ende, yaitu menggali dan merenung tentang Pancasila yang dilukiskan Soekarno dengan begitu puitik.

Ende dan Sang Ideolog

Soekarno memang lebih menekankan renungan di bawah pohon sukun. Namun, menurut penulis, Soekarno mengabaikan dua hal lainnya, karena gabungan ketiganya—diskusi, aksi teater, dan refleksi—secara gemilang mengantarnya menuju kesatuan mistik di bawah pohon sukun untuk menemukan sesuatu yang tujuh tahun kelak, pada 1 Juni 1945, disebutnya sebagai Pancasila. Maka, lahirlah seorang ideolog negara, state ideologist, di Ende.

Dengan demikian, Ende jadi penting bagi Soekarno. Jika Ende penting bagi Soekarno, dan Soekarno penting bagi Indonesia, dengan sendirinya Ende harus penting bagi Indonesia. Sebab, apa pun yang penting bagi Soekarno, penting bagi bangsa ini.

Defisit Kemodernan Politik

Defisit Kemodernan Politik
M Alfan Alfian ;  Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional
KOMPAS, 31 Mei 2013


Harian Kompas edisi 20 Mei 2013 merangkum pandangan bahwa setelah 15 tahun reformasi, partai politik gagal memberikan perubahan substansial kepada rakyat.

Parpol yang memiliki peran strategis dan penting dalam demokrasi justru terus berkutat dalam urusan pertarungan kekuasaan dan jabatan demi keuntungan segelintir elite. Pandangan ini segera diamini berbagai pihak, termasuk sebagai otokritik elite parpol sendiri. Pertanyaannya, mengapa sampai demikian?
Jawaban akademisnya: karena parpol abai membangun dan memperkuat kelembagaannya. Institusionalisasi politik jalan di tempat, kalau bukan malah tekor. Wajah politik kita, akibatnya, tidak hadir dari pancaran organisasi politik modern yang memiliki disiplin kesisteman yang baik. Sebaliknya, dinamika digerakkan oleh ”dawuh para gusti” alias kehendak konsentrasi elite berkuasa. Praktik ”presidensialisme parpol”, ironisnya, terpotret sedemikian itu.

Modernisasi politik yang ditandai dengan penguatan kelembagaan partai justru di era reformasi ini tak sepenuhnya dijadikan orientasi. Tradisionalitas patron-klien atau patronase politik yang meminggirkan logika kemodernan tampak lebih dominan. Disiplin kesisteman tergeser pemusatan kekuasaan dengan segala derivasi perilaku elite oligarki partai. Fungsi kepemimpinan politik bergeser sekadar merebut dan mempertahankan kekuasaan faksional, sesaat, dan kurang kontributif dalam menyokong perubahan substansial.

Para elite politik saat ini seharusnya belajar kembali pada pengalaman elite-elite pelopor kebangsaan tempo dulu. Salah satu pelajaran berharga dari Kebangkitan Nasional adalah pilihan pergerakan dengan pendekatan organisasi modern. Berdirinya Boedi Oetomo tahun 1908—sering dipakai sebagai titik yang menandai perubahan strategi perjuangan—oleh sejarawan Anhar Gonggong disebutnya dari fisik ke visi. Strategi fisik yang sebelumnya merujuk pendekatan tradisional bertransformasi ke strategi visi melalui kehadiran sejumlah organisasi modern.

Modernitas organisasi kemudian menjadi ciri menonjol tiap pergerakan. Visi sosial-politik diterjemahkan secara lebih tertata. Militansi terawat oleh disiplin anggota yang patuh pada sistem. Meskipun organisasi-organisasi tersebut diawasi ketat pemerintah kolonial, tingkat pelembagaan politiknya tinggi. Konsistensi para aktivis yang bergerak melalui organisasi modern tampak dari kerapian susunan pengurus, berjalannya kongres-kongres, dan ragam gebrakan yang terasakan oleh rakyat.

Berpolitik secara modern mengemuka. Para elite menyembul ke permukaan dengan peran kepemimpinan masing-masing. Mereka sangat memperhatikan pengaderan sehingga organisasi adalah basis kader. Di tengah kondisi rakyat yang sangat terbatas tingkat pendidikan dan kesejahteraannya, sikap dan kebijakan organisasi demikian nyata. Para elite tidak elitis. Politik tidak hanya bermakna mengupayakan kemerdekaan, tetapi juga mencerdaskan dan memajukan kesejahteraan rakyat.

Deinstitusionalisasi politik

Para elite tampil sebagai pemimpin-pemimpin politik yang jelas. Modernitas organisasi yang dilengkapi sikap kepemimpinan para elitenya klop dengan sambutan rakyat yang penuh harap. Yang tercipta adalah kebersamaan. Karena itu, meskipun ditindas penguasa kolonial, gairah perjuangan yang telah memperoleh bentuk baru kemodernan politik jauh lebih efektif.

Wajah kemodernan politik kita dewasa ini tampak tereduksi arus kuat deinstitusionalisasi partai-partai politik. Ini gejala gawat karena dinamika didominasi sekadar oleh ”tinju-tinju politik” yang tanpa seni. Konsepsi pelembagaan politik, yang sudah menjadi klasik, misalnya, dikemukakan Huntington dengan empat kriteria, yakni adaptabilitas, kompleksitas, otonomi, dan koherensi.

Bagaimanapun, menekankan stabilitas dan soliditas organisasi, versi Huntington itu, sering dikritik seolah membenarkan juga jalan nondemokrasi. Berangkat dari kritik itu, wacana pelembagaan politik dewasa ini nyaris selalu dilekatkan dengan demokrasi. Dengan demikian, Pelembagaan politik mempersyaratkan keberadaan partai-partai politik yang demokratis pula. Tantangan utamanya tentu bagaimana stabilitas dan soliditas politik tercipta secara demokratis.

Ukuran utamanya adalah terjaminnya proses pengambilan keputusan secara otonom dan demokratis. Kalau hal itu diabaikan, kemodernan partai diterapkan setengah hati. Pengambilan keputusan dan kesisteman, selain aspek nilai, merupakan hal-hal yang mendasar dalam pelembagaan partai. Meskipun semua partai berharap memperoleh citra yang baik di mata publik, kerangka institusionalisasi tidak merekomendasikan langkah-langkah yang instan.

Pemusatan kekuasaan dan langkah-langkah instan pencitraan tidak saja berbahaya bagi partai bersangkutan, tetapi juga masa depan demokrasi. Dan, sayangnya, hal seperti itu yang kita rasakan hari-hari ini.

Merawat Keberagaman

Merawat Keberagaman
Hendardi ;  Ketua Setara Institute
KOMPAS, 31 Mei 2013


Selama enam tahun terakhir, Setara Institute dan organisasi lain melaporkan bahwa kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia memprihatinkan. Negara belum sepenuhnya mampu menjalankan mandat konstitusi: merawat keberagaman dan menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan.
Ketidakmampuan menjamin kebebasan dasar ini yang kemudian melahirkan diskriminasi dan kekerasan lanjutan, termasuk perluasan spektrum pelanggaran hak konstitusional warga. Sebutlah seperti hak atas rasa aman, hak atas kemerdekaan pikiran, hak atas pendidikan, hak atas anak, dan hak untuk diperlakukan setara di hadapan hukum. Kondisi ini telah mengundang keprihatinan internasional. Hal itu disampaikan Human Rights Watch dalam laporan terbarunya (Februari 2013) ataupun para pemimpin dunia lewat berbagai forum internasional.
Laporan Indonesia
Pada 23 Mei 2012, Pemerintah Indonesia melaporkan perkembangan situasi HAM di Indonesia selama empat tahun terakhir (2008-2012) pada Sidang Working Group Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB. UPR adalah mekanisme pelaporan empat tahun sekali di Dewan HAM PBB oleh 192 negara anggota PBB. Pada UPR kali ini, 74 negara berpartisipasi dalam diskusi, 27 anggota Dewan HAM PBB, dan 47 pengamat.
Salah satu isu penegakan HAM di Indonesia yang menjadi sorotan dan perhatian dunia adalah kebebasan beragama/berkeyakinan. Setidaknya 23 negara dalam sidang UPR telah memberikan respons, tinjauan, dan rekomendasi atas pemajuan HAM, khususnya kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia. Sejumlah rekomendasi hingga kini tidak dijalankan pemerintah, salah satunya soal revisi UU No 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan/Penodaan Agama dan mengundang Pelapor Khusus PBB untuk Kebebasan Beragama/Berkeyakinan.
Fakta lain yang jadi indikator kegagalan negara dalam menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan adalah pembiaran pengungsi Ahmadiyah Transito Mataram, pengungsi Sampang-Madura, pembangkangan hukum dalam kasus GKI Taman Yasmin, kekerasan terhadap jemaat Ahmadiyah yang terus meluas, penyegelan dan atau pelarangan pendirian gereja-gereja HKBP di Bekasi, dan impunitas pelaku kekerasan atas nama agama.
Laporan-laporan itu sejatinya bukan untuk disangkal negara. Penyangkalan tanpa argumen akademis dan fakta lapangan yang dilakukan otoritas negara hanya menunjukkan betapa pemerintah tidak peduli dengan kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan. Politik penyangkalan tidak akan memberikan benefit politik apa pun, kecuali memupuk apatisme dan ketidakpercayaan publik. Kondisi ini jelas akan merugikan prestasi pemerintah pada sektor lain.
Ironi citra
Dengan menyimak berbagai data dan fakta peristiwa dan tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, bisa dimengerti mengapa muncul polemik terhadap pemberian penghargaan kelas dunia semacam World Statesman Award. Inilah ironi industri politik pencitraan. Citra telah menjadi dewa yang dituju dan dipuja meskipun tidak diimbangi dengan kinerja.
Tidak ada yang membantah bahwa deretan penghargaan internasional adalah buah dari kepemimpinan Presiden SBY dalam banyak bidang. Namun, dalam hal kebebasan beragama/berkeyakinan, masih banyak yang harus dibenahi. Termasuk bagaimana mengefektifkan kepemimpinan politik untuk menegur seorang wali kota yang telah mengabaikan keputusan Mahkamah Agung. Juga belum tampak instruksi dan tindakan nyata dalam mengatasi kekerasan dan diskriminasi agama/keyakinan.
Indonesia disegani karena kepatuhan tanpa reserve dalam bidang liberalisasi ekonomi. Untuk soal pelanggaran HAM, klaim tersebut menyesatkan. Selama sembilan tahun terakhir, impunitas atas pelaku kejahatan kemanusiaan semakin menebal.
Kasus penculikan orang secara paksa, yang telah direkomendasikan DPR untuk diperiksa di pengadilan HAM, tidak berlanjut. Prestasi penegakan HAM tidak melulu diukur dengan peristiwa pelanggaran HAM berat semata, tetapi juga seberapa kuat usaha memutus impunitas sehingga ada efek jera dan pembelajaran akan kebenaran, keadilan, dan pemulihan korban dan publik.
Sebagai pelopor perdamaian, Indonesia memang pantas diapresiasi, tetapi tidak untuk mengejar Nobel Perdamaian. Demikian juga posisi Indonesia, yang katanya, tindakan Indonesia dihitung dan suara Indonesia didengar. Karena posisinya yang makin strategis, semestinya pemberian penghargaan menjadi cambuk untuk menuntaskan fakta dan kondisi sebenarnya yang justru bertolak belakang.
Sebetulnya, memang Indonesia akan lebih mulia di mata dunia apabila menolak penghargaan itu. Namun, keputusan sudah diambil. Kita berharap muncul kesadaran bahwa ada masalah serius dengan kebebasan beragama dan bersungguh-sungguh akan menyelesaikannya.

Antara Benci dan Cinta

Antara Benci dan Cinta
Herry Tjahjono ;  Terapis Budaya Perusahaan dan Motivator Budaya, Jakarta
KOMPAS, 31 Mei 2013


Sebagai rakyat, tentu kita punya hak untuk menonton sekaligus berpendapat— bahkan untuk nyinyir sekalipun— terhadap pemerintah ataupun para pemimpin kita. Sebab, bagi rakyat, begitu menjatuhkan pilihan terhadap kepemimpinan nasional baik itu eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, artinya telah menanamkan investasi yang teramat mahal untuk dipertaruhkan begitu saja.

Secara sederhana, kepemimpinan bergerak di antara dua kutub: dibenci atau dicintai. Jika sebuah kepemimpinan bergerak dari dibenci menuju dicintai, hal itu disebut sebagai kepemimpinan yang terbit (sunrise leadership). Namun, jika yang terjadi adalah sebaliknya, kepemimpinan bergerak dari dicintai menjadi dibenci, itu disebut kepemimpinan yang tenggelam (sunset leadership).

Untuk memotret apakah sebuah kepemimpinan dicintai atau dibenci, parameter yang terpenting adalah apa yang disebut dengan respons kepemimpinan. Respons ini diukur dari jenis respons pengikutnya (follower’s response). Setidaknya ada dua respons pengikut yang layak diangkat dalam konteks kepemimpinan nasional di negeri tercinta ini.

Sikap dan hati

Respons pertama berupa sikap (attitude response ), khususnya sikap respek terhadap kepemimpinan yang ada. Rasa respek pengikut—dalam hal ini rakyat—untuk pemimpin yang dicintai bisa dijelaskan dengan sederhana. Pertama, dilihat dari kritik terhadap kepemimpinan. Kritik terhadap pemimpin yang dicintai akan bersifat membangun, konstruktif. Bahkan, untuk kritik paling keras sekalipun, misalnya dalam bentuk unjuk rasa, tetap bersifat membangun karena dilakukan dengan santun dan normatif. Kritik konstruktif karena ada respek.

Selain kritik konstruktif, sikap respek juga berhubungan dengan perilaku segan (bukan takut) terhadap pemimpin yang dicintai. Dinamika ini lahir dari otoritas ke-(pribadi)-an yang kuat, tegas, adil, bijaksana, dan altruis. Bukan otoritas kursi, jabatan, pangkat, SK, yang sekadar mengandalkan legitimasi formal. Dari kondisi disegani inilah lahir wibawa kepemimpinan yang kuat, yang bahkan tidak memerlukan kehadiran fisik sang pemimpin sekalipun. Jadi, meski sosok pemimpin tidak hadir secara fisik, pengikut atau rakyat tetap hormat dan berlaku sopan.

Respons kedua berupa respons hati (heart response). Respons hati terhadap kepemimpinan ini biasanya muncul dalam bentuk ungkapan, ekspresi perasaan berupa cerita sejarah, dongeng atau sebaliknya; dari cerita parodi sampai cerita guyonan atau lawak soal kepemimpinan yang ada. Untuk pemimpin yang dicintai, respons hati akan mengejawantah dalam bentuk cerita sejarah yang positif tentang para pemimpin yang dicintai itu. Bahkan, sering diwujudkan dalam bentuk dongeng yang dipermanis dan diperindah, lebih manis dan lebih indah dari sejarah itu sendiri.

Indonesia pernah mempunyai pemimpin yang dicintai seperti itu, misalnya Bung Hatta, Jenderal Sudirman, dan beberapa lainnya. Bung Karno sesungguhnya termasuk golongan pemimpin yang sangat dicintai karena ada beberapa catatan khusus seperti adanya ”rekayasa sejarah dan politik” sehingga menjadi ”dibenci”. 

Selain itu, memang ada juga beberapa kelemahan terutama pada akhir masa kepemimpinannya sehingga dia sempat ”dibenci”. Namun, pada dasarnya Bung Karno termasuk pemimpin yang dicintai, terbukti sejarah mulai ”mengoreksi” kisah tentang Bung Karno. Orang masih menyebut dengan hormat meski dia dan para pemimpin lainnya telah wafat.

Respons destruktif

Adapun ke-(pemimpin)-an yang dibenci mempunyai dua respons (sikap respek dan hati) pengikut yang sebaliknya. Pertama, kritik terhadap kepemimpinan yang ada dilakukan tanpa respek, bahkan bersifat merusak, destruktif. Secara psikologis, hal ini wajar karena para pengikut memang ingin merusak kepemimpinan yang ada, menjatuhkannya, merontokkannya. Kritik paling keras dalam bentuk unjuk rasa pun destruktif dan bahkan anarkis.

Pada saat yang sama, tidak ada perilaku segan terhadap para pemimpin nasional yang ada. Baik mereka hadir secara fisik maupun tidak. Para pengikut atau bawahan berani untuk tidak menjalankan arahan dan perintah atasan yang dibenci. Tak jarang kita melihat peserta rapat atau pengarahan—bahkan dalam suatu sidang yang melibatkan para menteri—yang dengan santainya terkantuk-kantuk, bahkan ngorok sekalian. Tidak ada segan karena memang tidak ada wibawa kepemimpinan sama sekali. Karena para pemimpin itu tidak bisa menghargai diri sendiri dan kepemimpinannya, rakyat juga tak menghargai mereka.

Respons hati bukan muncul dalam bentuk sejarah atau dongeng yang indah, positif, dan manis, tetapi memprihatinkan: berupa cerita guyonan atau lawak yang sinisme dan melecehkan. Berikut contoh cerita guyonan atau lawak yang memprihatinkan tersebut.

Terkait dengan DPR, misalnya, di masyarakat beredar guyonan tentang seorang anggota wakil rakyat yang meninggal dan masuk neraka (mungkin karena korupsi dan sama sekali tidak bekerja mewakili rakyat). Ketika sampai di neraka, ia kaget melihat seorang temannya yang meninggal lebih dulu dan berada di surga. Ia bertanya kepada penjaga neraka, kenapa temannya itu ada di surga, padahal kelakuannya sama-sama bejat. Dengan santai penjaga neraka menjawab, ”Oh, itu cuma studi banding aja kok, sebentar lagi juga balik ke sini!”

Masih demikian banyak cerita guyonan yang bersifat sinisme dan melecehkan, baik terhadap polisi, hakim, menteri, bahkan Presiden SBY sekalipun. Pendeknya, hampir setiap hari lahir cerita guyonan yang sinis dan melecehkan terhadap segenap dimensi kepemimpinan nasional, dan bukan cerita sejarah atau dongeng yang indah dan manis.

Melihat respons sikap pengikut dan rakyat yang mengarah pada titik tanpa respek, kritik destruktif, serta cerita guyonan yang getir dan melecehkan, tampaknya kepemimpinan nasional yang ada sekarang memang sedang tenggelam. Semoga era kepemimpinan mendatang bisa menorehkan sejarah kepemimpinan nasional yang indah dan manis.

Mewaspadai Tren Pasar Surat Utang

Mewaspadai Tren Pasar Surat Utang
Hasan Zein Mahmud ;  Tim Ekselensi Learning Center & Advisory,  
Pengajar pada Kwik Kian Gie School of Business
KOMPAS, 31 Mei 2013


Ada dua gejala menonjol dalam pasar surat utang global saat ini. Pertama, gelombang penurunan peringkat surat utang, dari peringkat utang negara, obligasi korporasi, sampai obligasi pemerintah daerah. Kedua, ekonomi dunia dengan tingkat bunga sangat rendah sehingga hanya berpeluang naik!

Peringkat utang negara-nega- ra zona euro berguguran sejak dua tahun lalu. Tidak terbatas pada negara yang mengalami krisis keuangan nyata seperti Yunani, Portugal, Italia, dan Spanyol, tetapi juga negara berkekuatan ekonomi seperti Jerman dan Perancis. Baru-baru ini, Fitch juga memangkas peringkat utang Inggris dari AAA ke AA+ dengan alasan ekonomi memburuk.

Peringkat perekonomian Amerika Serikat (AS) ternyata juga rontok. Pada 5 Agustus 2011, untuk pertama kali dalam sejarah, peringkat surat utang pemerintah Federal AS diturunkan oleh Standard & Poor’s dari AAA menjadi AA+.

Domino kejatuhan peringkat juga sampai ke Indonesia. Peringkat utang negara Indonesia versi S&P turun pangkat dari positif ke stabil walau masih di peringkat sama: BB. Dalam jangka pendek, ini menghapus peluang Indonesia naik pangkat menjadi negara layak investasi yang telah diprediksi banyak pakar lebih dari dua tahun.

Menyusul S&P, Moody’s juga menurunkan outlook Indonesia dari stabil ke negatif walau masih di jajaran layak investasi. Bergerak satu derajat lagi lebih rendah, Moody’s akan kembali membenamkan Indonesia ke lingkaran peringkat spekulatif yang telah dihuni Indonesia selama 14 tahun sejak krisis 1997.
Penurunan outlook oleh S&P dan Moody’s memang tak menaikkan imbal hasil obligasi Indonesia secara signifikan. Yang lebih perlu diantisipasi yakni perbaikan kondisi makroekonomi, termasuk kebijakan lebih hati- hati sehingga penurunan tak berlanjut ke tingkat lebih buruk.

Terpuruknya kembali peringkat Indonesia ke area spekulatif akan membuat investor portofolio menarik kembali dananya, dan laju penanaman modal langsung akan menurun tajam, memaksa otoritas moneter menaikkan tingkat bunga dan imbal hasil obligasi ke langit tinggi.

Tingkat bunga

Tingkat bunga global saat ini berada di palung terendah. Federal Fund Rate yang sekian tahun bertengger di angka 0,25 persen praktis tak bisa diturunkan lagi. Itu sebabnya, otoritas moneter AS harus menggunakan alat lain, seperti mencetak uang baru untuk membeli kembali obligasi pemerintah (quantitative easing), guna memacu pertumbuhan ekonomi yang lamban.

Awal Mei, Bank Sentral Eropa juga menurunkan tingkat bunga acuannya 25 basis poin menjadi 0,5 persen untuk membantu perekonomian zona euro yang terpuruk di tengah penurunan inflasi di bawah target angka inflasi dan meningkatnya pengangguran. Ini pemotongan tingkat bunga pertama sejak 10 bulan.
BI Rate 5,75 persen adalah terendah sepanjang sejarah. Itu telah dipertahankan dalam 15 kali pertemuan Dewan Gubernur BI. Saya menangkap semacam hasrat dari otoritas moneter menurunkan lagi tingkat bunga acuan. Namun, dengan perkiraan inflasi lebih tinggi dari 2012 dan di tengah pelemahan rupiah, penurunan BI Rate lebih jauh akan kontraproduktif. Pembalikan tren tingkat bunga global, apalagi dibarengi penurunan peringkat banyak negara, akan menghancurkan pasar obligasi global. Semoga tak terjadi!

Pertumbuhan ekonomi memang tak selalu ditandai dengan naiknya tingkat bunga walaupun empiris membuktikan ekspansi ekonomi umumnya akan mengerek tingkat bunga ke atas. Yang boleh jadi luput dari pertimbangan analis adalah penurunan peringkat surat utang berkepanjangan akan menaikkan imbal hasil, yang pada gilirannya akan ”memaksa” institusi keuangan menaikkan tingkat bunga.

Kecenderungan itu yang perlu diwaspadai. Naiknya tingkat bunga bersamaan turunnya peringkat surat utang akan mengakibatkan harga obligasi turun tajam. Penurunan tajam harga obligasi akan memukul lebih banyak investor ritel ketimbang penurunan harga saham. Di AS, misalnya, 75 persen obligasi pemda–dengan nilai pasar sekitar 3,7 triliun dollar AS–dimiliki investor individual. Di Indonesia obligasi selain ORI memang dimiliki mayoritas oleh institusi. Namun, jangan lupa investor institusional dummy dari pemilik sebenarnya, yaitu investor ritel.

Penurunan nilai portofolio pada dana pensiun akan menurunkan kekayaan para calon pensiunan. Penurunan portofolio asuransi menurunkan kekayaan pemegang unit link. Demikian juga penurunan nilai portofolio reksa dana memangkas nilai aktiva bersih pemegang unit.


Saya bukan penganut ajaran Warren Buffett yang menyarankan Anda takut pada saat orang lain tamak dan menyarankan Anda tamak pada saat publik takut. Namun, sedia payung paling baik dilakukan sebelum hujan, apalagi di pasar keuangan.

Pancasila di Tengah Pragmatisme Politik

Pancasila di Tengah Pragmatisme Politik
Jainuri;  Dosen dan Kepala Biro Kemahasiswaan Univ. Muhammadiyah Malang
SUAR OKEZONE, 30 Mei 2013



Indonesia telah mencapai umur 68 tahun, artinya pemerintah dan masyarakat Indonesia  telah melalui proses panjang dalam berbangsa dan bernegara.

 Dengan proses panjang tersebut diharapkan pemerintah dan masyarakat telah memahami hakikat dan menjiwai pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Harapan tersebut tindak kunjung tampak dalam kehidupan nyata, justru sebaliknya pemerintah dan masyarakat semakin mengabaikan dan bahkan lupan dengan pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara.

Bentuk nyata hilangnya pancasila sebagai landasan bangsa dan negara adalah mencuaknya berbagai probalematika bangsa seperti menguatnya gerakan separatisme, menguatnya intoleransi antara umat beragama, tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, dan rendahnya indeks pembangunan manusia. Pancasila telah dilupankan, diabaikan, dan tidak lagi dianggap sebagai falsafah bangsa. Padahal lahirnya pancasila melalui kerja keras founding father. Lima sila yang ada di dalamnya diletakkan dengan penuh kehati-hatian agar searah dengan corak kehidupan bangsa serta dapat menjamin kesejahteraan, kedamaian, dan kebahagiaan bangsa Indonesia seutuhnya.

Masyarakat tidak boleh lupa dengan sejarah. Lupa akan sejarah adalah bentuk dari penghianatan terhadap pejuang-pejuang bangsa yang susah payah membentuk dan mempersatukan masyarakat dalam satu bangsa. Tanggal 01 Juni adalah momentum bagi seluruh elemen bangsa untuk memikirkan dan mengingat kembali sejarah-sejarah bangsa termasuk sejarah lahirnya pancasila sebagai ideologi dan sumber dari segala sumber hukum. Pancasilan adalah ideologi bangsa yang dilahirkan melalui proses perdebatan intelektual, kritis, rasional, dan ilmiah antara tokoh-tokoh penting (founding father) bangsa terutama Muhammad Yamin, Soepomo, dan Soekarno.

Founding father bangsa mencurahkan segala fikiran dan tenaga untuk merumuskan ideologi bangsa dengan tepat yang dapat mempersatukan pulau-pulau nusantara, bahasa, budaya, dan suku yang berbeda-beda untuk berada dalam satu organisasi negara bangsa. Tanggal 1 Juni 1945, gagasan dan ide founding father berhasil dirumuskan dan disatupadukan yang kemudian dikenal pancasila sebagai dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum. Karena itu, tanggal 1 Juni dikenal sebagai hari lahirnya pancasila.

Memikirkan dan mengingat akan Pancasila bukan bermakna bagaimana elemen bangsa memahami lahirnya pancasila namun memiliki makna yang jauh dari itu yaitu bagimana implementasi pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selama ini. Apakah semua elemen bangsa telah menjiwainya atau justru sebaliknya. Ajaran pancasila memiliki makna yang sangat agung dan terhormat karena didalamya terdapat nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan kebangsaan.

Pancasila mengajarkan segenap warga negara untuk bertuhan, bermoral, berakhlak mulia, dan berbudi pekerti. Manusia harus membangun hubungan yang saling memanusiakan, memuliakan, menghormati antara satu dengan yang lain, mengedepankan kebersamaan untuk kebaikan, persaudaraan, dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.

Didalam pancasila tidak terdapat celah untuk tidak kebaikan. Namun seperti yang dijelaskan diawal tulisan ini, pancasila telah dilupakan, diabaikan, dan bahkan dianggap sebagai ideologi yang tidak lagi tepat sebagai pedoman bangsa dan negara. Jejak pendapat Kompas tahun 2008, 2011, dan tahun 2012 menunjukkan pancasila tidak lagi dipercaya sebagai ideologi bangsa dan negara.

Ada banyak faktor yang membuat masyarakat lupa akan pancasila salah satunya adalah  tidak adanya pemimpin politik dan pemerintahan sebagai panutan dan teladan yang benar-benar menjiwai pancasila. Di awal-awal kemerdekaan, Indonesia masih memimliki kepemimpinan politik  yang menjiwai pancasila namun di era sekarang ini sulit menjumpai kepemimpinan politik pancasilais. Banyak elit politik yang terjebak dalam politik pragmatis.

Elit politik lebih mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok daripada kepentingan bangsa. Pancasila hanya dijadikan lipstik service, retorika politik dan dijadikan sebagai legitimasi formal kebijakan pragmatis. Prilaku buruk elit politik ditunjukkan melalui politik amoral seperti korupsi dan membuat kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan bangsa yang lebih besar.

Dampak pragmatisme politik adalah terbentuknya struktur birokrasi pemerintah yang tidak mengedepankan kemanusiaan yang adil dan beradab. Fungsi birokrasi sebagai mesin untuk merealisasikan tugas dan fungsi negara tidak dapat dijalankan dengan baik terutama fungsi pelayanan dan pemberdayaan masyarakat. Sejatinya birokrasi menjadikan pancasila sebagai pedoman namun lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan elit yang memperhatikan dan memposisikan birokrasi dalam struktur pemerintahan.

Birokrasi bukan melayani masyarakat namun melayani elit dan dirinya sendiri. Stigma yang tertanam kuat adalah “birokrasi bukan melayanani namun dilayani” dan “birokrasi ABS (asal bapak senang). Ini-lah bentuk dari wajah birokrasi elitis.

Kepemimpinan politik pragmatis dan birokrasi elitis memicu lahirnya segudang problematika bangsa sehingga masyarakat tidak percaya dengan adanya negara termasuk pancasila sebagai falsafah dan ideologi pedoman bangsa. Masyarakat sangat mudah melakukan tindakan yang bertentangan dengan pancasila seperti gerakan seperatisme, intoleransi, memberlakukan hukum rimba, dan melakukan tindakan kriminal.

Buktinyata yang dapat kita lihat akhir-akhir ini adalah minimnya partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum. Rata-rata pelaksanaan pemilu, pileg, dan pemilukada dimenangkan oleh golput. Hal ini secara langsung menunjukkan ketidak pedualian masyarakat terhadap negara dikarenakan kekecewaannya terhadap kinerja elit politik dan pemerintah yang tidak menjiwai pancasila dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Fenomena elit politik dan pemerintah serta masyarakat yang mengabaikan pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara dipandang sebagai persoalan serius dan membahayakan eksistensi dan masa depan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apabila persoalan ini terus dibiarkan tidak menutup kemungkinan, NKRI bubar ditelan zaman karena prilaku anak kandungnya sendiri yaitu elit politik, pemerintah, birokrasi, penegak hukum, dan masyarakat.

Karena itu, diupayakan strategi dan langkah nyata semua stakeholder bangsa untuk mengatasi persoalan tersebut. Stakholder yang paling bertanggungjawab adalah pemerintah. Pemerintah harus melakukan upaya-upaya nyata untuk mengembalikan dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap negara termasuk pancasila. Upaya yang harus dikedepankan adalah menumbuhkan good dan political will semua stakeholder terutama elit politik dan birokrasi untuk membuat kebijakan-kebijakan populis yang berasaskan pancasila dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat seutuhnya. 

Metode Baru Berubah dari Waktu ke Waktu

Metode Baru Berubah dari Waktu ke Waktu
Herve Ladsous ;  Wakil Sekjen PBB untuk Operasi Perdamaian
MEDIA INDONESIA, 30 Mei 2013


SEJARAH penjaga perdamaian PBB merupakan salah satu inovasi dan adaptasi. Sampai 20 tahun yang lalu, penjaga perdamaian PBB tampaknya lebih terbuka. Baret biru dikerahkan untuk memantau gencatan senjata, biasanya antarnegara-negara yang berperang. Peran mereka jelas; mengamati, melaporkan pelanggaran, dan memfasilitasi solusi.

Pasukan-pasukan penjaga perdamaian baru beroperasi di medan yang jauh lebih kompleks. Mereka membantu membawa perdamaian ke daratan-daratan brutal yang mengalami konflik, kerap secara internal, dan dengan kese pakatan-kesepakatan yang rapuh. Aktor-aktor nonpemerintah, misalnya kelompok-kelompok penjahat terorganisasi, sekarang ini membawa tambahan masalah terhadap perdamaian.
Untuk keluar dari masalah itu, penjaga perdamaian PBB telah mengembangkan sebuah pendekatan multidimensi yang menyatukan militer, polisi, dan warga sipil yang bekerja di berbagai bidang, termasuk penegakan hukum, hak asasi manusia, serta perlindungan warga sipil.

Namun, sementara kami mempersiapkan diri untuk memenuhi tuntutan baru­dari Republik Demokratik Kongo (DRC) hingga Mali, dan mungkin Somalia dan Suriah--penjaga perdamaian akan berhadapan dengan dua prinsip mendasar. Yang pertama, penjaga perdamaian PBB tidak dapat mewakili kesepakatan politik dan intervensi penjaga perdamaian harus didukung dalam kerangka politik yang jelas.

Di DRC, misalnya, Kerangka Perdamaian dan Keamanan (the Peace and Security Framework) yang disetujui oleh 11 negara merupakan wadah yang sangat diperlukan dalam Misi Stabilisasi PBB di DRC (Monusco) dalam upaya untuk memutus siklus kekerasan sekarang ini. Di Mali, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk melibatkan semua pihak dalam proses rekonsiliasi politik yang akan menguraikan dan menginformasikan kerja United Nations Multidimensional Integrated Stabilization Mission in Mali (Minusma) dalam mendukung keamanan dan perlindungan warga sipil. Kedua, penjaga perdamaian PBB membutuhkan sarana lebih banyak dan keterampilan yang lebih baik. Kami harus memastikan bahwa misi-misi diberikan sumber daya yang mereka butuhkan untuk memastikan kesadaran penuh akan situasi yang berkembang dan untuk memberikan respons secara tepat.

Di timur D R C , tempat kelompok bersenjata terus mengancam jutaan warga sipil, kami meresponsnya dengan Pasukan Gabungan Brigade baru yang tidak menggunakan senjata dan menggunakan kendaraan udara tidak berawak untuk memantau pergerakan kelompok-kelompok bersenjata yang menimbulkan ancaman bagi warga sipil. Sarana-sarana itu akan memberikan taktik strategis bagi misi penjaga perdamaian kami, serta mobilitas yang cepat dan efek jera yang lebih kuat.

Pendekatan-pendekatan baru itu menambah kekhawatiran bahwa penjaga perdamaian PBB cenderung menantang perang. Namun, bukan itu masalahnya. Mandat Dewan Keamanan PBB kita sudah jelas; penggunaan kekuatan oleh pasukan pen jaga perdamaian kita di DRC merupakan pengecualian, bukan aturan dalam operasi penjaga perdamaian PBB.

Berisiko tinggi

Sifat konflik bersenjata yang selalu berubah menuntut perubahan-perubahan kemampuan penjaga perdamaian PBB. Pada umumnya, penjaga perdamaian PBB beroperasi di lingkungan yang berisiko tinggi, di mana upaya perdamaian dan stabilitas sangat pelik. Kendati demikian, ketika membahas karakter konflik abad ke-21, penjaga perda maian PBB beradaptasi dengan kon teks-konteks baru yang meru pakan evolusi, bukan revolusi.

Kami berdiri di atas prinsip-prinsip dasar yang sudah menuntun penjaga perdamaian sejak 1950 untuk bertindak dengan tidak dengan tidak memihak da lam mendukung perdamaian dan beroperasi dengan persetujuan para pihak. Kami menggunakan kekerasan hanya untuk membela diri dan membela mandat Dewan Keamanan. Tapi, kami juga harus siap untuk menghadapi pihak-pihak yang menjadi penghalang di ambang proses perdamaian.

Di Mali, kami sedang mempersiapkan sebuah misi baru ke dalam lingkungan yang rentan, dengan baret-baret biru menghadapi ancaman bom rakitan dan pelaku bom bunuh diri yang dikenal sebagai `perang asimetris'. Halhal tersebut berisiko tinggi menjadi korban kolateral dan kadangkala menjadi korban target langsung dari eskalasi konflik dan dari pihak-pihak yang bertikai. Minusma sedang menyiapkan bersamasama dengan Prancis untuk bertanggung jawab secara paralel akan kontraterorisme dan tindakan-tindakan penegakan hukum.

Pada 2012, 111 pasukan penjaga perdamaian kehilangan nyawa mereka dalam menjalankan misi PBB. Banyak yang meninggal dalam menjalankan tugas. Pada April tahun ini lima pasukan penjaga perdamaian tewas di Sudan Selatan, ketika konvoi sipil yang sedang mereka kawal diserang. Pada Juni tahun lalu, tujuh pasukan penjaga perdamaian dibunuh di Pantai Gading, ketika patroli mereka diserang. Kami juga telah kehilangan pasukan penjaga perdamaian atas serangan di Darfur, Abyei, dan di Republik Demokratik Kongo dalam satu tahun terakhir.

Kemarin, tanggal 29 Mei merupakan Hari Internasional untuk Pasukan Penjaga Perdamaian PBB, the International Day of UN Peacekeepers.

Kami mengajak Anda memberi penghormatan kepada rekan-rekan kita yang telah gugur. Kami juga memberi penghormatan khusus kepada mitra-mitra penjaga perdamaian--mereka yang memberikan kontribusi keuangan, sumber daya manusia, dan dukungan material.


Terima kasih khusus kepada kerja sama ini, penjaga perdamaian PBB terus maju dan tetap menjadi sarana yang relevan untuk mengatasi konflik baru. Meskipun ancaman lama dan baru datang, pasukan penjaga perdamaian PBB terus melakukan apa yang terbaik; pergilah ke tempat di mana orang-orang lain tidak ingin pergi atau tidak akan pergi untuk membantu orang-orang dan masyarakat yang mengalami konflik. Kami menjunjung tinggi, seperti biasanya, janji serius kami untuk menghadapi tantangan ini.